TintaSiyasi.com -- Beberapa hari ini viral di media online maupun televisi nasional yang memberitakan ratusan pelajar di Ponorogo hamil di luar nikah. Betapapun data yang diwartakan tersebut, tidak menunjukkan angka yang sesungguhnya berapa jumlah anak-anak yang sudah hamil di luar nikah. Karena yang diberitakan hanya angka permohonan dispensasi kawin, tetapi berita-berita tersebut cukup menjadi efek kejut bagi kita semua di awal tahun ini.
Tidak hanya terkejut, berita tersebut juga membuat kita semua sangat prihatin. Bahkan, tidak sedikit yang mengecam berbagai pihak yang dianggap gagal mendidik, mengawasi, melindungi, dan dinilai abai terhadap nasib anak-anak khususnya di Ponorogo (iainponorogo.ac.id, 16 Januari 2023).
Juru Bicara Pengadilan Agama Ponorogo Ruhana Faried mengungkapkan, kebanyakan pemohon dispensasi nikah tidak memiliki minat sekolah. Sehingga lebih memilih untuk berumah tangga. Menurutnya, hal ini tidak masuk akal bagi orang dewasa. Pasalnya, usia mereka masih jauh di bawah 19 tahun.
Hal yang miris, Ruhana mengatakan, ada remaja yang baru berusia 15 tahun melakukan hubungan layaknya suami istri di rumah orangtuanya. Hal itu yang menjadi pertimbangannya untuk memutuskan permohonan dispensasi nikah. Petugas PA mengimbau kepada orangtua dan guru untuk lebih ketat menjaga dan mengawasi pergaulan anak agar tidak terpaksa menikah di usia dini (tribun-medan.com, 14 Januari 2023).
Tak cukup hanya dengan speak up untuk hentikan pergaulan bebas. Hal ini merupakan masalah yang sistemis sehingga membutuhkan solusi yang sistemis pula.
Pergaulan bebas sampai menyebabkan hamil diluar nikah dapat terjadi karena jauhnya generasi dari nilai-nilai agama, mereka tidak menjadikan Islam sebagai aturan hidup dan mereka tak tahu bagaimana sistem pergaulan dengan lawan jenis yang telah diatur dalam Islam. Sehingga pada akhirnya terjerumus dalam perzinahan. Selain itu, hal ini juga merupakan tanda kegagalan pendidikan akibat konsep HAM yang meliberalisasi anak.
Atas nama hak asasi para remaja bisa bergaul dengan bebas, sementara orang tua tidak berani mengambil sikap tegas terhadap anak dengan alasan akan melanggar hak mereka. Akibatnya pengawasan dan pendidikan orang tua terhadap anak makin longgar dan berujung kebablasan.
Konsep hak asasi ini lahir dari Barat, sehingga paradigma yang membangunnya adalah ideologi yang mereka anut yakni kapitalisme. Konsep ini memberikan kebebasan seluas-luasnya pada tiap individu untuk bertingkah laku, beragama, berpendapat, dan terhindar dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Konsep seperti ini tentunya akan membatasi wewenang orang tua dalam mendidik, mengarahkan, dan membentuk kepribadian anak, juga membatasi masyarakat dalam melaksanakan amar makruf dan nahi mungkar. Tak heran jika nilai-nilai liberalisasi (kebebasan) menguasai benak para pemuda. Implikasinya, merebaklah pergaulan bebas yang berujung pada perzinahan hingga kerusakan moral atas nama hak asasi.
Padahal, Allah sangat melaknat para pelaku zina. Sebagaimana firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32).
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap satu dari keduanya dengan seratus kali deraan. Dan janganlah kamu belas kasihan kepada keduanya didalam menjalankan (ketentuan) agama Allah yaitu jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan hendaklah (dalam melaksanakan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS An-Nur: 2).
Diriwayatkan dari Ibnu Abiddunya, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada dosa yang lebih berat setelah syirik di sisi Allah dari seorang laki-laki yang menaruh spermanya di dalam rahim wanita yang tidak halal baginya.”
Selain itu, pergaulan bebas juga berdampak buruk bagi kesehatan baik secara fisik maupun mental. Seperti tertular penyakit kelamin, HIV/AIDS, kehamilan yang tidak direncananan, dan kanker serviks. Beberapa masalah mental juga bisa terjadi, seperti perasaan bersalah, gangguan kecemasan, depresi, obsessive-compulsive disorder (OCD). Tak hanya itu, melakukan seks bebas juga dapat meningkatkan risiko untuk hamil di luar nikah. Tentu hal ini dapat mengganggu kesehatan mental karena adanya tekanan sosial dan tidak siapnya diri untuk berumah tangga.
Kehamilan di luar nikah bukan hanya berdampak pada pelaku (ayah dan ibu)-nya saja, tetapi juga sangat berpengaruh pada nasab anak yang ada di dalam kandungan. Anak tersebut tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafkah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Sehingga tidak bisa dikaitkan dengan nasab atas nama ayahnya, melainkan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Apalagi jika anak itu adalah perempuan, maka ketika dia hendak menikah beliau tidak boleh dinikahkan oleh ayah biologisnya, adik kandungnya dan abang kandungnya sekalipun. Demikian juga dengan kakek, saudara, paman yang secara hukum tidak mempunyai kapasitas sebagai wali nikah. Meski demikian, pernikahan tersebut tetap dapat dilangsungkan yaitu dengan mengunakan wali hakim.
Walhasil, solusi dan landasan terbaik hanya akan kita temukan pada aturan yang dibuat oleh Yang Maha Tahu terhadap ciptaan-Nya, yaitu aturan Allah SWT sang hakim dan sebaik-baik pembuat aturan.
Islam telah mengatur interaksi yang diperbolehkan antara laki-laki dan perempuan, bahwa hukum asal wanita dan laki-laki wajib dipisahkan. Artinya, kehidupan laki-laki dan perempuan itu terpisah, mereka hanya bisa bertemu karena adanya kebutuhan yang dibolehkan oleh syarak, misalnya dalam hal kesehatan, pasar (muamalah/jual beli), dan pendidikan.
Ketika keluar rumah ada adab yang harus dipenuhi, yakni kewajiban menutup aurat, ketika keluar rumah laki-laki maupun perempuan senantiasa menjaga auratnya.
Seorang Muslim juga dilarang untuk melakukan aktivitas khalwat, seperti berdua-duaan tanpa mahram, ikhtilat (campur baur), mendekati zina, bahkan berzina. Namun faktanya, dalam kehidupan sekarang banyak sekali yang tidak memisahkan kehidupan laki-laki dan wanita, seperti bersahabatan dengan lawan jenis, berboncengan, curhat, reuni campur baur, dan hubungan partner kerja, padahal ini semua tidak diperbolehkan dalam Islam jika tidak ada ikatan yang sah yaitu pernikahan.
Bagi mereka yang sudah siap untuk menikah, Islam memberikan jalan dengan cara bertaaruf (berkenalan). Dalam proses taaruf ini saat keduanya hendak bertemu harus ditemani oleh mahram. Untuk yang belum siap menikah, mereka diperintahkan untuk berpuasa.
Di samping itu, kewajiban orang tua juga merupakan jaminan bagi setiap anak. Di antaranya jaminan untuk hidup dan tumbuh secara optimal dan jaminan pendidikan dengan penjagaan agama. Masyarakat dan negara juga memiliki kewajiban yang sama terhadap anak, tetapi dalam skala yang lebih luas. Masyarakat berkewajiban menegakkan amar makruf nahi mungkar terhadap orang tua saat mereka mengabaikan kewajibannya terhadap anak. Sementara negara berkewajiban menyusun aturan-aturan yang memastikan anak-anak dapat memperoleh jaminannya.
Ketika seluruh aspek ini diterapkan, maka pintu gerbang pergaulan bebas akan tertutup dengan rapat karena adanya penjagaan dari semua pihak, mulai dari para generasi muda, orang tua, masyarakat dan negara yang memiliki kesadaran dan keyakinan atas aturan hidup yang telah Allah perintahkan kepada seluruh manusia. []
Oleh: Marissa Oktavioni, S.Tr.Bns
Aktivis Muslimah
0 Comments