Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Indonesia Darurat Kekerasan Seksual pada Anak

TintaSiyasi.com -- R, seorang remaja berusia 15 tahun di Kabupaten Parigi Moutong (Parimo), Sulawesi Tengah, dilecehkan oleh hingga 11 laki-laki di tempat dan pada waktu yang berbeda. Peristiwa tragis ini bermula ketika pada tahun lalu R membawa bantuan dari Poso untuk korban banjir di Desa Toroe, Parimo. Kemudian R bertemu dengan salah satu pelaku yang menjanjikannya pekerjaan di sebuah rumah makan. Ternyata bukannya memberikan pekerjaan, pelaku malah melecehkannya. Tidak berhenti sampai di situ, pelaku juga mengajak pelaku lain untuk melecehkan R. Akibat pelecehan tersebut, R mengalami infeksi di organ reproduksinya. (Detik, 28/05/2023).

Hingga Selasa (30/05/2023) Polda Sulawesi Tengah telah menahan lima tersangka dari 11 terduga pelaku pemerkosaan R (15 tahun) dan telah memeriksa sejumlah saksi. Meski demikian hasil penyelidikan belum mengungkap motif para pelaku. Sementara itu pendamping korban, Salma Masri, mengatakan kondisi kesehatan R terus memburuk lantaran alat reproduksinya mengalami infeksi akut dan rahimnya terancam akan diangkat. (BBC, 31/05/2023).


Indonesia Darurat Kejahatan Seksual pada Anak!

Kasus Parimo merupakan kasus kekerasan seksual terhadap anak terberat selama 2023 karena banyaknya jumlah pelaku dan dampaknya pada korban. Saat ini, korban mengalami infeksi akut pada alat reproduksinya hingga terancam dilakukan operasi pengangkatan rahim. Kasus berat lainnya terjadi di Banyumas, Jawa Tengah. Korban yang berusia 12 tahun diperkosa oleh delapan pria di waktu dan tempat berbeda. (BBC, 31/05/2023).

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan data Kemen PPPA pada 2022, kasus kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia mencapai 9.588 kasus, meningkat drastis dari tahun sebelumnya (4.162 kasus). Jika kita telisik, ada banyak aspek yang menjadikan kasus kekerasan seksual terhadap anak makin marak.


Sanksi Tidak Memberi Efek Jera

Berdasarkan UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar (Kompas, 06/01/2022).

Ancaman hukuman bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak sampai hukuman mati, melainkan hanya dipenjara, bahkan bisa mendapatkan keringanan hukum. Banyak kasus kekerasan seksual menguap begitu saja jika publik tidak mengawal ketat. Cukup dengan modus pemberian sejumlah uang terhadap keluarga korban untuk “berdamai”, kasus bisa “hilang” tanpa penyelesaian secara hukum. Hal ini menjadikan pasal kekerasan seksual tidak memberi efek jera bagi para pelaku.


Perbedaan Definisi

Terdapat perbedaan definisi dalam undang-undang terkait definisi kasus. Dari segi undang-undang, seperti UU Nomor 12 Tahun 2022 misalnya, “Kekerasan Seksual” adalah “setiap perbuatan merendahkan, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa”.

Sedangkan menurut UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), kekerasan seksual diartikan sebagai: " Setiap perbuatan yang bersifat fisik dan atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis”.

UU sebelumnya mengkategorikan bentuk-bentuk kekerasan seksual secara terperinci. Namun dalam UU TPKS tak dijelaskan bentuk-bentuk kekerasan seksual secara terperinci, hanya menetapkan bentuk kekerasan seksual secara fisik dan nonfisik.

Definisi “kekerasan seksual” yang tidak jelas ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi para pelaku. Lantas, kalau mendefinisikannya saja berbeda, bagaimana keadilan hukum bisa terwujud?


Mudahnya Akses Pornografi

Hampir setiap orang pasti memiliki ponsel pintar. Dengan ponsel yang dimiliki, tak jarang para penggunanya bisa bebas mengakses informasi apa saja yang dikehendaki, termasuk mengakses konten pornografi. Siapa pun mudah saja mengakses konten pornografi melalui ponselnya yang mengakibatkan pengguna menjadi mudah terangsang dan tak jarang melampiaskan hasrat seksualnya di sembarang tempat, termasuk melampiaskannya kepada anak-anak yang umumnya mudah dirayu dan dibujuk.


Buruknya Sistem Pendidikan

Kurikulum pendidikan Indonesia yang mengacu kepada Barat (yang notabene berbasis pada akidah sekularisme) mengakibatkan kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari nilai-nilai agama sehingga menghasilkan lulusan-lulusan yang mengabaikan agama. Masyarakat merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan berbagai macam tindakan kriminal, termasuk kekerasan seksual pada anak.


Islam Solusi bagi Maraknya Kekerasan Seksual Anak

Kekerasan seksual pada anak yang sangat marak terjadi merupakan akibat dari diterapkannya sistem sekuler yang menihilkan peran agama dalam kehidupan. Oleh karena itu, solusi yang mengakar dan sistemik adalah dengan membuang sistem sekuler dan menggantinya dengan menerapkan sistem Islam.

Dari segi pendidikan, negara akan menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam sehingga akan mewujudkan generasi yang bertakwa yang takut kepada Allah, sadar bahwa setiap detik hidupnya akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat kelak sehingga tidak akan mudah berbuat maksiat.

Dari segi peraturan masyarakat, negara akan menerapkan sistem pergaulan Islam yang memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ada keperluan yang dibenarkan syarak. Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan nonmahram selain dalam ikatan pernikahan sehingga sangat kecil kemungkinan terjadi kekerasan seksual.

Sistem media massa dalam Islam akan menghapus segala jenis konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya kekerasan seksual.

Pelaksanaan semua sistem tersebut akan mencegah terjadinya kekerasan seksual, termasuk terhadap anak. Jika sampai terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.

Dalam QS An-Nur: 2, Allah SWT berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Ayat ini adalah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.
Adapun perkosaan atau rudapaksa (ightisabh) bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau qadhi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”

Demikianlah begitu besar perhatian Islam terhadap nyawa dan kehormatan seorang manusia, sehingga menerapkan Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah sama dengan menutup segala bentuk pintu kemaksiatan. Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: Cita Rida 
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments