TintaSiyasi.com -- Bak tradisi tahunan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terjadi dan terjadi lagi setiap musim penghujan berlalu. Sampai-sampai kondisi ini tidak tampak sebagai sebuah persoalan, hanya sekedar rutinitas yang memang harus terjadi tiap tahunnya. Miris, Indonesia yang merupakan salah satu negara yang memiliki hutan terluas di dunia, merelakan aset berharganya ini terbakar begitu saja. Amat sangat berharga, sebab hutan Indonesia merupakan sumber oksigen yang notabene adalah salah satu kebutuhan mutlak bagi kehidupan seluruh umat manusia di dunia.
Di kutip dari Republika.id, puluhan ribu hektare hutan dan lahan terbakar sepanjang tahun ini. Langkah pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus terus diperkuat mengingat titik panas terus bermunculan. Di Kalimantan Timur, misalnya, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Stasiun Balikpapan mendeteksi 20 titik panas. Semua pihak diimbau waspada dan saling menjaga agar tidak terjadi penambahan titik panas baru (Republika.id, 23/06/2023). Sangat memprihatikan, karena musim kemarau belum mencapai puncaknya, namun karhutla sudah merajalela.
Menanggapi kejadian ini, pemerintah mengaku telah melakukan berbagai upaya maksimal untuk memadamkan api. Padahal kita ketahui, karhutla apabila telah terjadi, bila api telah tersulut, akan sangat sulit dikendalikan, apalagi dipadamkan. Disinilah letak kesalahan yang menyebabkan karhutla ini menjadi tradisi. Pemerintah hanya berusaha memadamkan, namun tidak ada sama sekali upaya efektif untuk mencegah kebakaran.
Alih-alih mencegah, pemerintah bisa jadi merupakan penyebab kebakaran hutan dan lahan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bukan rahasia jika pemerintah menyerahkan pengelolaan hutan dan lahan kepada korporasi-korporasi swasta. Korporasi ini cukup membayar sejumlah biaya tertentu untuk mendapatkan izin pengelolaan hutan. Ketika izin sudah dikantongi, para pengusaha hutan dan lahan ini berbuat seenaknya tanpa memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Pastilah, bagi para pengusaha kapitalis ini, keuntungan adalah pertimbangan utama.
Melihat kenyataan ini, bisa dikatakan pemerintah "bekerja sama" dengan para pengusaha untuk mengekploitasi hutan. Pantaslah, jika persoalan karhutla ini menjadi tradisi nirsolusi padahal negeri ini merdeka lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu. Jika tidak demikian, apalah alasan negara tidak berdaya, sedangkan seluruh sumber daya yang dibutuhkan sudah ada untuk menanggulangi masalah ini.
Disisi lain, ada hal penting yang tidak disadari oleh pemerintah dan korporasi, yaitu dampak buruk karhutla di kemudian hari. Sebagaimana saat ini sedikit demi sedikit kerusakan udara dan lingkungan akibat karhutla telah terlihat. Kerugian yang kelak akan ditanggung jauh lebih besar jika dibandingkan dengan keuntungan materi yang diperoleh saat ini.
Karhutla dapat menyebabkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, dan buruknya kualitas udara. Pemerintah mencatat, ratusan ribu orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak. Menurunnya kualitas udara diikuti menurunnya pula kualitas kesehatan masyarakat harusnya menjadi perhatian utama pemerintah. Sebab alam ini ada untuk kelangsungan hidup manusia. Bukan sebaliknya, justru mendekatkan manusia pada kebinasaan.
Tidak hanya manusia, hewan pun ikut merasakan kesengsaraan karena habitatnya rusak akibat karhutla. Keadaan ini tentu mempengaruhi keseimbangan alam. Interaksi berbahaya antara manusia dan hewan liar pun semakin sering terjadi. Banyak hewan terpaksa masuk ke pemukiman karena sudah tidak menemukan lagi makanan atau mangsa di habitatnya. Data Institute Hijau Indonesia menyatakan bahwa 12 juta hektar kawasan hutan Indonesia, rumah bagi jutaan keanekaragaman hayati, telah diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Kebakaran hutan dan lahan juga menyebabkan rusaknya tekstur tanah, hilangnya unsur hara, dan rusaknya siklus hidrologi. Artinya, lahan pada akhirnya akan menjadi tanah yang tidak produktif. Kerugian jiwa dan ekologi akibat karhutla harusnya menjadi alasan kuat bagi pemerintah untuk menghentikan akar masalah persoalan ini, yaitu pengelolaan hutan oleh swasta.
Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah masih abai. Hukum dan sanksi terhadap pelaku karhutla sangat tidak tegas. Izin pengelolaan oleh korporasi swasta masih terus berjalan, bahkan dipermudah. Inilah fakta carut marut pengaturan negara dengan sistem kapitalisme. Disatu sisi memberikan keuntungan bagi segelintir manusia, disisi lain menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Sistem kapitalisme membuat pengelolaan negara hanya berdasarkan keuntungan materi semata. Parahnya, keuntungan ini ternyata hanya dinikmati para kaum kapital pemilik modal besar. Sedangkan rakyat kecil hanya menerima dampak buruk lingkungan tanpa bisa berbuat apa-apa.
Satu-satunya jalan untuk menyelesaikan problem karhutla adalah meninggalkan sistem kapitalisme. Selama kapitalisme masih diterapkan, maka mustahil karhutla akan menemukan solusi. Begitupun dengan persoalan-persoalan lain yang terus menghantam Indonesia. Sesungguhnya, kapitalisme inilah akar permasalahannya. Sebab menjalankan seluruh urusan manusia berdasarkan keuntungan materi semata, pasti akan menimbulkan bencana.
Menerapkan kapitalisme secara otomatis akan memaksa manusia meninggalkan aturan agama, khususnya agama Islam yang memiliki aturan kehidupan lengkap dan sempurna. Banyak prinsip kapitalisme yang bertentangan dengan islam. Disisi lain, Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas muslim. Dimana ajaran Islam memandang bahwa sumber kebahagiaan dan kesejahteraan umat berasal dari ridha Allah, bukan dari banyaknya materi.
Dalam sebuah negara bersistem Islam, persoalan karhutla tidak akan dibiarkan berlarut-larut. Kondisi yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kebutuhan dasar umat akan diperhatikan dan diselesaikan dengan cepat. Pemimpin Islam mengatur dan mengelola negara atas dasar keimanan dan rasa takutnya kepada Allah, sehingga tidak mungkin membuat aturan atau keputusan yang menguntungkan pribadi atau golongannya saja. Dengan menerapkan sistem Islam secara total dan keseluruhan dalam kehidupan, niscaya akan menyelesaikan semua persoalan umat manusia serta mendatangkan rahmat Allah SWT. Wallahu'alam bish shawab.
Oleh: Dinda Kusuma W.T.
Aktivis Muslimah
0 Comments