Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Nasib Buruk Pekerja Migran Dampak Buruk Ekonomi Kapitalisme


TintaSiyasi.com -- Negeri dengan sebutan "gemah ripah loh jinawi" atau kekayaan alam yang melimpah ternyata tidak menjadi jaminan masyarakat yang hidup di dalamnya sejahtera. Nyatanya masih banyak ditemukan masyarakat hidup di dalam kemiskinan ekstrem. Mereka tidak memiliki tempat tinggal bahkan tidak memiliki pekerjaan. 

Kalau sudah begitu bisa dipastikan untuk bertahan hidup para pekerja rela meninggalkan kampung halamannya dan menjadi pekerja imigran. 

Maraknya Pekerja Migran Indonesia (PMI), menggambarkan bahwa kemiskinan dan sempitnya lapangan pekerjaan tengah terjadi di dalam negeri. Terlebih, mereka diiming-imingi penghasilan yang besar dan syarat yang mudah untuk bisa bekerja ke luar negeri. Tak jarang, mereka berangkat hanya dengan modal nekat untuk merubah nasib guna dapat menafkahi anak istri atau membantu perekonomian keluarga.

Migrasi yang aman pun hanya isapan jempol belaka. Bahkan, selama sistem yang ada bernafaskan Kapitalisme, maka keamanan pekerja akan mustahil didapatkan. Terlebih, Kapitalisme mendorong perempuan untuk ikut bekerja menopang perekonomian keluarga, bahkan negara. Sedang, yang lebih diuntungkan adalah para kapital.

Pemerintah juga telah menghadiahi tanggal 1 Mei sebagai peringatan hari buruh Internasional. Namun, setiap tahun, butuh tetap menuntut kesejahteraan. Namun, faktanya tuntutan mereka tidak pernah terealisasi, justru nasib mereka masih saja memprihatikan.

Bukan sekadar dongeng jika banyak imigran yang disiksa majikannya, bahkan hingga harus meregang nyawa. Wajah Meriance Kabu, pekerja migran Indonesia (PMI) asal NTT yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Malaysia, menghitam karena hampir setiap hari dipukul majikannya. Tubuhnya pernah ditempelkan setrika panas, alat vitalnya dijepit tang hingga memar, lebam, dan terluka, lidah dan telinganya sobek, tulang hidungnya pun patah.

Malang bukan kepalang, Meriance yang awalnya tinggal di desa yang belum teraliri listrik, berniat pergi ke Malaysia untuk sekadar bisa memberi uang jajan pada anak-anaknya. Nahas, ia menjadi pekerja migran ilegal karena ketidaktauannya. Majikannya kerap mengancam melaporkannya ke polisi jika ia keluar rumah. Setelah selamat dari siksaan, kini Meriance terus mencari keadilan karena majikan yang menyiksanya tidak mendapatkan hukuman berat. 

Sama halnya dengan Majikan Adelina—PMI lainnya—yang pada 2019 dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Penang. Padahal, pada 2018, Adelina ditemukan di beranda rumah majikannya dalam kondisi tidak berdaya dan penuh luka, hingga akhirnya nyawanya tidak bisa terselamatkan. Ia pun termasuk satu dari 700 lebih pekerja asal NTT yang kembali dalam peti mati (BBC, 1-3-2023).

Sungguh malang dan memprihatinkan yang di derita para pekerja imigran, mereka terkatung-katung hendak meminta perlindungan keamanan dari penguasa negeri ini, namun seringkali pengaduan mereka terabaikan. Penguasa negeri ini sibuk untuk memperkaya diri sementara rakyatnya berjuang untuk mendapatkan sesuap nasi. 

Sudah banyak cerita tentang nasib mengenaskan yang menimpa tetangga atau teman, tapi tetap tidak menyurutkan langkah untuk menjadi pekerja imigran. Minimnya informasi terkait biro penyalur tenaga kerja yang tidak bertanggung jawab, memaksa mereka untuk menerima risiko apa adanya. Sementara, Perlindungan keamanan dan hak hukum bagi PMI tidak ada jaminan yang tegas, baik dari penyalur maupun pemerintah. Banyaknya biro penyalur ilegal pun kian menjamur, sementara pemerintah seolah tak kuasa menyelesaikan masalah.

Mengurus urusan rakyat berarti mengurus kebutuhan manusia yang bersifat kompleks. Manusia tidak hanya punya kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan. Tetapi juga punya kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan yang juga merupakan kebutuhan pokok bagi manusia.

Karenanya, negara wajib memastikan terpenuhinya lapangan pekerjaan bagi rakyatnya agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib memelihara dan mengatur urusan umat, menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki yang bertanggung jawab atas keluarganya. Hal ini adalah bentuk pengaturan negara berdasarkan syariat Islam dan pernah diterapkan oleh khilafah.

Islam juga tidak membiarkan seorang perempuan meninggalkan peran pentingnya sebagai seorang ibu dan pengatur rumah tangganya. Dalam Islam seorang perempuannya terfokus mengurus dan mencetak akhlak anak-anak guna menjadi generasi penerus bangsa yang berkualitas. Namun, bukan berarti seorang perempuan tidak boleh turun ke ranah publik. Dia boleh turun ke ranah publik, menjadi pendamping suami mereka, namun tidak melupakan dan mengabaikan tugas penting mereka menjadi seorang ibu.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Wakini
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments