TintaSiyasi.com -- Publik kembali dihebohkan dengan informasi yang ramai beredar di media sosial perihal aliran sesat yang semakin berkembang di masyarakat Indonesia, Al-Zaytun, setelah sebelumnya pada awal tahun 2023 masyarakat Gowa, SulSel, digemparkan adanya aliran yang salah satu ajarannya adalah melarang memakan daging dan shalat.
MUI setempat juga masih melakukan upaya pendalaman lagi untuk benar-benar memastikan kesesatannya, hanya saja untuk saat ini MUI menduga dengan keras melalui indikator-indikator yang telah dihimpun bahwa ajaran ini menyesatkan (MUI.or.id, 05/01/2023).
Tengah tahun 2023 ini, muncul Al-Zaytun yang terindikasi melakukan praktek ibadah yang menyimpang seperti mengajarkan anak-anak santri menyanyikan lagu Hanevo Shalom Aleichem. Karena adanya informasi tersebut, Ustadz Abdul Somad alias UAS bahkan memberikan kecaman terhadap pimpinan Al Zaytun. Lewat video ceramahnya, UAS kesal dengan ajaran sesat yang diduga diberikan ponpes tersebut. UAS juga meminta pihak berwajib untuk melakukan tindakan tegas (Viva.co.id, 21/06/23).
Selain itu, ada beberapa hal lain yang menjadi kontroversi dari praktek keislaman ponpes Al Zaytun, diantaranya masalah infaq yang dipungut oleh pondok dengan kompensasi menjual anak kandung atau menjual diri jika tidak mampu melunasi, merubah ketentuan terkait ibadah haji, mengubah isi syahadat, hingga membuat ketentuan sendiri terhadap shaf sholat wanita yang bercampur dengan pria saat ibadah sholat idul fitri. (viva.co.id, 21/06/23).
Tak pelak, banyaknya praktek ajaran Islam yang tidak sesuai sebagaimana yang selama ini ada pada ulama, menjadikan berita Al Zaytun ini semakin viral dan masyarakat semakin tahu perkembangan kondisi ponpes tersebut. Padahal selama ini nampak tenang, jauh dari pemberitaan.
Inilah buah dari sistem sekuler demokrasi yang menyebabkan menjamurnya paham dan aliran sesat di negeri mayoritas muslim ini dan menjadi ironi tersendiri. Konon negeri ini adalah negeri dengan jumlah kaum muslim terbesar di dunia, dengan deretan para ulama yang diakui dunia, terlahir dari negeri ini. Namun, sisi gelap lain, di negeri ini banyak lahir dan tumbuh subur ajaran-ajaran serta praktek keislaman yang menyimpang jauh dari yang sudah digariskan oleh Rasulullah SAW.
Semakin negara membiarkan paham/ide kebebasan, semakin banyak pula dijumpai aliran sesat tersebut. Berkorelasi positif antara implementasi aturan-aturan liberal dengan menjamurnya praktek kesesatan akidah. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa penyebab mendasar banyaknya aliran serta paham sesat di negeri ini adalah karena dianutnya paham sekularisme dan demokrasi oleh masyarakat dan negara.
Sekularisme adalah sebuah ide atau paham yang menjadikan seorang individu, masyaraka dan negara tidak harus terikat dengan aturan-aturan agama (baca: Islam) dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan kata lain, agama harus dijauhkan dari praktek pengamalan dalam kehidupan baik pada ranah individu, masyarakat maupun negara. Agama hanya dibatasi pada ranah privat tanpa ada pengaruh dalam keseharian manusia. Sehingga dalam keseharian, manusia menggunakan aturan dari paham atau ideologi bahkan undang-undang hasil adopsi dari negara lain.
Tidak aneh jika muncul individu-individu muslim, tapi memiliki karakter dan kepribadian yang tidak Islami. Mengaku muslim tapi suka bermaksiat, muslim tapi menjalankan ajaran yang sesat dan menyesatkan orang lain. Membawa efek yang lebih mematikan lagi bagi akidah masyarakat, ketika sekularisme ini dibungkus dalam bingkai sistem demokrasi yang diterapkan oleh negara.
Sekulerisme berkolaborasi dengan demokrasi telah nyata menciptakan bentuk negara sekuler yang jauh dari nilai dan aturan syariat Islam, meski pemimpin negara inipun seorang muslim. Negara mengadopsi dan membuat serta menerapkan undang-undang yang lunak terhadap sekte atau penganut aliran sesat. Negara seolah tidak tegas dan tidak komitmen untuk menjaga akidah umat Islam.
Seperti dalam KUHP 156a dinyatakan pelaku hanya akan dijerat hukuman penjara maksimal 5 tahun saja. Padahal aktifitas kelompok sesat ini telah menyebarkan ajaran-ajaran menyimpang yang meresahkan masyarakat dan membahayakan akidah umat. Semua menjadi tidak berkutik ketika dianggap melanggar HAM dan kebebasan individu, sehingga negara hadir sebagai penjamin kebebasan ini dengan mengorbankan akidah mayoritas masyarakatnya.
Dalam sistem demokrasi negara hadir sebagai penjaga HAM dan kebebasan individu. Bahkan negara memastikan menjadi garda terdepan bagi siapapun yang berusaha menghambat kebebasan ini, karena itu adapun aturan yang konon untuk memberantas aliran sesat justru kenyataannya membuat sekte sesat menjamur dari tahun ke tahun tanpa ada tindakan tegas dan menjerakan bagi pelakunya.
Umat Butuh Negara yang Tegas Menjaga Akidah
Adanya aliran dan paham sesat ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum negara ini lahir, yaitu ketika Rasulullah masih hidup. Dan Rasulullah sebagai teladan terbaik bagi umatnya, telah memberikan contoh penanganan terhadap maraknya aliran sesat ini. Bagi siapapun yang mengklaim diri sebagai umatnya, sudah seharusnya untuk berada pada jalan Rasul dan dalam menjaganya.
Bukan malah menjadikan peradaban dari bangsa lain yang tidak berakidah Islam sebagai teladan dalam membangun negara. Setidaknya ada dua embrio kesesatan yang telah lahir pada masa Rasul, yaitu:
Pertama, penyimpangan yang dilakukan Musailamah Al-Kadzdzab. Kedua, penyimpangan Dzul Khuwaishirah setelah Perang Hunain yang ini nantinya menjadi bibit munculnya gerakan Khawarij. Kedua aliran ini awalnya sama-sama mengaku Islam, meski pada akhirnya cenderung menyimpang.
Langkah awal yang dilakukan Nabi adalah tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu pada kabar berita yang beredar sehingga benar dipastikan kesesatannya. Kemudian Nabi menempuh jalur mediasi dan persuasif (diskusi serta argumentasi) untuk mengajak mereka kembali kepada akidah yang benar. Bahkan Tsumāmah bin Utsāl selaku utusan Musailamah al-Kadzab, pada akhirnya insaf, dan masuk Islam sembari mengungkapkan suara hatinya dengan jujur kepada nabi Muhammad bahwa wajah beliau yang dulu paling dia benci, kini menjadi yang paling dicintai, dan agama beliau yang dulu paling dibenci, sekarang menjadi agama yang paling dicintainya. (al-Sunan al-Kubra, 1/264).
Setelah upaya-upaya mediasi diatas tidak mempan, baru Rasul melakukan langkah berikutnya, yaitu eksekusi. Dalam al-Rahiq al-Makhtum, Musailamah al-Kadzab dieksekusi di perang Yamamah pada 12 H oleh Wahsyi. Begitupun Khawarij dalam Tarikh Khalifah Ibnu Khoyyat disebutkan pada perang Nahrawan, terjadi pada masa kekhilafaan Ali bin Abi Thalib, berhasil dieksekusi(meski tidak semuanya).
Rasul sebagai pemimpin otoritas tertinggi dalam daulah (negara) Islam di Madinah saat itu, melaksanakan langkah eksekusi tersebut. Sehingga nampak disini, peran negara yang dicontohkan oleh Nabi dalam membentengi akidah umat dari kesesatan sekaligus memberantas kesesatan tersebut hingga keakarnya. Tidak ada kisahnya Nabi lunak kepada mereka dengan dalih menjamin kebebasan dan HAM individu.
Ada yang lebih penting dari semua itu, bahwa jika negara ini komitmen untuk menjaga akidah umat, tidak cukup hanya memunculkan sosok pemimpin yang mengaku-ngaku seperti sahabat Umar bin Khattab atau para sahabat Nabi yang lainnya, jika mereka masih menjadikan sekuler dan demokrasi sebagai landasan hidup bermasyarakat dan bernegara.
Tidak cukup dengan pemimpin muslim saja, tapi aturan yang diterapkan jauh dari syariat Islam. Karena sejatinya Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya hanya mencontohkan satu hal, yaitu menjadi muslim yang kaffah, berakidah Islam dan menerapkan seluruh syariat Islam secara totalitas dalam sebuah konsep bernegara bernama Khilafah, bukan negara sekuler ala demokrasi. Wallahu a'lam bishshowwab.
Oleh: Ninik Rahayuningsih
(Pegiat Literasi)
0 Comments