TintaSiyasi.com -- Pertarungan antara hak dan batil akan senantiasa ada. Maka menjadi penting untuk terus memastikan di pihak mana kita berada. Dan tidak mungkin kita berada di tengah keduanya. Sebagaimana janji Allah, hanya ada surga dan neraka. Nyatanya, memang begitu sulit menggenggam bara api Islam di zaman ini. Namun toh, bukankah para nabi dan rasul, bahkan Rasulullah dan para sahabat juga memilih jalan ini untuk ditapaki?
Tantangan demi tantangan datang silih berganti. Utamanya, lebih terasa lagi bagi pemuda hari ini. Dihadapkan pada program deradikalisasi dan pembajakan potensi apalagi. Berbicara soal pemuda adalah berbicara soal titik paling kritis dalam rentang usia manusia. Ia adalah masa paling ideal di antara dua kelemahan, yakni masa anak-anak dan masa tua. Semua potensi berada pada kondisi terbaiknya, baik secara tenaga maupun kematangan akal yang membawa pada daya kritis, idealis, serta empati yang tinggi. Oleh karenanya, bukan lagi menjadi pertanyaan bahwa masa depan bangsa ada di pundaknya. Kita juga telah menyaksikan berbagai peristiwa besar Indonesia maupun dunia diprakarsai oleh para pemuda. Sebab itulah memang fungsi dan perannya.
Namun, kini pemuda Muslim memang tengah dihadapkan pada setidaknya dua tantangan sebagaimana telah tersebut di awal, deradikalisasi dan pembajakan potensi. Sudah bukan hal baru bagi kita soal gaung deradikalisasi yang makin masif di negeri ini. Program yang berawal dari stigma radikal, yang kononnya akan berbahaya bagi kesatuan NKRI. Lantas memunculkan langkah demi langkah antisipasi dengan judul deradikalisasi.
Program Deradikalisasi
Program ini sejatinya adalah bentuk menindaklanjuti agenda global yang dicanangkan oleh Amerika, yakni “War on Radicalism”. Adapun Amerika mendefinisikan Muslim radikal ialah mereka yang memperjuangkan penerapan syariat Islam. Hal ini jelas termaktub dalam dokumen “Building Moderate Muslim Networks” keluaran RAND Corporation, lembaga think tank Amerika. Lebih jauh mereka juga memetakan partner potensial bagi Barat dalam memerangi Muslim radikal, yakni mereka yang moderat (terbuka dan menerima nilai-nilai Barat, paham pluralisme, demokrasi, feminisme, liberal, dan sekuler) dengan nilai-nilai politik yang kongruen dengan nilai-nilai universal yang mendasari semua masyarakat liberal modern.
Program ini akan berujung pada masifnya pengarusan islamofobia di tengah-tengah generasi muda. Mereka menjadi takut untuk mengkaji Islam, apalagi memperjuangkan syariatnya, karena sudah dihantui dengan stigma radikal. Tidak berhenti sampai di sana, bersamaan dengan stigma tak berdasar ini, moderasi beragama pun terus-menerus digencarkan. Tujuannya adalah untuk membentuk pemuda Muslim yang jauh dari identitas keislamannya, terbuka atas nilai-nilai dan paham-paham Barat yang bertentangan dengan Islam, pun mengaburkan hakikat tujuan hidupnya.
Pembajakan Potensi
Selain deradikalisasi bayang-bayang pembajakan potensi yang menghantui. Dari sistem pendidikan yang berorientasi pasar, hingga serangan gaya hidup Barat yang dengan gencar diaruskan. Tidak bisa kita nafikkan bahwa kurikulum pendidikan hari ini bukan berfokus pada mencetak generasi yang bertakwa, melainkan lulusan-lulusan yang siap kerja. Maka serangkaian program selayaknya link and match vokasi dan industri, praktisi yang mengajar di kampus, One Pesantren One Product, dan serentetan program lainnya menjadi sebuah keniscayaan dalam sistem hari ini.
Kondisi ini diperparah dengan culture strike. Serangan budaya, yang terwakili dalam 7F: food, fun, fashion, film, free thinking, free sex, dan friction. Melalui food, fun, fashion, film, free thinking, dan free sex, membuat para pemuda mempunyai gaya hidup bebas yang jauh dari aturan agama. Belum lagi friction, gesekan yang sengaja dipicu di tengah-tengah kaum Muslim, mengadu domba satu dan lainnya.
Gaya hidup liberal (bebas) dan hedonis yang terus diaruskan akan secara otomatis memupuk dalam diri para pemuda sifat konsumerisme. Gaya hidup yang menganggap barang-barang (mewah) sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan sebagainya, gaya hidup yang tidak hemat. Berbagai serangan budaya yang ada sengaja di-setting untuk mendorong anak muda suka dan terus belanja. Kita akan mendapati bahwa para pemuda dibajak potensinya untuk kepentingan ekonomi, menggerakkan roda perekonomian.
Khatimah
Memang begitu rumit bagi kita para pemuda yang mau tidak mau dihadapkan pada kondisi yang sedemikian rupa. Merasakan buah dari penerapan sistem kehidupan yang bukan berasal dari Allah SWT. Pada akhirnya, kita akan mendapati bahwa kehidupan terbaik hanya bisa dicapai dengan sistem terbaik yang Allah karuniakan pada umat manusia seluruhnya, ialah Islam. Ia akan melahirkan atmosfer kondusif tidak hanya bagi para pemuda tapi juga semua umat manusia.
Jalan menuju ke sana tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Namun, apa yang ditakutkan ketika janji kemenangan telah berada di genggaman? Tugas kita hanya berjuang, perkara hasil biar Allah yang menentukan. Lagi pula, kita tidak berjuang melainkan untuk diri kita sendiri. Memperjuangkan hujjah di hadapan Allah nanti.
Memang tidak mudah hidup dengan semua jerat tantangan ini. Tapi sekali lagi, tidak ada pilihan selain terus menapaki jalan kebenaran dan terus menguatkan daya tahan diri akan tantangan. Sebab tantangan demi tantangan akan terus berdatangan, menguji siapa yang paling teguh berdiri di atas keikhlasan dan kesabaran.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Muntik A. Hidayah
Aktivis Back to Muslim Identity Community
0 Comments