Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Menyoal Qanaah di Tengah Kesusahan


TintaSiyasi.com -- Beberapa waktu lalu muncul pertanyaan terkait masalah qanaah di tengah kesusahan dalam forum kajian bulanan ibu-ibu Muslimah. Sedikit tergelitik karena tentu banyak yang merasakannya. Di tengah gempuran harga bahan pangan yang terus meroket, BBM yang ikut naik dan kebutuhan hidup seakan tak pernah habis, pasti membuat ibu-ibu makin tercekik bahkan sampai menangis. Para bapak dan suami yang sudah mencari rezeki dari pagi ke malam hari, ternyata masih belum memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lantas bagaimana agar kita tetap bisa qanaah di tengah keterbatasan dan kesulitan saat ini? 

Ustazah pun menyampaikan hal utama yang harus diperhatikan untuk mencapai qanaah adalah rasa syukur. Tidak akan muncul qanaah tanpa bersyukur. Bersyukur dengan apa pun yang diterima sekecil apa pun bentuknya. Jika tak bisa bersyukur dengan hal yang kecil, mana mungkin akan bersyukur dengan hal yang besar? Ketika mendapat uang dua puluh ribu misalnya, hanya bergumam, "Yah cuma dua puluh ribu." Itu dikatakan mungkin, karena terbiasa menerima lima puluh atau ratusan ribu. Jadi bersyukurlah dengan apa pun yang diterima, karena barang siapa yang bersyukur dengan suatu nikmat, niscaya Allah akan menambahkannya. Jika sudah mampu bersyukur, maka akan muncullah rasa qanaah. 

Sejatinya kita sebagai makhluk hidup, sudah pasti membutuhkan sesuatu. Dalam kitab Nizhamul Iqthishadi dituliskan bahwa kebutuhan manusia itu salah satunya adalah 'hajatul asasiyah' atau dikenal dengan kebutuhan mendasar. Hajatul asasiyah ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. Kebutuhan sekunder ini adalah kebutuhan yang sangat dibutuhkan dan berkaitan dengan aktivitas yang dapat menegakkan hukum syarak atasnya, seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal. 

Setiap manusia pasti membutuhkan makanan untuk bertahan hidup, jika tidak dipenuhi, pasti akan merasa sakit bahkan bisa menyebabkan kematian. Namun sayangnya di tengah zaman sekuler kapitalisme saat ini, kita disodori dengan gaya hidup yang masyaallah luar biasa duniawinya. Banyak bermunculan jajanan-jajanan hits termasuk foodvlogger yang mereview makanan dari A sampai Z membuat penonton ngiler melihatnya. 

Memang tak mengapa, asal kantong dapat mengimbanginya. Tapi jikalau kantong terbatas? Maka makanlah seadanya, sekalipun hanya singkong rebus di depan mata, ya tak mengapa, toh semua makanan sama-sama membuat kenyang, hanya beda di harga dan rasa, yang setelah tertelan akan sama proses pencernaannya. Jika tak bisa jajan, maka masak sendirilah, karena terbukti masak sendiri dengan beli di luar akan jomplang besar pengeluarannya. Bahkan kalau mau hemat lagi bisa belanja kebutuhan di pasar saat siang atau sore hari agar dapat harga yang lebih murah. 

Begitu pun dengan pakaian dan tempat tinggal. Cukuplah pakaian yang bisa dipakai bergantian untuk menutup aurat. Tempat tinggal pun sama. Tak perlu rumah tingkat tiga, asal kita bisa berlindung di dalamnya dan marwah kita terjaga, itu sudah alhamdulillah. 

Adapun kebutuhan yang kedua yakni kebutuhan tersier, seperti kebutuhan healing, traveling, shopping, dan lain-lain sebenarnya tak dipenuhi pun tak mengapa karena lebih bersifat keinginan. Tetapi balik lagi, jika ada budgetnya ya tak apa dipenuhi juga. 

Kalau diingat lagi, dari zaman nenek-nenek kita dulu sampai sekarang sebenarnya kebutuhan hidup itu sama, ya itu-itu saja. Bedanya hanya dibentuk dan gaya hidup saja. Maka kita sebagai perempuan harus pintar-pintar mengelola keuangan di tengah zaman hedonis seperti saat ini. Jika memang benar-benar tak bisa terpenuhi, maka diskusikanlah bersama suami, ikhtiar mencari solusi yang terbaik. 

Seandainya pun perempuan atau istri harus ikut bekerja, maka harus dipikirkan akankah urusan rumah akan terhendel dengan baik, anak-anak ada yang mengurusi, karena kadang bekerja bagi perempuan bukanlah solusi. Dan terakhir, senantiasa berdoa agar selalu merasa cukup. Cukup dan bersyukur dengan apa pun yang dimiliki. Sejatinya Allah Maha Pengasih yang takkan membebani hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Oleh karenanya dengan rasa bersyukur inilah kita menerima semua yang telah Allah berikan kepada kita. []


Oleh: Fathia Rizki Amelia, S.Pd.
Aktivis Dakwah
Baca Juga

Post a Comment

1 Comments

  1. Masya Allah, terima kasih remindernya, sangat bermanfaat... Semoga jadi barokah bagi penulis dan keluarga serta media yang sudah mempublish tulisan ini 💌🤲

    ReplyDelete