Tintasiyasi.com -- Penista agama bikin gaduh lagi. Kali ini aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia yang dilakukan oleh pria asal Irak yang pindah ke Swedia, Salwan Momika. Peristiwa ini terjadi saat Idul Adha kemarin. Di tengah riuhnya perayaan hari besar umat Muslim dunia, dirinya malah membuat kontroversi.
Seperti yang diharapkan, dunia gaduh dibuatnya. Beberapa respons juga dari Indonesia. Kecaman keras datang dari Pemerintah Indonesia melalui cuitan twitter Kementerian Luar Negeri (@Kemlu_RI), Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui keterangan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasionalnya Sudarnoto Abdul Hakim, dan para netizen Indonesia yang ramai di sosial media.
Respon menarik datang dari Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Profesor Komaruddin Hidayat. Dalam suatu wawancara, beliau menyampaikan respon yang berbeda dengan respon-respon yang muncul sebelumnya.
“Al-Qur'an tidak akan hilang dan tetap hidup dalam perjalanan sejarah manusia,” ujarnya.
“Tiap bangsa dan masyarakat punya karakter dan konteks sosial keagamaan yang khas dan berbeda.
Kerukunan hidup beragama di Indonesia itu menjadi inspirasi dunia. Tidak perlu ikut-ikutan masyarakat luar yang beda konteks sosial-ideologisnya.” sambungnya (bbc.com, 30/6/2023).
“Tidak usah direspons dengan marah-marah, Mereka itu tidak tahu isinya. Jawab saja dengan prestasi keilmuan dan peradaban. Atau seni seperti yang ditunjukkan Putri Ariani,” katanya merujuk pada penyanyi Indonesia moncer dalam ajang America’s Got Talent.
Memang benar, Al-Qur’an tak akan hilang dan tetap hidup. Namun, yang perlu digarisbawahi dari perkataan beliau adalah pernyataan bahwa setiap negara atau masyarakat memiliki karakter dan konteks sosial keagamaan yang berbeda, tak perlu marah-marah, menganggap masyarakat barat tak tahu isi Al-Qur’an, hingga menyarankan untuk mengalihkan perhatian dunia dengan prestasi saja merupakan perkataan yang tak tepat.
Islam sebagai agama dan ideologi (mabda) dengan Al-Quran sebagai kitab sucinya, menjelaskan bahwa muslim di bagian negara manapun memiliki karakter atau akidah yang sama. Hal ini karena seluruh umat muslim beriman pada kitab yang satu. Kitab yang tak pernah mengalami revisi dari pertama kali turun hingga saat ini.
Kitab yang dijaga dan disucikan oleh seluruh Umat Muslim dunia. Sehingga, menjadi rancu jika mengatakan bahwa karakter dan konteks sosial keagamaan seorang muslim berbeda di berbagai negara.
Islamofobia telah ramai dibicarakan oleh dunia internasional sejah bertahun-tahun yang lalu. Bahkan isu ini juga menarik penulis, sastrawan, atau peneliti asing yang sejatinya non muslim untuk menggali lebih jauh alasan barat menggaungkan Islamofobia.
Karen Armstrong adalah salah satunya dengan karyanya yang berjudul Islamophobia. Buku tersebut sebagai jawaban bahwa barat melek terhadap isi Al-Qur’an. Tak hanya itu, masih banyak karya-karya penulis lain yang mengungkap keajaiban dalam Al-Qur’an, membedah isi Al-Qur’an dan pembahasan lain seputar Al-Qur’an.
Sebagai Muslim harusnya kita bangga menyuarakan Al-Qur’an dan membelanya hingga akhir. Sudah seharusnya kita berada dalam garda terdepan yang tak gentar melawan dan menentang penista agama ataupun Al-Qur’an sebagai kalamullah yang mulia. Perlu dipertanyakan keimanan kita, jika tak marah atau tak tersinggung jika sumber-sumber keimanan kita disentil bahkan dilecehkan.
Maka marah saat Al-Qur’an dilecehkan atau dihina adalah suatu hal yang sangat wajar bahkan harus dilakukan, bukan diam saja melihat tindakan seorang penista yang jelas-jelas ada di depan mata. Itu adalah bukti nyata semangat (girah) kita dalam melindungi kitab suci agama Islam.
Jabir bin Abdullah pernah mengingatkan; “Jika ada umat di akhir zaman yang melaknat (melecehkan, menghina dan mengutuk) generasi terbaik di masa awal (Rasulullah, sahabat bahkan Islam), maka bagi yang punya kemampuan untuk membela, maka belalah. Karena, orang yang berpangku tangan, padahal dia tahu, maka sama halnya dengan orang yang menyembunyikan wahyu Allah. (Ibnu Taimiyah, Minhāj al-Sunnah, I/17).
Buya Hamka juga mengingatkan dengan perkataan beliau yang terkenal “Jika diam saat agamamu dihina, gantilah bajumu dengan kain kafan”. Perkataan beliau menunjukkan semangat atau girah yang harus terus dikorbankan dalam membela agama melebihi keselamatan diri sendiri. Hal ini menegaskan bahwa seseorang yang kehilangan girah sama dengan mati. Wallahu’alam bishowab.[]
Oleh: Hima Dewi, S.Si.,M.Si.
(Aktivis Muslimah)
0 Comments