TintaSiyasi.com -- Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops-PB) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Kalimantan Selatan (BPBD Kalsel) melaporkan terdapat 2.168 titik api kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang menyebar di 13 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan. Wilayah tersebut, yakni Tanah Laut, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Utara, Balangan dan Tabalong dan Banjarbaru. Ribuan titik api tersebut menyebabkan karhutla telah melahap lahan seluas 163,15 hektare di Kalsel (ANTARA/Tumpal Andani Aritonang, 25/06/2023).
Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan juga mulai menyelimuti wilayah Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dalam beberapa hari terakhir. Kabut asap membuat jarak pandang di ruas Jalan Trans-Kalimantan sangat terbatas dan kualitas udara juga berada dalam ambang batas sangat tidak sehat.
Untuk mengurangi kebakaran lahan akibat musim kemarau yang menimpa Indonesia, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kalsel mengimbau kepada seluruh petani agar tidak membakar lahan mereka sembarangan di musim kemarau.
Masalah kebakaran hutan tidak bisa dianggap sebagai masalah sederhana karena melibatkan banyak pihak seperti penduduk lokal, pemilik lahan, perusahaan besar, dan pelaku ekonomi politik, seperti gubernur, bupati, dan perusahaan tingkat daerah.
Kebakaran hutan tidak hanya didorong oleh faktor internal seperti jenis lahan gambut dan tanah. Faktor eksternal seperti iklim kering juga berkontribusi hingga menyebabkan kebakaran hutan. Namun, perilaku individu dan elemen industri perusahaan juga ditentukan sebagai faktor pendorong utama lainnya dalam kebakaran hutan.
Pembakaran lahan juga dimanfaatkan untuk membuka lahan pertanian (misalnya untuk budidaya kelapa sawit). Teknik ini relatif murah dan sederhana. Kekuatan modal perusahaan besar dapat dengan mudah mempengaruhi penduduk lokal untuk melakukan kegiatan ilegal untuk keuntungan perusahaan.
Bahkan, untuk kasus di Indonesia, sembilan dari selusin perusahaan kelapa sawit yang memiliki lahan terbakar terbesar di konsesi mereka antara 2015 dan 2019 tidak menerima perdata atau administrasi sanksi yang serius.
Masalah kebakaran hutan tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja. Apalagi diselesaikan secara pragmatis dengan memadamkan api setiap terjadi kebakaran. Sementara penyebab utama kebakaran tidak pernah ditanggulangi.
Kebakaran hutan dan kekeringan harus dilihat secara luas dalam berbagai konteks. Dalam kasus kebakaran hutan di Kalimantan, anggota masyarakat setempat menjadi pekerja lepas yang dibayar oleh petani kelapa sawit setempat. Setelah itu, ketika mereka tertangkap dan mengalami persidangan maka merekalah yang akan menjadi sasaran polisi dan pengadilan.
Dengan kata lain, petani skala kecil dan anggota masyarakat lokal tetap rentan secara hukum dan memiliki sedikit perlindungan. Sementara, perusahaan besar dibalik terjadinya kebakaran lahan yang meluas tidak pernah tersentuh hukum dan pengadilan.
Dengan demikian wajar, jika selama beberapa dekade terakhir, usaha pemerintah memadamkan kebakaran hutan tidak memberikan hasil efektif yang berkesinambungan. Karena pemerintah tidak sungguh-sungguh menyelesaikan masalah kebakaran hutan secara sistematik dan komprehensif.
Padahal dengan sumber daya yang dimiliki, pemerintah dapat mengoptimalkan hasil- hasil penelitian empiris dari para ilmuwan yang pakar dibidang lingkungan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan berulang dan mengantisipasi kekeringan.
Namun sayang, hasil kajian para ilmuwan seringkali menumpuk di perpustakaan saja. Padahal di sana jelas dibuktikan secara empiris bahwa penyebab kebakaran dan kekeringan bukan berasal dari petani lokal yang membuka lahan.
Jelas diungkapkan perusahaan besar yang membuka lahan untuk kelapa sawit merupakan penyebab utama kebakaran hutan dan kekeringan. Namun, seringkali petani lokal yang ditangkap dan diadili.
Situasi ini terjadi karena negara tidak menjadikan iman dan takwa kepada Allah SWT sebagai landasan dalam mengurusi urusan rakyatnya. Dalam negara kapitalisme sekuler, pemerintah terbatas pada pembuatan kebijakan yang dalam praktiknya lebih memihak para kapitalis atau pemilik modal. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih banyak menguntungkan segelintir pemilik modal serta merugikan rakyat kebanyakan.
Kondisi ini akan berbeda saat negara dijalankan berdasarkan syariat Islam. Hasil kajian ilmiah para ilmuwan pasti akan menjadi bahan masukan oleh negara untuk kemaslahatan rakyat.
Jika kita cermati, alih fungsi lahan dan deforestasi hutan di Kalimantan telah terjadi secara meluas. Baik untuk keperluan pemukiman karena pertambahan jumlah penduduk maupun alih guna lahan untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit.
Semestinya alih guna fungsi lahan jika memang diperlukan harus dilakukan secara tepat guna dan tepat sasaran. Bukan semata demi kepentingan para pemilik kapital. Apalagi jika pembabatan hutan dilakukan oleh para pemilik modal untuk menjarah tambang yang hakikatnya milik umum. Negara seharusnya paham bahwa fungsi hutan primer selaku paru-paru dunia yang berada di Kalimantan tidak akan pernah tergantikan dengan jenis hutan yang lain.
Semua itu semestinya membuat kita sadar bahwa sistem kapitalisme—yang terwadah oleh demokrasi—telah menzalimi masyarakat luas. Tidak hanya masyarakat yang tinggal di Kalimantan tapi seluruh penduduk bumi. Karena rusaknya ekosistem di Kalimantan akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan perubahan iklim bumi.
Sistem kapitalisme ini sudah sangat layak ditinggalkan, bahkan dibuang. Saatnya kita sadar untuk kembali pada aturan Islam agar bumi ini berkah.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nur Annisa Dewi, S.E.,M.Ak.
Aktivis Muslimah
0 Comments