Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hutanku Sakit, Siapa yang Bertanggung Jawab?


TintaSiyasi.com -- Keindahan dan kekayaan alam Indonesia sudah tidak diragukan lagi oleh dunia. Beragam kekayaan itu telah memikat para wisatawan, mulai dari pegunungan, pantai, danau, laut dan juga termasuk hutannya. Begitu juga dengan padang rumput, air terjun, terumbu karang dan banyaknya jenis flora dan fauna, bagaikan permata indah yang mampu menarik pandangan dunia. 

Namun di sisi lain, ketika memasuki bulan Juli, Indonesia selalu dilanda cuaca ektrem yang ditandai dengan curah hujan meningkat dan disertai angin kencang. Masyarakat berharap supaya Juli tahun ini tidak terjadi banjir. Tentu harapan ini berkaitan dengan potensi hutan sebagai pelindung tanah dan air tanahnya.

Hutan adalah salah satu yang memiliki ‘aura pemikat’ tersendiri, ditunjang dengan letak geografis yang berada di khatulistiwa, menjadikan Indonesia rumah yang tepat bagi tumbuhnya flora dan pohon-pohon besar. Pohon-pohon inilah yang bergelar mulia sebagai paru-paru dunia, pondasi penjaga ekosistem dan penopang elemen kehidupan di bumi. Maka dunia harus menjaga kelestarian hutan supaya tetap dalam fitrahnya.

Di dalam Al-Qur’an, tujuan penciptaan manusia di bumi ini adalah untuk menjadi pengelola alam (QS. Al-Baqarah: 30) karena Allah menjadikan langit dan bumi beserta isinya adalah untuk manusia (QS. Al-Baqarah: 29), begitu juga pengutusan Nabi Muhammad SAW ke dunia adalah untuk menjadi rahmat bagi alam semesta (QS. Al-Anbiya: 107). Bukan hanya membawa rahmat bagi manusia, tetapi juga untuk hewan, tumbuhan, tanah, air, udara dan semua hal yang dicakup oleh alam semesta.

Oleh karena itu, dengan beragamnya potensi hutan, maka negara berkewajiban untuk mengelola sumber daya ini dan memberdayakan hasilnya, baik kayu maupun non kayu semata-mata untuk kepentingan rakyatnya. Bukan dialihkan kepada perorangan atau perusahaan, dan tidak dialihfungsikan sebagai industri komersial. Negara juga wajib membuat aturan tegas bagi para perusak lingkungan, khususnya hutan.

Di Indonesia banyak sekali peraturan yang berkenaan dengan pengelolaan yang lestari, dibuktikan dengan adanya program reboisasi. Bahkan dibuatkan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sesungguhnya UU tentang pengelolaan hutan di Indonesia sudah nyaris sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Islam, hanya saja UU tersebut hanyalah kumpulan kalimat bila tidak dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknisnya. Dan itulah yang terjadi di Indonesia, ditandai dengan ilegal logging dan alih fungsi hutan di beberapa wilayah Indonesia. Jelas ini merugikan negara dan masyarakat.

Carut marut pengelolan hutan sudah terjadi dari awal hingga akhir eksploitasinya. Seperti pengambilan kayu log yang digawangi oleh perusahaan besar. Beberapa diantaranya karena hal berikut:

Pertama, terjadi perebutan tender antar perusahaan yang menginginkan pengelolaan hutan. Namanya perusahaan, pastilah memiliki tujuan mendapatkan keuntungan besar, yakni dengan cara ekploitasi dan sabotase izin. Tak diragukan lagi, ada praktik korupsi juga.

Kedua, setelah tender menang, mereka akan mengeksploitasi hutan agar target produksi terpenuhi, tanpa memikirkan dampak negatifnya dan bagaimana nasib selanjutnya. Hal ini termasuk upah pekerja, tanaman warga sekitar, pembakaran sampah sisa penebangan hutan, atau potensi longsor dan banjir yang terjadi karena tidak adanya proses reboisasi.

Ketiga, setelah selesai penebangan, masih terdapat kemudharatan yang terjadi, misalnya bentrokan antara perusahaan dengan masyarakat yang sadar terhadap akibat aktivitas tersebut. Atau proses lobby yang belum selesai atas ganti rugi tanah dan tanaman yang ikut rusak.

Sesungguhnya, Kementrian Kehutanan sudah menerbitkan ketetapan adanya DR (Dana Reboisasi) yang dibebankan pada perusahaan. DR ini ditujukan untuk menghijaukan dan penanaman kembali lahan kosong dan area bekas tebangan. Akan tetapi, program ini tidak dilaksanakan. Kalaupun dilaksanakan, itu hanya sebagai formalitas saja untuk memenuhi persyaratan.

Inilah yang terjadi pada hutan kita, akan sangat berbeda bila sistem pemerintahan Islam yang diterapkan. Khalifah akan dengan tertib, terencana dan tegas mengelola sendiri hasil hutan, kalaupun pihak asing/swasta dilibatkan, maka itu hanya sebagai pekerja ahli saja bukan sebagai pemegang hak pengelolaan. 

Dalam QS. Al A’raf: 56 ditegaskan bahwa manusia dilarang membuat kerusakan di muka bumi. Allah menciptakan alam ini dan manusia di dalamnya dalam keseimbangan dan keserasian, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad sebagai seorang penyayang binatang dan pelestari lingkungan. Beliau sangat tegas dalam memberikan teguran dan larangan terkait dengan pengerusakan alam. Khalifah yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan As-Sunnah pasti akan mengikuti apa yang telah dicontohkan Rasulullah. Selain akan terhindar dari kerusakan alam, hak-hak pekerjapun akan diprioritaskan, dijauhkan dari praktik suap, penyerobotan lahan dan ilegal logging.

Dengan demikian, hanya aturan Islam lah yang harusnya ditegakkan di muka bumi ini, agar keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup terpelihara serta membawa manfaat bagi seluruh umat manusia.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Umi Alea
Jembrana-Bali
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments