TintaSiyasi.com -- Polemik baru muncul lantaran putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Mengutip dari media online Tirto.id (28/5/2023), bahwasanya hal ini dibacakan langsung oleh ketua MK, yaitu Anwar Usman di dalam sidang putusan yang disiarkan kanal Youtube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis (25/5/2023). Anwar menyebutkan, Pasal 34 UU Nomor 30 Tahun 2002 terkait Komisi Pemberantas Tindak Korupsi yang semua berbunyi “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama empat tahun” bertentangan dengan UUD 1945.
Hal ini juga didukung oleh Hakim Konstitusi Guntur Hamzah yang menyatakan bahwa ketentuan masa jabatan pimpinan KPK selama empat tahun bersifat diskriminatif dan juga tidak adil jika dibandingkan dengan dengan komisi dan lembaga independen lainnya. Guntur pun menyampaikan bahwa masa jabatan pimpinan KPK selama lima tahun jauh lebih bermanfaat dan efisien jika disesuaikan dengan komisi independen lainnya.
Dengan itu tentu memunculkan beragam kritik dari sejumlah pihak, termasuk dari eks pimpinan KPK, Saut Situmorang. Ia mengungkapkan perpanjangan masa jabatan tersebut justru telah merusak mekanisme check and balance (Tirto.id, 26/5/2023).
Pakar Hukum tata Negara, Bivitri Susanti pun mengaku mencium keanehan dalam keputusan tersebut. Ia mengatakan bahwa materi gugatan tersebut sesungguhnya tidaklah urgen dan tidak ada kaitannya dengan isu konstitusional.
Hal ini juga mengundang komentar dari pakar hukum tata negara, Denny Indrayana bahwa keputusan tersebut lebih kental nuansa politis pemenangan Pilpres 2024. Hal tersebut lantaran putusan tersebut akan retroaktif sejak putusan dibacakan. Maka, masa jabatan pimpinan KPK Firli Bahuri diperpanjang hingga Desember 2024.
Denny pun menduga perpanjangan masa jabatan ini hanya untuk mengamankan sejumlah kasus di KPK hingga Pilpres 2024 selesai. Di mana sejumlah kasus tersebut agar tidak menyasar kawan koalisi dan sebaliknya menyasar lawan oposisi. Denny mengatakan, “Jika proses seleksi tetap harus dijalankan saat ini, dan terjadi Pimpinan KPK di Desember 2023, maka strategi menjadikan KPK sebagai bagian dari strategi merangkul kawan dan memukul lawan itu berpotensi berantakan.” (CNN Indonesia, 25/5/2023).
Adanya Faktor Kepentingan
Di dalam kapitalisme, jabatan dan kekuasaan seringkali tersandera oleh kepentingan tertentu. Bahkan, KPK sendiri pun yang seharusnya menjadikan kepentingan rakyat sebagai prioritas masih juga berpeluang untuk mengkhianati rakyat. Karena asas sistem ini masih dilatar belakangi dengan faktor kuasa yang beriringan dengan kepentingan, maka akan didapati pula beragam upaya dan motif untuk menyukseskan segelintir pihak.
Inilah yang terus menerus akan ditemui di dalam kapitalisme, yaitu rakyat memiliki krisis kepercayaan pada lembaga negara yang seharusnya rakyat merasa aman dan terjamin akan kelurusan serta keloyalan lembaga negara dalam mengurusi umat. Tetapi sayangnya, inilah realita yang harus ditelan oleh rakyat di sistem ini, bahwa tak ada lembaga yang berdiri dilandasi dengan perbaikan tuntas sebagai upaya memprioritaskan rakyat. Yang ada hanyalah kecondongan untuk menyelamatkan segelintir pihak dengan kuasa yang dimiliki sebagai alat paling ampuh.
Padahal sebagai manusia seharusnya kita memahami bahwa jabatan bukanlah alat untuk melindungi kejahatan atau memperkaya diri sendiri. Tetapi jabatan adalah amanah yang harus dimaksimalkan dan dipertanggungjawabkan bagi setiap yang memikulnya. Jelas ini adalah buah dari sistem kapitalisme yang di dalamnya terdapat pemisahan agama dari kehidupan, dengan itu upaya yang terjadi tidak dibarengi dengan hubungan kepada Sang Pencipta dan tak merasa takut akan bayang-bayang pertanggungjawaban yang sebetulnya. Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan negara Islam yang memiliki aturan berlandaskan hukum syarak yang sudah pasti memprioritaskan umat.
Islam Memiliki Solusi Menyeluruh
Di dalam Islam, umat menjadi pihak yang harus diprioritaskan oleh negara. Pemangku jabatan pun pastinya dibersamai dengan hubungan dengan Sang Pencipta, dengan itu gerak gerik serta upayanya dilandasi rasa taat kepada Allah SWT. Sudah pasti kebijakan yang tercurahkan adalah untuk kepentingan rakyat berlandaskan hukum syarak dan sama sekali tidak akan terkotori oleh kepentingan segelintir pihak semata.
Dengan kesadaran akan hubungannya dengan Sang Pencipta, tanggung jawab pada amanah dan orientasi untuk kepentingan rakyat, maka akan tercipta ekosistem kemasyarakatan yang sempurna dan damai. Tidak akan ada rasa curiga dari rakyat kepada lembaga negara dan rakyat tentu akan mendapatkan buah manis dari kejujuran dan keloyalitasan pemangku jabatan tersebut.
Begitulah Islam memandang dan mengurusi umat dari hal-hal prinsipil, hasilnya pemangku jabatan dan umat menjadi terarahkan serta terkondisikan berada dalam koridor yang semestinya. Dengan itu, Islam yang diterapkan secara menyeluruh dapat mencegah penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan dengan efektif.
Maka, tak ada solusi lain selain berupaya menjadi bagian yang menjemput kebangkitan dan penerapan Islam tersebut. Kita bisa memulainya dengan terus menerus berpegang pada hukum syara dan menyuarakan Islam seluas-luasnya, agar umat memahami bahwa Islam diturunkan memang sebagai solusi dan perisai bagi umat manusia. Dengan itu umat pun akan tersadarkan betapa tidak efektifnya hidup di bawah naungan kapitalisme ini, karena yang didapati hanyalah kepentingan dan kekuasaan yang disalahgunakan. Semua buah kapitalisme itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menyengsarakan rakyat saat ini dan di kemudian hari. Hanya Islamlah yang mampu mengatasi dengan solusinya yang hakiki.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Rifdah Reza Ramadhan, S.Sos.
Aktivis Muslimah
0 Comments