TintaSiyasi.com -- Menuju normalisasi setelah pandemi covid-19 kini Indonesia memberangkatkan jemaah haji yang jumlahnya dua kali lipat dari masa pandemi. Jika di tahun 2022 Indonesia memberangkatkan 100.050 jamaah kini Indonesia memberangkatkan 229.000 jamaah. Penambahan kuota jamaah haji tersebut memang menggembirakan, namun hal ini juga menimbulkan banyak persoalan dan menyisakan keprihatinan. Penyelenggaraan haji tahun ini mengusik sedikit kenyamanan para jamaah dalam beribadah, pasalnya ada jamaah yang mengalami kekurangan makanan dan minuman, bahkan tak sedikit jamaah yang mengalami lemas, dehidrasi bahkan ada yang hampir pingsan. Selain itu, tidak adanya kendaraan pengangkut membuat jamaah mengalami keterlambatan, dsb.
Mengutip dari metrotvnews.com (30/6), Anggota Ombudsman indraza Marzuki Rais mengungkapkan bahwa persoalan di penyelenggaraan Haji tahun ini tak hanya terjadi saat jamaah berada di tanah suci saja, namun sudah ada kekacauan mulai dari pendaftaran, keberangkatan, hingga pelaksanaan haji di tanah Haramain. Indra mengaku dirinya mendapat kabar bahwa, ada pihak swasta masuk memanfaatkan momen haji untuk mendulang keuntungan materi. Misalnya, masuknya money changer ke dalam asrama sebagai penyedia jasa tukar uang karena jamaah diberi living cost mata uang Rupiah bukan Riyal.
Sementara itu, ketua Komnas haji dan umroh Mustolih menyampaikan masalah terlantarnya jemaah haji di tanah suci disebabkan adanya perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi. Penyelenggaraan haji yang semula ditangani Government The Government kini menjadi Business to Business. Tentu saja stakeholder yang berjalan adalah pihak swasta yang mempertimbangkan laba sebagai dasar pelayanannya. Bukan lagi ikhlas karena Allah dan tolong-menolong dalam kebaikan sebagai sesama saudara seiman sehingga mempermudah dan berusaha semaksimal mungkin memberikan kenyamanan kepada para jamaah. Apalagi rasa tanggung jawab pemimpin kepada rakyat, tak akan terpikirkan oleh swasta dalam menjalankan proyeknya karena memang bukan itu tanggung jawabnya.
Islam sangat menghormati tamu Allah yang sedang beribadah di tanah suci. Dengan berbekal takwa, tekat yang kuat, juga kecukupan ilmu, mereka berani mengadakan perjalanan jauh demi memenuhi panggilan Allah. Dengan mengorbankan harta, jiwa dan waktunya, mereka ingin mencari karunia Allah yang lebih besar. Dan demi menyempurnakan agama, juga pahala dan janji surga mereka rela berpayah-payah melakukan wukuf, thawaf, sa'i dan lempar jumroh. Perjuangan dan pengorbanan para jamaah haji ini digambarkan oleh Allah dalam Firmannya; "Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang dari segenap penjuru yang jauh" (QS. Al Hajj: 27).
"Demikianlah (perintah Allah), Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah (rangkaian ibadah haji dan tempat-tempatnya), maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati" (QS. Al Hajj: 32).
"... Dan jangan mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitulharam, mereka mencari karunia dan keridaan Tuhannya, ..." (QS. Al Maidah: 2)
Paradigma business to business lahir hari ideologi Sekulerisme Kapitalisme yang saat ini berjaya. Negara Sekuler yang dimotori oleh negara-negara Barat diikuti pula oleh negeri muslim, termasuk Indonesia dan Arab Saudi. Hal ini berpengaruh juga dalam penyelenggaraan haji tahunan. Pemerintah akan melelang tender setiap aspek pelayanan dari penyedia katering, pelayan kesehatan, penyedia akomodasi, dll kepada swasta. Siapa pemenangnya dialah yang akan ditunjuk sebagai pelaksana.
Menyerahkan pengurusan ibadah haji kepada swasta hanya akan memperlemah posisi negara sebagai pengurus urusan umat. Lagipula, motif bisnis hanya akan mempersulit jamaah dalam menjalankan kewajibannya untuk melaksanakan ibadah yang menjadi bagian dari rukun Islam tersebut. Dengan banyak alasan, biaya haji akan berpotensi naik dari masa ke masa, juga akan menampakkan ketidak profesional dari para penyelenggara karena tidak tertanam dalam dirinya perasaan diawasi oleh Allah dan juga tidak ada kekhawatiran akan bertanggung jawabkan dari dana para jemaah haji kelak di akhirat.
Dibutuhkan evaluasi untuk memperbaiki pelayanan kepada jamaah haji di tahun-tahun mendatang, agar diperoleh kemudahan pelayanan sehingga para jamaah nyaman beribadah dan juga dapat tepat waktu sesuai dengan ketentuan. Tak hanya evaluasi individu, organisasi, komunitas dari penyelenggara, tetapi juga butuh perombakan paradigma bernegara. Dari tujuan profit materi kepada tujuan ibadah dan mencari rida Allah. Dengan tujuan ibadah, negara akan benar-benar dapat melayani dan mempertahankan esensi ibadah haji, yakni untuk mengagungkan syi'ar-syiar suci agama Allah. Dengan ini negara akan menggunakan potensinya untuk mempermudah dari awal pendaftaran, pemberangkatan, saat ibadah di tanah suci maupun saat kembali ke negara masing-masing jamaah. Misalnya dengan membebaskan visa, memberlakukan mata uang yang sama untuk seluruh negeri-negeri muslim, dsb.
Jika atas dasar ekonomi saja masyarakat Eropa dapat bersatu, maka tentu saja umat Islam seluruh dunia lebih dapat dipersatukan atas dasar Takwa, keimanan, dan cara ibadah yang sama. Tentu negara yang berkomitmen untuk mempersatukan negeri-negeri Islam dan mengutamakan syiar suci agama Allah hanyalah negara yang berasaskan ideologi Islam, yakni negara yang sesuai dengan yang dicontohkan oleh para sahabat Khulafaur Rasyidin. Dengan khilafah, para jamaah haji akan terhindar dari jerat motif bisnis para kapitalis yang membuat mereka sulit untuk tersenyum manis. Wallahu a'lam bi ash-Shawaab.
Oleh: Liyah Herawati
Kelompok Penulis Peduli Umat
0 Comments