Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Begini Tiga Ancaman Ekologis, jika Pindah IKN ke Kalimantan


TintaSiyasi.com -- Mengkaji aspek ekologis terkait pemindahan ibu kota negara (IKN), Pengamat Lingkungan Dr. Agung Wibowo membeberkan tiga ancaman ekologis dalam FGD ke-28 Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB): IKN, Analisis Kritis Multidisiplin, Sabtu (12/2/2022) di YouTube Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa.

Menurut Agung, ancaman pertama pembangunan IKN adalah kerusakan hutan di daerah hulu, yakni, sumber pakan ikan, udang, dan kepiting di sekitar kawasan mangrove.

Kedua, erosi tanah dan sedimentasi dari daerah hulu, gangguan terhadap populasi ikan. "Penelitian-penelitian banyak yang menyatakan jika kawasan yang hulunya rusak, maka terjadi penurunan populasi ikan di hilirnya, di dunia demikian," imbuhnya.

Ketiga, meningkatkan suhu perairan, gangguan terhadap populasi ikan. "Pembangunan fisik dan pembuangan limbah ini akan mengganggu ikan yang ada di hilir. Ini harus diwaspadai," tukasnya. 

Menurut Agung, kalau pemerintah ingin menunjukkan dan membuat kota yang ramah lingkungan menjadi percontohan bagi seluruh kota-kota di Indonesia boleh-boleh saja. Akan tetapi, kata Agung, itu tidak dikhususkan untuk IKN, seharusnya itu dilakukan di seluruh kota Indonesia.

Menurutnya, pembangunan IKN ini harus berkonsep membangun dalam konteks membangun Indonesia. "Oleh karena itu, spirit dan kebijakan dalam pembangunan IKN harus dapat diterapkan secara simultan di seluruh Indonesia," katanya. 

Ia khawatir IKN akan menjadi kota yang elitis dan eksklusif karena hanya IKN yang dikonsep ramah lingkungan. Padahal menurutnya, semua kota yang ada di Indonesia harus menjadi kota yang ramah lingkungan. Menurutnya, faktor terpenting dalam mewujudkan kota ramah lingkungan, entah itu namanya green city (kota hijau), forest city (kota hutan), atau smart city (kota pintar) adalah mengubah perilaku manusia. 

“Edukasi masyarakat untuk menciptakan kota ramah lingkungan dengan 5R, refuse (menolak hal yang membahayakan lingkungan), reduce (membatasi), reuse (menggunakan kembali), repair (memperbaiki), dan recycle (mendaur ulang). Semoga, mudah-mudahan dengan momentum pandemi bisa menciptakan gerakan yang massal untuk melakukan perubahan sikap dan perilaku," bebernya.

Agung mengatakan, sulit menemukan argumentasi, IKN akan membawa konsep ramah lingkungan, jika kebijakan-kebijakannya tidak pro lingkungan.

"Kita sulit menemukan argumentasi bahwa IKN ini akan membawa konsep ramah lingkungan, jika kebijakan-kebijakan ini dan yang ada sebelumnya itu tidak pro lingkungan," ujar Agung dalam 

Menurutnya, permasalahan pemerintah dalam pembangunan IKN sisi lingkungan ini adalah soal legitimasi. "Pemerintah tidak memiliki legitimasi yang kuat di masyarakat untuk bisa menguatkan pendapatnya dan program-programnya bahwa ini akan terealisasi apa yang direncanakan," jelas Dosen di Universitas Palangkaraya ini.

Ia mengungkapkan, track record (rekam jejak) kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya tidak memadai. "Jika, IKN ini menjanjikan kota dengan energi terbarukan, yang jadi pertanyaannya, mengapa bank-bank BUMN (Badan Usaha Milik Negara) masih membiayai perusahaan batu bara. Ini yang banyak diprotes dari kawan-kawan aktivis lingkungan, padahal batu bara ini adalah penyumbang emisi kedua setelah hutan," bebernya.

Menurutnya, program pemerintah membangun kota yang ramah lingkungan, tetapi BUMN itu tidak support (mendukung) terhadap program-program yang menjaga lingkungan. 

"Kemudian, abu batu bara tidak lagi dikategorikan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Menyusul diundangkannya Undang-undang Cipta Kerja. Jadi, ini menjadi konsen aktivis lingkungan," jelas Agung. 

Ia heran, di Undang-undang IKN hilang ketentuan luas minimal 30 persen untuk kawasan hutan pada suatu daerah. Padahal, undang-undang sebelumnya menyatakan luas hutan minimal suatu daerah adalah 30 persen, hal itu dihilangkan. 

Ia menjelaskan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PermenLHK) nomor 24 tahun 2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate telah diterbitkan. 

"Ini juga menjadi payung, ada semacam inkonsistensi di sini. Jadi, untuk pembangunan food estate itu kawasan hutan bisa dialokasikan untuk kegiatan itu, dilepaskan untuk HL (hutan lindung), sebenarnya tidak mengapa, itu bisa saja. Akan tetapi, untuk kepentingan-kepentingan pemerintah itu mudah dilakukan, tetapi untuk kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak, itu sulit dilakukan," tandasnya.[] Ika Mawarningtyas
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments