TintaSiyasi.com -- Miris, kata yang tepat untuk menggambarkan perilaku brutal dan sadis anak-anak yang masih duduk dibangku sekolah dasar.
Dikutip dari Kompas.com (20/5/2023), MHD (9), bocah kelas 2 di salah satu Sekolah Dasar Negeri di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia akibat dikeroyok oleh kakak kelasnya pada Senin (15/5/2023). Kondisinya sangat mengenaskan. Dokter menyampaikan, korban mengalami luka pada bagian organ dalam. "Hasil visum korban mengalami luka pecah pembuluh darah, dada retak, dan tulang punggung retak," jelas HY, kakek korban.
Kasus diatas bukan kejahatan anak kali pertama. Sebelumnya, pada bulan Maret 2023, Polres Sukabumi mengamankan belasan pelajar tingkat SMP yang terlibat dalam penganiayaan yang menyebabkan seorang anak RM (12), siswa Sekolah Dasar juga meninggal dunia. Sebulan sebelumnya, ada peristiwa pembacokan oleh sekelompok remaja terhadap FNS (16), terjadi di Kota Bandung, Kamis (23/2/2023) (Republika.co.id, 11/3/2023).
Kasus-kasus tersebut menambah panjang daftar kejahatan anak, dari bulying, pergaulan bebas, anak membacok orang tua, kekerasan seksual dan tindak kriminal lainnya. Dikutip dari validnews.id, (10/11/2023), KPAI mencatat, selama periode 2016-2022, terjadi kenakalan anak berhadapan dengan hukum sebanyak 2.883 kasus. Pada 2020 terdapat 199 kasus, pada 2021 sebanyak 126 kasus, dan tahun 2022 sebanyak 131 kasus.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah mengatakan anak masa kini tak lagi sekedar menggunakan kekerasan untuk menunjukkan jati diri, bahkan siap membunuh lawan untuk membuktikan diri. Kekerasan remaja tak lagi bisa disebut kenakalan remaja, karena sudah mengarah pada praktik melawan hukum, tegasnya.
Sistem Liberal Akar Masalah
Penerapan sistem sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, melahirkan perilaku rusak disetiap lini kehidupan, termasuk anak. Kebebasan individu merupakan hal utama dalam sistem ini. Keberadaan negara justru untuk menjunjung tinggi kebebasan tersebut. Terlebih Indonesia sudah ikut meratifikasi ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), yakni Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang disahkan dengan UU No. 12 tahun 2005. Dengan meratifikasi ICCPR tersebut, berarti Indonesia terikat untuk menjamin kebebasan dan hak-hak sipil warga negara (indeks.or.id, 11/6/2023).
Kebebasan individu hanya dibatasi dengan kebebasan orang lain. Selama tidak ada yang merasa terganggu haknya, sah bagi seseorang untuk melakukan apapun, sekalipun melanggar norma agama. Standar perbuatan tidak disandarkan pada halal dan haram. Nilai-nilai agama tersusun rapi hanya pada urusan pribadi. Agama hanya untuk mengatur urusan ibadah seperti shalat, zakat, puasa dan haji. Untuk mengatur urusan kehidupan, mengambil solusi dari Baraat, buah pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Dengan kondisi seperti ini, wajar lahir generasi liberal berperilaku brutal. Lebih jauh, kondisi ini akan menghasilkan masyarakat yang serba permisif. Masyarakat yang cuek, masa bodoh dan tidak peka terhadap amar ma'ruf nahi munkar.
Parahnya lagi, negara menyelenggarakan sistem pendidikan berbasis sekuler. Sistem pendidikan yang hanya mengejar sebatas fisik dan nilai manfaat, jauh dari adab dan syariat. Meski kurikulum pendidikan berganti berulangkali, nafasnya tetap sama, pendidikan ditujukan untuk menghasilkan generasi siap kerja untuk melayani kepentingan industri, mengabdi pada oligarki. Sementara pembentukan jati diri dan pembinaan aspek kepribadian diabaikan.
Wajar, sistem sekuler kapitalis melahirkan generasi yang individualis, miskin adab, dan berperilaku brutal dan sadis. Meski berbagai upaya sudah dilakukan, seperti pembinaan di sekolah kebangsaan, namun belum mampu menekan angka kenakalan anak. Solusi yang ditawarkan masih bersifat parsial dan tambal sulam, tidak menyentuh akar persoalan. Sejatinya, kenakalan anak yang masih marak akibat penerapan sistem sekuler kapitalistik, maka solusinya harus sistemik dan idiologis, yakni Islam.
Islam Solusi Tuntas Kenakalan Anak
Islam datang sebagai agama ruhiyah sekaligus siyasiyah. Selain mengatur masalah ibadah, Islam punya solusi berbagai masalah, termasuk kenakalan anak. Islam diturunkan dari Sang Pencipta manusia, Zat Yang Maha Tahu semua kelebihan dan kekurangan manusia. Dipastikan solusi yang ditawarkan Islam solutif dan komprehensif.
Islam menyelesaikan kenakalan anak berangkat dari anak adalah amanah sekaligus anugrah bagi orang tua. Sebagai amanah, orang tua wajib mendidiknya dengan membekali dan mengokohkan akidahnya, memahamkan anak dengan syariat Islam agar perbuatannya senantiasa terikat dengannya, serta membekali ilmu kehidupan. Anak juga anugrah karena merupakan aset penerus masa depan peradaban Islam sekaligus investasi amal shalih bagi orang tuanya. Berangkat dari filosofi ini, maka setiap orang tua akan sungguh- sungguh mendidik anaknya hingga terbentuk generasi rabbani.
Dalam sistem Islam, masyarakat terbentuk dari individu-individu yang memiliki pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, yakni Islam. Bentukan masyarakat seperti ini akan melahirkan kepekaan dan kepedulian yang tinggi untuk beramar makruf nahi munkar. Pemikiran dan perasaannya sama, bahwa setiap perbuatan harus disesuaikan dengan perintah dan larangan Allah. Standar perbuatan adalah halal dan haram. Rasa cinta dan bencinya dilandaskan pada syariat Islam. Dan kebahagiaan tertinggi adalah menggapai ridha Allah SWT.
Dan yang paling penting adalah keberadaan negara sebagai pelaksana dan penerap syariat Islam. Negara wajib melaksanakan sistem pendidikan Islam. Kurikulumnya disusun dalam rangka, pertama membentuk kepribadian Islam, yakni individu yang memiliki pola pikir dan pola nafsiyah Islam; kedua, membekali anak dengan tsaqafah (ilmu-ilmu) Islam seperti akidah, ibadah, Bahasa Arab, ulumul Qur'an, ukumul hadis dan sebagainya; ketiga membekali anak dengan ilmu-ilmu kehidupan yakni sains dan teknologi.
Selain menyelenggarakan pendidikan Islam, negara wajib memenuhi kebutuhan dasar komunal lainnya yakni kesehatan dan keamanan. Negara memastikan bahwa anak senantiasa dalam kondisi aman dimanapun dia berada.
Untuk menjaga setiap individu termasuk anak senantiasa dalam biah shalihah maka negara wajib melaksanakan syariah Islam untuk mengatur kehidupan. Untuk mencegah anak dari kekerasan seksual, negara wajib melaksanakan sistem pergaulan dalam Islam. Seperti, larangan ikhtilat, yakni kehidupan pria dan wanita terpisah, boleh bertemu ketika ada keperluan syar'i seperti jual beli, berobat dan sebagainya. Larangan khalwat, yakni berdua-duan tanpa mahram, larangan menyerupai lawan jenis, wajib menutup aurat dan menundukkan pandangan dan sebagainya. Islam tegas melarang penyimpangan seksual seperti L98T.
Untuk menjaga anak terlibat narkoba, negara wajib melarang setiap usaha memproduksi, mengimpor serta mengedarkan khamr, termasuk narkoba. Untuk menjaga anak melakukan kekerasan, negara wajib memblokir informasi maupun konten- konten yang mengandung kekerasan, pornografi maupun konten yang merusak lainnya.
Itulah contoh penjagaan sistem Islam yang sempurna, baik individu, masyarakat maupun oleh negara. Ketika masih terjadi pelanggaran maka akan diberi sanksi dengan tegas. Anak, meskipun usianya dibawah 18 tahun, ketika sudah baligh, akan terkena beban taklif. Ketika melakukan pelanggaran akan diberi sanksi sesuai tindak kriminalnya. Sanksi dalam Islam tegas, berfungsi sebagai zawajir, yakni sebagai pencegah dan jawabir penghapus dosa.
Khatimah
Kenakalan anak tetap akan merebak dalam sistem sekuler kapitalis. Sistem yang meminggirkan peran agama ini sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Kebebasan tanpa batas inilah yang menumbuhsuburkan kenakalan anak.
Maka solusi kenakalan anak harus bersifat sistemik dan ideologis, yakni kembali kepada sistem Islam. Tinta sejarah mencatat, sistem Islam mampu mrlahirkan generasi Rabbani yang berorientasi pada kehidupan dan kebahagiaan abadi. Bukan generasi yang mengejar eksistensi dan kebahagiaan sesaat dan sekejap.
Wallahu a'lam
Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat Tinta Siyasi
0 Comments