TintaSiyasi.com -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus fokus mendorong hilirisasi nikel. Kebijakan andalan Jokowi ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah produk tambang Indonesia, dan ke depannya mendorong pemasukan negara yang lebih besar. (CNBC Indonesia, 7/7/2023). Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor nikel dan produk olahannya di Indonesia tercatat melonjak hingga 369,37% dibandingkan pada tahun sebelumnya.
Akan tetapi, kebijakan hilirisasi nikel ini ternyata mendapat pertentangan dari IMF. IMF meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat, karena dianggap merugikan Indonesia. Adapun menurut Ekonom INDEF, Abra Talattov menilai yang menjadi kritik atau protes dari IMF tersebut lantaran ada kesan bahwa kebijakan hilirisasi RI hanya menguntungkan segelintir atau bahkan mungkin satu negara saja yakni Tiongkok.
Dan hasilnya, iming-iming keuntungan hilirisasi memang tak kunjung hadir meski kebijakan ini sudah berjalan hampir tiga tahun. Sungguh jauh panggang dari api. Pihak yang "panen" profit adalah para pengelola (investor), terutama Cina sebagai penanam modal yang mendirikan perusahaan smelter di Indonesia. Cina mendapat untung besar karena tidak perlu keluar banyak biaya untuk mendapatkan bijih nikel. Menghemat biaya transportasi, bahkan tak perlu membuka tambang nikel dan mengurus perizinan. Cukup dengan membeli bijih nikel dari penambang lokal dengan harga murah, mereka akan terbebas dari beberapa kewajiban.
Penjualan nikel setengah jadi tidak memberi dampak pendapatan yang tinggi karena harga nikel akan sangat tinggi jika dijual dalam bentuk sudah jadi. Pendapatan besar hasil menjual nikel setengah jadi masih kalah besar dibanding perusahaan Cina yang mengolah bahan setengah jadi itu menjadi produk akhir. Alhasil, memang pengelola (investor) yang menikmati panen profit berkali-kali lipat.
Pembukaan perusahaan smelter nikel tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri. Investor mendatangkan pekerja mereka sendiri sehingga pengangguran dalam negeri tak terkurangi. Perusahaan-perusahaan smelter juga mendapatkan “fasilitas wah” dari pemerintah. Di antaranya, bebas bayar bea masuk, bebas bayar royalti (sebagai pemegang IUI), tax holiday, bebas PPN, bebas pajak ekspor, serta bebas bayar PPH-21 dan iuran izin tinggal terbatas (ITAS) dan dana kompensasi penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA Cina menggunakan visa kunjungan 211.
Astagfirullah, sungguh miris melihat fenomena ini. Investor diberikan "red carpet", sementara rakyatnya banyak yang tidur tanpa beralas karpet. Hidup dengan minim kesejahteraan bahkan harta rakyat (SDA, bahan tambang seperti nikel yang melimpah) diserahkan kepada korporasi.
Kondisi demikian muncul karena negara tidak berperan sebagai pe-riayah (pengurus) kebutuhan rakyat. Negara hanya berperan sebagai regulator atau fasilitator, sekadar membuat UU untuk memudahkan para oligarki menguasai SDA negeri. Setinggi apa pun cita-cita pemimpin negeri ini atau sebaik apa pun kebijakan yang dibuat, tidak akan mengangkat harkat dan derajat bangsa di dunia Internasional.
Islam jelas menegaskan bahwa pemimpin itu adalah penggembala yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Tugas utama pemimpin adalah mengurusi urusan rakyat, bukan mengurusi kebutuhan investor maupun oligarki. Selain itu, sudah sepatutmya mereka meninggalkan hawa nafsu dan kepentingannya untuk kemudian memakai Islam dalam membuat kebijakan, karena Islam sudah terjamin kebenarannya.
Industri dalam negeri boleh ada, tetapi tergantung barang yang diproduksi. Jika barangnya haram, hukumnya haram. Jika barang yang mubah, maka industrinya juga mubah. Industri dalam Islam pun boleh dimiliki individu. Hanya saja, jika barangnya menyangkut kepemilikan umum, seperti tambang, haram menjadi milik individu. Industri tambang hanya boleh dikelola negara dan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Industri nikel yang ada saat ini merupakan industri tambang, berarti haram membolehkan individu apalagi asing mengelola untuk kepentingannya sendiri. Ditambah lagi, Islam mengharamkan kerja sama dalam bentuk apa pun dengan negara yang jelas permusuhan kepada Islam. Jikalau ada pengelola yang dikontrak untuk mengolah tambang, statusnya hanya sebagai pekerja, bukan pemilik. Negara tetap bertanggung jawab memanfaatkan hasil tambang itu untuk kebutuhan rakyat.
Dengan aturan ini, tidak ada lagi investor asing ataupun oligarki yang bisa mencuri SDA dari negeri kaum Muslim. Negara punya income besar dari SDA untuk mengurusi rakyat. Insyaallah, wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Cahyani Pramita, S.E.
Pemerhati Masyarakat
0 Comments