Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Tipu-Tipu Kebijakan Minyakita, Korporasi Mengurusi Rantai Tata Niaga

Tintasiyasi.com -- "Maaf, anda belum beruntung." Ungkapan tersebut nampaknya tepat untuk menggambarkan kondisi rakyat kecil yang sudah sangat sering diperdaya oleh penguasa. Entah ini tipuan keberapa, yang pasti rakyat masih tetap harus gigit jari dan beliak mata karenanya. Kebijakan MinyaKita yang oleh pemerintah diluncurkan tahun lalu dan diklaim sebagai solusi atas melambungnya harga minyak di pasaran memang sempat menjadi harapan terutama bagi para ibu rumah tangga. Namun nyatanya MinyaKita sulit didapat, dan kalaupun ada harganya mahal.

Sangat mengherankan memang, dari distributor MinyaKita dijual dengan mekanisme bundling atau bersyarat, yakni pedagang yang ingin membeli MinyaKita diwajibkan untuk membeli produk lainnya semisal sabun, atau minyak goreng merk lain. Disamping itu kwantitas pembelian dari distributor pun dibatasi.

Melansir dari IDX Channel. 29/5/2023, pedagang sembako masih mengeluhkan pembelian MinyaKita yang dibatasi bahkan menggunakan persyaratan bundling, yang karenanya mau tidak mau pedagang menjual dengan harga diatas Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp14.000 per liter, sebab jika harus mengikuti kebijakan tersebut, pihaknya tidak dapat untung.

Sementara itu, seorang pedagang menuturkan, bahwa dirinya tidak lagi membeli MinyaKita di distributor atau agen lantaran harus membeli produk lain untuk bisa mendapatkan MinyaKita. Padahal selisih harga MinyaKita dari tangan ketiga dibanding ke distributor atau agen bisa mencapai 10 ribu atau lebih per dus, oleh karena itu tidak bisa menjual sesuai HET melainkan harus menjual Rp 16.000 per liter (Katadata, 01/06/2023)

Fenomena di atas memang benar adanya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah melakukan berbagai pengawasan lapangan atas distribusi dan penjualan MinyaKita. Pihaknya enemukan berbagai dugaan kecurangan yakni penjualan bersyarat (bundling), disamping itu juga menemukan potensi kecurangan lain dengan membuka kemasan MinyaKita dan dijual sebagai minyak curah.

Mengapa MinyaKita Mahal dan Langka?

Tak mungkin ada asap jika tak ada api. Jawaban atas pertanyaan mengapa MinyaKita mahal dan langka menuai polemik yang tak kunjung berbuah solusi.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita berpendapat bahwa pemerintah gagal memberikan jaminan pasokan MinyaKita dan pasokan bahan bakunya, sehingga harga naik di atas HET. 

Sementara itu, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkap ada tiga penyebab kelangkaan MinyaKita di pasaran: Pertama, banyaknya masyarakat yang beralih dari minyak goreng premium ke MinyaKita. Kedua, implementasi program B35 yang menyedot penggunaan CPO lebih banyak. Ketiga, adanya penimbunan MinyaKita. 

Lain lagi pendapat Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, dia membantah tudingan Zulhas soal B35, menurut Airlangga program B35 tidak mengganggu pasokan minyak sawit untuk kebutuhan konsumsi seperti minyak goreng. 

Polemik di kalangan penggede yang tak pernah kunjung usai tersebut menjadikan rakyat semakin jengkel atas keadaan ini, heran terhadap korenah (kelakuan) pihak-pihak yang tak bertanggungjawab, pun bosan dengan sikap pemerintah yang seakan tidak memiliki ketegasan dalam menindaknya. 

Sejatinya, ketika terjadi kesalahan dalam tata kelola pangan yang tidak lain ini merupakan buah dari penerapan sistem kapitalisme maka mahal dan langkanya minyak goreng adalah keniscayaan. Sebagai korporasi, produsen minyak goreng pasti lebih mementingkan keuntungan dirinya daripada terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Pemerintah sendiri terkesan membiarkan mafia minyak goreng menimbun barang tanpa adanya sangsi tegas. Disamping itu, distribusi minyak goreng juga diserahkan kepada pihak swasta sehingga kondisi harga mahal dan langka terus saja terjadi secara berulang-ulang dan tak kunjung usai. 

Sumber Masalah adalah Diterapkannya Sistem Kapitalisme

Sudah menjadi maklum bersama, ketika negara tidak hadir dalam pengaturan rantai tata niaga pangan, maka disaat yang sama telah memberikan tempat bagi mafia minyak yang mana keberadaannya merupakan korporasi. Dalam sistem kapitalisme saat ini, praktik spekulasi sangat sulit untuk dihilangkan karena korporasi lebih berkuasa daripada penguasa. Walhasil, penimbunan minyak goreng mengakibatkan kelangkaan dan melonjaknya harga. 

Penerapan sistem ekonomi liberal yang lahir dari kapitalisme juga menjadikan para spekulan merasa bebas untuk memainkan harga. Mirisnya, temuan itu tidak segera diiringi sikap tegas dan cepat untuk mendistribusikan minyak ke masyarakat. Masih harus dilakukan penyelidikan sebelum pemberian sanksi. Akhirnya, rakyat tidak bisa berharap lebih, karena sistem ini memandulkan peran pemerintah yakni pemerintah hanya sebatas regulator dan fasilitator, bukan pengurus rakyat. 

Tak bisa dipungkiri, kapitalisme sungguh merupakan sumber petaka karena pengelolaan dan pemenuhan rakyat diserahkan kepada korporasi. Berbagai kebijakan yang pemerintah buat justru malah memfasilitasi korporasi untuk menguasai bisnis kebutuhan primer. Oleh karena itu, mustahil terwujud kestabilan harga dan barang  jika korporasi masih menguasai sektor ini.

Islam Menjaga Kestabilan Harga

Dalam menjalankan politik ekonomi Islam dan mewujudkan kestabilan harga sehingga terjangkau masyarakat, Negara Islam atau Khilafah tidak akan membiarkan korporasi menguasai rantai tata niaga untuk mencari keuntungan sepihak. Dalam hal ini, setidaknya ada enam mekanisme yang ditempuh Khilafah yakni:

Pertama, menjaga tercukupinya pasokan produksi dalam negeri dengan mendukung sarana produksi dan infrastruktur penunjang. 

Kedua, menciptakan pasar sehat dan kondusif, mengawasi rantai tata niaga yaitu mencegah dan menghilangkan penyebab distorsi pasar antara lain melarang penimbunan, riba, praktik tengkulak, kartel dan sebagainya 

Ketiga, mengawasi penentuan harga mengikuti mekanisme pasar.

Keempat, menjamin agar badan pangan (seperti Bulog atau BUMD) benar-benar menjalankan fungsi pelayanan, bukan menjadi unit bisnis. Pendanaan bagi lembaga ini ditanggung negara yang bersumber dari Baitul Mal. 

Kelima, negara tidak membiarkan korporasi menguasai rantai penyediaan pangan rakyat untuk mencari keuntungan. 

Keenam, negara melakukan penegakan hukum dengan memberi sangsi tegas  dan berefek jera sesuai aturan Islam bagi penimbun. 

Diriwayatkan dari Said al-Musayyib, dari Mu’ammar bin Abdullah al-‘Adawi bahwa Nabi saw. bersabda, “Tidaklah melakukan penimbunan, kecuali orang yang berbuat kesalahan.” (HR Muslim). 

Begitulah, dalam pandangan Islam, penimbun merupakan pelaku maksiat karena menyusahkan orang banyak untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan. Dia akan mendapatkan sanksi takzir oleh khalifah. Pelakunya pun akan dipaksa untuk menawarkan dan menjual barangnya ke para konsumen dengan harga pasar, bukan harga patokan negara, sehingga masalah kelangkaan pun teratasi  dan rakyat menjadi mudah menjangkau harga pangan. 

Oleh karena itu, Khilafah benar-benar  merupakan kebutuhan mendesak bagi umat Islam. Hal ini bukan semata urusan harga dan jaminan ketersediaan pangan , melainkan seluruh urusan masyarakat akan diurus secara baik oleh Khilafah. 

Lebih dari itu, kesejahteraan serta keamanan akan dijamin sepenuhnya oleh negara. Kewajiban ini diberikan langsung oleh Allah kepada penguasa. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad dan Bukhari).

Oleh karena itu, memperjuangkan tegaknya khilafah adalah amal yang sangat mulia, bahkan merupakan Tajul Furudh (Mahkota Kewajiban), maka bersemangatlah wahai para pengemban dahwah. Wallahu a'lam bishshowab.

Oleh: Sayyida Marfuah
(Praktisi Pendidikan)


Baca Juga

Post a Comment

0 Comments