Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Perdagangan Manusia Terus Terjadi, Upaya Negara Tak Kunjung Menjadi Solusi

TintaSiyasi.com -- Kasus perdagangan manusia atau human trafficking terus mencuat. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Gedung Kemenko Polhukam pada Selasa (4 Juli 2023) mengatakan bahwa Satuan Tugas TPPO menyelamatkan 1.943 korban perdagangan orang hingga Senin (3/7/2023). Ribuan korban yang berhasil diselamatkan Satgas TPPO itu terdiri dari 65,5 persen pekerja migran, 26,5 persen pekerja seks komersial, 6,6 persen korban eksploitasi anak, serta 1,4 persen lainnya merupakan WNI yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK). Mahfud MD menyebut bahwa pihak Kepolisian RI juga telah menetapkan 698 orang sebagai tersangka kasus TPPO dari total 605 laporan yang diusut. (Bisnis.com, 4 Juli 2023). 

Mirisnya, Mahfud MD menyebutkan bahwa kasus tersebut telah menyeret lima oknum pejabat yang sudah dijadikan sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Tidak jauh berbeda dengan temuan pusat, ditemukan pula kasus TPPO di berbagai daerah di Indonesia seperti di Sulbar yang hingga 4 Juli 2023 kasus perdagangan orang telah mencapai 616 kasus. Di Kabupaten Pemalang Jawa Tengah baru-baru ini juga terungkap kasus perdagangan orang yang korbannya mencapai 447 orang. Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyebutkan bahwa kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap pekerja migran Indonesia (PMI) mengalami peningkatan cukup drastis pada periode 2020-2023.

Diplomat Muda Direktorat Perlindungan WNI Kemlu RI, Rina Komaria mengatakan, berdasarkan data periode 2020-2023 itu tercatat sebanyak 1.800 kasus TPPO atau naik tujuh kali lipat.
Jumlah kasus TPPO PMI yang dikirim ke luar negeri secara ilegal telah meningkat tujuh kali lipat, mulai dari sekira lebih 140 kasus pada tahun 2020 hingga 2021, kemudian meroket di angka 700 kasus pada tahun 2021 sampai 2022 dan terakhir menyentuh angka 1.800 orang pada tahun 2023.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi permasalahan ini baik dalam skala nasional bahkan internasional. Misalnya, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, hingga International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families (Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya) pada tanggal 22 September 2004 di New York.

Pada kenyataannya aturan-aturan yang telah dibuat tersebut tidak mampu mengatasi permasalahan yang ada, malah kejahatan perdagangan orang kian menjulang tinggi. Hal itu karena solusi yang dicari dan diberikan oleh pemerintah adalah solusi yang bersifat kuratif atau langsung dalam tindakan penanganan kasus saja.

Padahal kalau kita melihat lebih jauh akar permasalahan hal ini adalah akibat kerusakan yang sistemis. Bukan hanya faktor kemiskinan saja yang menyebabkan banyak orang tergiur menjadi migran dengan iming-iming gaji yang tinggi dengan cara yang instan namun juga kehidupan masyarakat dan negara yang kapitalistik dan liberal. 

Cara pandang setiap individu yang menjadikan materi sebagai tujuan utama dalam kehidupan mereka, membuat mereka rela melakukan segala hal demi mendapatkannya.

Negara juga abai dalam memberikan perlindungan terhadap rakyatnya. Bagi negara kapitalis, rakyat adalah faktor produksi yang dikatakan berjasa dalam mendatangkan materi sebanyak-banyaknya dengan sebutan "pahlawan devisa" karena mendatangkan devisa yang besar. Padahal disitu ada keselamatan manusia yang dipertaruhkan.

Hukuman bagi para pelaku kejahatan pun tidak memberikan efek jera. Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa hukum di negeri ini tumpul ke atas dan tajam ke bawah.

Berbeda dengan Islam yang memiliki seperangkat aturan kehidupan yang lengkap. Syariat Islam tidak hanya melakukan upaya kuratif namun juga preventif yaitu penindakan dan pencegahan sekaligus.

Islam tidak akan menoleransi prisip ala kapitalisme dan liberalisme yang menghalalkan segala cara demi mendapatkan materi. Dengan syariat Islam akan terbentuk individu bertakwa yang memiliki sifat qanaah (merasa cukup atas apa yang didapatkan).

Dalam Islam negara akan menjadi pelindung bagi rakyatnya. Negara bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya seperti sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan dan lain sebagainya.

Islam juga akan memberikan sanksi yang memberi efek jera bagi para pelaku kejahatan dan juga rasa takut bagi mereka yang berniat melakukan kejahatan agar tidak terjadi tindak kejahatan tersebut. Dengan begitu masyarakat akan merasa aman dan nyaman hidup dalam aturan Islam sehingga mampu melahirkan generasi terbaik dalam kehidupan. 

Wallahu a'lam. []


Oleh: Dinar Rizki Alfianisa, S.E.
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments