TintaSiyasi.com -- Kejadian yang menimpa RI, gadis berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah sungguh menyayat hati. Korban mengalami pelecehan seksual oleh 11 pelaku ditempat dan waktu berbeda. Insiden berawal pada saat RI bekerja di Rumah Adat Kaili, Desa Taliabo, Parigi Moutong, terjadi dari April 2022 hingga Januari 2023. Pelakunya beragam, dari petani, mahasiswa, tenaga pendidik, kepala desa hingga anggota polisi (HaiBunda, 2/6/2023) .
Korban menderita psikis dan medis. Pihak dokter memutuskan untuk mengangkat rahim korban. Karena, jika tidak, akan berisiko bagi pasien. Selain menjalani perawatan medis, korban juga menjalani terapi psikologi dan hasilnya berangsur membaik.
Beragam Pandangan
Kasus RI mengundang pandangan beragam. Kapolda Sulawesi Tengah, Irjen Agus Nugroho mengatakan, narasi awal yang menyebut kasus ini sebagai pemerkosaan adalah salah. Menurut pihaknya, tidak ada kekerasan, ancaman ataupun ancaman kekerasan di balik persetubuhan yang dilakukan semua pelaku pada korban.
Kejadiannya juga tidak bersamaan, sehingga istilah pemerkosaan bergilir tidak tepat. Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi mengingatkan, setiap aktivitas seksual terhadap anak adalah Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kasus tersebut masuk dalam kekerasan seksual karena korban yang masih anak-anak di bawah umur belum bisa memberikan persetujuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Ditegaskan, tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak tidak memeriukan unsur paksaan atau tekanan (HaiBunda, 2/6/2023).
Senada dengan Siti Aminah Tardi, Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (Dirjen HAM) Dhahana Putra mendorong aparat penegak hukum mengusut tuntas kasus kekerasan seksual anak di bawah umur (15) yang dilakukan oleh 11 orang. Pasal 4 Ayat (2) UU 12 Tahun 2022 tentang TPKS disebutkan perkosaan atau persetubuhan terhadap anak dikategorikan sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Liputan6.com, 3/6/2023).
Bahkan ada dugaan, kasus di Moutong Parigi merupakan bentuk prostitusi. Karena korban diiming-imingi dengan uang, pakaian, atau telepon seluler. Perbedaan persepsi terhadap kasus kekerasan seksual berimplikasi terhadap sanksi yang diberikan pada pelaku. Bukan rahasia, kasus serupa biasanya menguap tidak berbekas, hanya dengan sedikit iming- iming uang bagi korban.
Darurat Kekerasan Seksual pada Anak
Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan kekerasan seksual pada anak, toh kasusnya bukan berkurang justru makin berkembang. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan catatan Kemen PPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. (CNN Indonesia, 23/1/2023). Dikutip dari Okezone.com (27/2/3023), kasus kekerasan seksual terhadap anak, baik perempuan dan laki-laki, di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sejak 2019 sampai 2022 total kasus mencapai 31.725. Pada 2019 terdapat 6.454 kasus, tahun 2020 ada 6.980 kasus, tahun 2021 ada 8.703 kasus dan tahun 2022 ada 9.588 kasus.
Merebaknya kekerasan seksual terhadap anak tak lepas dari sistem yang berlaku di negara ini, yakni sistem sekuler. Sistem dimana peran agama dikebiri hanya untuk urusan pribadi dan ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Sementara untuk mengatur urusan kehidupan menggunakan aturan produk akal manusia yang lemah dan terbatas. Kebebasan individu merupakan sesuatu yang harus diagungkan. Standar perbuatan adalah manfaat, bukan halal dan haram. Puncak kebahagiaan adalah ketika mendapatkan kepuasan jasmani sebanyak-banyaknya. Maka wajar, untuk melampiaskan hasrat seksual tidak kenal halal haram, yang penting hasratnya terpuaskan.
Setali tiga uang, sistem pendidikan yang dijalankan semata untuk mengabdi pada kepentingan industri. Orientasinya menciptakan tenaga kerja yang siap guna. Sementara pembentukan aspek kepribadian diabaikan. Muncul generasi yang berpikir individualis, pragmatis dan hedonis. Individu yang lebih mengejar materi dan kepuasan jasmani sesaat, miskin visi kehidupan akhirat.
Faktor lain adalah marak dan mudahnya mengakses tontonan pornografi dan pornoaksi, terlebih didunia maya. Negara abai dan kurang peduli dalam melindungi rakyatnya dari konten yang membangkitkan syahwat.
Sebagaimana yang disampaikan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar menjelaskan modus dan faktor penyebab kekerasan seksual terhadap anak beragam, yang paling ia sorot adalah dampak dari kecanduan menonton pornografi (CNN Indonesia, 28/1/3023). Kejahatan ini makin lengkap ketika pelaku punya keberanian menenggak miras.
Terakhir adalah hukuman yang tidak membuat efek jera. Kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur diatur dalam Pasal 292 KUHP yang berbunyi:
Orang yang cukup umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Secara khusus Indonesia mememiliki undang-undang tersendiri mengenai perlindungan terhadap anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 81 dan 82 dijelaskan pelaku pelecehan seksual terhadap anak dipidana penjara maksimal 15 tahun.
Hukuman yang sangat ringan dibanding dengan dampak psikis yang harus ditanggung korban. Bahkan faktanya, kasus serupa sering menguap begitu saja ketika tidak dikawal dengan baik. Tidak sedikit, kasus selesai dengan berdamai meski dengan imbalan uang yang tidak seberapa.
Solusi Tuntas Kekerasan Seksual
Maraknya kekerasan seksual terhadap anak hingga level " darurat" membuka mata bahwa dampak tersebut muncul bukan semata masalah budi pekerti. Kerusakan yang muncul secara sistemik akibat penerapan sistem yang rusak dan merusak karena menegasikan peran agama. Solusi yang bisa menuntaskan masalah adalah mengembalikan agama sebagai aturan kehidupan. Dengan kata lain mengganti sistem sekuler liberal dengan sistem Islam yang datang dari Maha Pencipta Yang Maha Tahu kekurangan manusia. Sistem yang dibangun dengan landasan iman dan takwa pada Allah SWT.
Islam datang dengan seperangkat aturan untuk menyelesaikan masalah manusia secara komprehensif, salah satunya kekerasan seksual pada anak. Negara berkewajiban menyelenggarakan sistem pendidikan Islam. Pendidikan yang berorientasi terbentuknya individu yang berkepribadian Islam dan menguasai skill kehidupan. Individu yang mantap dan kokoh akidahnya serta menyelaraskan perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah SWT. Standar kebahagiaan ketika mendapatkan ridha Allah.
Islam mewajibkan bagi laki-laki mencari nafkah untuk dirinya dan individu yang berada dalam tanggungannya, termasuk wanita. Sementara wanita tidak wajib mencari nafkah dan berada dalam tanggungan walinya. Dengan demikian perempuan senantiasa terlindungi dan dalam lingkungan yang aman.
Islam juga mengatur kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah, tidak bercampur baur. Boleh bertemu ketika ada hajat yang diperbolehkan syarak, seperti jual beli, berobat dan menuntut ilmu. Selain terpisah, Islam mewajibkan pria wanita menutup aurat, menundukkan pandangan, dan tidak berdua-duaan dengan bukan mahram.
Untuk mencegah bangkitnya gairah seksual negara wajib menyaring konten yang membangkitkan naluri seksual. Informasi dan hiburan yang diperbolehkan yang bisa mendekatkan diri pada Allah, bukan yang membangkitkan syahwat dan maksiat. Negara juga melarang segala bentuk usaha memproduksi, mendistribusikan dan memperjualbelikan segala bentuk miras, yang sudah terbukti sebagai induk segala kejahatan termasuk kekerasan seksual.
Dengan penjagaan yang sempurna tersebut, jika masih terjadi pelanggaran, maka Islam mempunyai sanksi tegas yang memberikan efek jera. Pelaku kekerasan seksual, jika sudah nikah (muhson) akan dirajam, jika belum menikah (ghoiru muhson) akan dihukum cambuk 100 kali. Adapun hukuman bagi pemerkosa (ightisabh) lebih berat dari sekedar berzina, karena ada unsur pemaksaan.
Sebelum ditegakkan hukuman zina, maka pelaku pemerkosa diberi sanksi ta'zir, dimana jenis hukuman ditentukan oleh qadi ( hakim). Berat hukuman disesuaikan dengan berat ringannya pelanggaran. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar nasehat atau teguran dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringannya hukuman ta’zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).
Khatimah
Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Meski berbagai upaya sudah dilakukan, dengan membentuk komisi perlindungan anak hingga UU perlindungan anak, toh belum mampu menekan kejahatan seksual pada anak.
Maka solusinya adalah kembali pada Islam, dengan menerapkan Islam secara kafah. Sistem yang akan menegakkan syariat Islam secara kafah sebagai solusi kehidupan. Ketika sistem ini belum tegak, maka kewajiban kaum muslimin bergabung dengan kelompok dakwah idiologis yang berjuang untuk mengembalikan kehidupan Islam.
Wallahu a'lam.
Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments