TintaSiyasi.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan. Sejumlah pegawai KPK terlibat skandal melakukan pungutan liar di rumah tahanan KPK, dan mark up uang perjalanan dinas. Miris! Suatu lembaga yang seharusnya terdepan dalam pemberantasan korupsi tapi turut tercebur di dalam. Lebih parah lagi, di antara mereka melakukan pelecehan seksual kepada istri para tahanan. Harapan ‘Indonesia bersih dari korupsi’ semakin hari semakin tampak ilusi. Bagaimana cara KPK melakukan ‘bersih-bersih’, sementara internalnya sendiri tidak bersih?
“Malaikat pun kalau masuk ke dalam sistem kita, bisa menjadi iblis”.
Pernyataan Prof. Mahfud MD saat menjadi Ketua MK, dan viral di tahun 2012 tersebut masih sering digoreng. Mahfud mengklarifikasi, pernyataan tersebut tertuju pada sistem Pilkada, dan mengusulkan untuk diubah. Nyatanya, semakin banyak kepala daerah yang korupsi. Dikutip dari laman antikorupsi.org, tak kurang dari 22 gubernur dan 148 bupati/walikota telah ditindak KPK di tahun 2004 hingga Januari 2022. Sementara menurut catatan ICW, tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam rentang tahun 2010-2018. (7/2/2022)
Korupsi Menjerat Partai Besar
Presiden Jokowi pernah menyatakan, kasus korupsi selalu menjadi prioritas pemerintah. Pernyataan tersebut disampaikan dalam Pidato Sidang Tahunan MPR di kompleks Senayan, Jakarta pada Selasa (16/8/2022). Jokowi pun bangga atas terbongkarnya tiga kasus megakorupsi Jiwasraya, Asabri, Garuda, dan menyatakan pembenahan total segera dimulai. Namun sayang, kasus rasuah masih terus menjerat kepala daerah hingga pejabat elit pemerintah.
Di antara kepala daerah yang tejerat kasus korupsi di tahun 2023 adalah Bupati Kabupaten Kapuas Ben Brahim S Bahat, Bupati Kepulauan Meranti Muhammad Adil serta Walikota Bandung Yana Mulyana. Lagi-lagi, upaya pembenahan total semakin tampak ilusi saat pejabat pemerintah skala menteri turut melakukan korupsi. Terakhir, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo diperiksa atas dugaan kasus korupsi terkait penempatan pegawai dalam jabatan.
Pemanggilan Syahrul seolah membenarkan prediksi publik bahwa menteri dari Partai Nasdem akan diseret satu per satu. Sebelumnya, kasus korupsi proyek BTS yang menyeret Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate heboh. Publik menilai, pemanggilan Johnny G Plate sebagai upaya penjegalan Partai Nasdem. Hubungan Jokowi dan Nasdem memang tampak dingin usai diumumkannya Anis Baswedan sebagai calon presiden 2024. Terlepas dari penilaian tersebut, sangat sulit menemukan partai yang bersih dari korupsi.
Sebelumnya, ada empat menteri dari partai besar yang terjerat korupsi. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dari PKB menerima suap Rp26,5 miliar atas penyaluran dana hibah KONI. Menteri Kelautan dan Perikanan, Edi Prabowo dari Gerindra menerima suap 25,7 miliar atas izin ekspor benur. Menteri Sosial, Idrus Marham selaku Sekjen Partai Golkar menerima suap 2,25 miliar atas proyek PLTU Riau-1. Menteri Sosial berikutnya, Juliari Batubara dari PDIP menerima gratifikasi bantuan sosial penanganan Covid-19 senilai Rp32,4 miliar.
Merembet ke Segala Lini
Andaipun pernyataan Mahfud MD ditunjukkan untuk sistem Pilkada, sistem pemerintahan Indonesia secara keseluruhan telah nyata menunjukkan kerusakan. Berdasarkan UUD 1945, sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial di mana presiden bertugas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dibantu sejumlah menteri untuk menjalankan roda pemerintahan di masing-masing bidang. Sementara kepala daerah bertugas memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
Banyak di antara calon presiden, calon kepala daerah ataupun calon legislatif yang tidak dikenal masyarakat. Masa kampanye menjadi momen paling menentukan untuk memperkenalkan diri. Namun sayang, biaya kampanye begitu mahal hingga potensi ‘main mata’ saat duduk di kursi panas semakin nyata. Sandiaga Uno sempat mengaku telah menghabiskan dana kampanye Rp1,4 triliun dalam pemenangan Prabowo di tahun 2019. Ditambah lagi polemik utang Rp50 miliar antara Anis-Sandi saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.
Tak heran, partai yang mengusung artis sebagai calon legislatif maupun calon kepala daerah semakin marak. Setidaknya, bisa meminimalisir biaya kampanye karena publik sudah mengenal mereka. Terlepas dari apakah artis tersebut mampu, dan layak atau tidak. Padahal, maksud dan tujuan adanya pemisahan tiga kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif adalah sebagai ‘checks and balances’. Ketiga lembaga tersebut berfungsi sebagai pengontrol dan penyeimbang satu sama lain. Namun, kasus korupsi justru semakin merembet ke segala lini.
Bongkar Akarnya
Tentu, publik bersuka cita atas kinerja pemerintah yang berani membongkar kasus korupsi. Namun, akan lebih puas jika pembongkaran kasus korupsi dilakukan secara transparan, tanpa pandang bulu, dan tuntas sampai ke akar-akarnya. Seperti diketahui, kasus korupsi berbeda dengan kasus pencurian yang bisa dilakukan oleh satu orang. Korupsi cenderung dilakukan lebih dari satu orang, baik bersama rekan kerja, atasan, maupun bawahan. Tak heran jika satu kasus korupsi dibongkar, maka nama-nama lainnya turut terseret.
Selama ini, publik tampak belum puas dengan pembongkaran kasus korupsi karena lebih sering tidak tuntas. Padahal, pemerintah menggolongkan kasus korupsi dalam ekstraordinary crime (kejahatan luar biasa). Akan tetapi, penanganannya terkesan biasa saja. Mirisnya, mantan napi koruptor diperbolehkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah maupun calon legislatif. Publik masih terus menguji sejauh mana keseriusan pemerintah. Namun, selama pemerintah masih mempertahankan sistem demokrasi, selama itu pula upaya pembenahan total menjadi ilusi.
Pemerintah seharusnya sadar, demokrasi yang dipuja-puji selama ini melahirkan sosok pemimpin atau pejabat negara yang rakus. Korupsi sering dikaitkan dengan gaji kecil. Padahal, mereka yang memiliki jabatan tinggi, gaji dan fasilitas fantastis pun tetap melakukan korupsi. Demokrasi lahir dari idiologi sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, termasuk kehidupan bernegara. Demokrasi mengagungkan kebebasarn (liberalisme) hingga urusan dosa, surga dan neraka menjadi urusan pribadi masing-masing yang tidak perlu dicampuri negara.
Melihat kasus korupsi yang semakin membudaya dan sistemik, sangat terasa urgensi memilih calon pemimpin yang memiliki kepribadian unggul. Teringat akan pernyataan politikus sekaligus mantan narapidana korupsi, Romy Romahurmuziy agar tidak menjadikan tingkat kesalehan seseorang menjadi patokan dalam memilih pemimpin. Padahal, kerusakan yang terjadi akibat merosotnya moral elit negeri semakin menjadi-jadi. Romy menjelaskan, memilih calon pemimpin harus berdasarkan integritas dengan kriteria sidiq, amanah, fatonah dan tabligh.
Karakter pemimpin yang disebutkan Romy merupakan akhlak yang akan didapati oleh seseorang dengan tingkat kesalehan tinggi. Saleh artinya taat dan senantiasa menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT. Orang saleh akan senantiasa menjadikan aqidah Islam sebagai landasan berfikir dan berbuat dalam segala aktivitasnya. Keempat kriteria pemimpin yang juga merupakan sifat para Nabi dan Rasul, merupakan bagian dari ajaran Islam. Alhasil, memisahkan akhlak tersebut dengan tingkat kesalehan adalah mustahil.
Islam memiliki solusi dalam melakukan pembenahan total kasus korupsi. Ada tiga pilar yang bisa mendukung upaya tersebut yaitu ketakwaan individu, adanya kontrol masyarakat, dan peran negara dalam menerapkan syariat Islam secara menyeluruh (kaafah). Negeri ini membutuhkan sosok pemimpin dan pejabat negara yang berkepribadian Islam. Sosok seperti ini akan senantiasa menghadirkan ruh (kesadaran akan hubungannya dengan Pencipta) dalam setiap aktivitasnya. Ia akan senantiasa merasa takut ketika melakukan kemungkaran.
Kepribadian Islam bisa terbentuk melalui penerapan kurikulum pendidikan nasional berbasis aqidah Islam. Dengan demikian, akan lahir generasi emas yang bertakwa dan berkepribadian Islam. Selain ketakwaan individu, dibutuhkan pula kontrol masyarakat untuk menjamin setiap individu masyarakat terus berada dalam jalur rel yang benar. Adapun peran negara dalam menjamin ketersediaan berbagai kebutuhan pokok dengan harga terjangkau, hingga masyarakat merasa sejahtera juga bisa meminimalisir terjadinya korupsi.
“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (TQS. Al A’raaf : 96)
Kesejahteraan masyarakat terkait erat dengan sistem pengelolaan sumber daya alam (SDA). Islam memiliki aturan yang komprehensif terkait pengelolaan SDA, termasuk larangan privatisasi. Negara wajib mengelola SDA yang mana hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tampaklah, satu urusan saling terkait dengan usuran lainnya. Oleh karena itu, penerapan sistem Islam secara menyeluruh lebih bisa menjamin negeri ini bebas dari korupsi, karena syariat Islam berasal dari Sang Pencipta Manusia dan alam semesta, Allah SWT.
Wallahu alam bish showab.
Oleh: Ikhtiyatoh, S.Sos.
Aktivis Muslimah
0 Comments