TintaSiyasi.com -- Perseteruan antara Pesulap Merah alias Marcel Radhival dengan para dukun kian memanas. Seorang dukun di Blitar bahkan melaporkan Pesulap Merah ke polisi karena merasa terganggu dengan aksi pembongkaran trik muslihat dukun yang dilakukannya. Sebelumnya, Pesulap Merah mengaku berulang kali menerima ancaman santet dari para dukun (tribunnews.com).
Ketua Persatuan Dukun Nusantara (Perdunu), Gus Fatah Hasan, turut menyoroti permasalahan ini. Ia mengajak kedua pihak untuk mengedepankan mediasi. Menurut Gus Fatah, memang ada dukun yang melakukan tipu muslihat. Namun, apa yang dilakukan Pesulap Merah juga tidak etis karena mengungkap aib orang lain (detik.com).
Tak pelak, perseteruan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Ada pihak yang membela para dukun, ada juga yang mendukung upaya Pesulap Merah dalam memberantas praktik perdukunan. Sungguh ironis, masyarakat kita yang mayoritas Muslim saja belum satu suara terhadap masalah perdukunan. Lantas, bagaimana Islam mendudukkan perihal perdukunan di tengah kehidupan kaum Muslim?
Praktik Perdukunan Masih Marak
Praktik perdukunan, baik yang menggunakan trik penipuan, maupun yang menggunakan jasa makhluk gaib, bertambah subur di tengah masyarakat. Masyarakat kerap menggunakan jasa dukun untuk menyembuhkan penyakit, mendatangkan kekayaan, dan sebagainya.
Kemajuan teknologi tidak mampu menghapus kepercayaan masyarakat terhadap dukun. Para dukun tetap eksis di era modern ini, bahkan ikut mengalami digitalisasi. Beberapa dukun diketahui menyediakan layanan santet online di website, alat-alat perdukunan juga dijual bebas di marketplace.
Ada beragam alasan masyarakat menggunakan jasa dukun, di antaranya:
Pertama, masalah ekonomi dalam kaitannya dengan kesehatan. Banyak masyarakat yang enggan berobat ke fasilitas kesehatan karena kendala biaya. Adanya BPJS tidak mampu meningkatkan akses masyarakat pada fasilitas kesehatan, mengingat tidak semua rakyat bisa membayar iuran BPJS, dan tidak semua penyakit ditanggung oleh BPJS. Karena kendala biaya inilah, tak sedikit masyarakat pergi ke dukun untuk mencari pengobatan alternatif.
Kedua, lemahnya akidah Islam, akibat kurangnya pemahaman terhadap agama yang lurus. Kondisi ini diperparah dengan gempuran paham sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan. Adanya tuduhan radikal bahkan teroris malah menjadikan kaum Muslim fobia terhadap agamanya sendiri. Konsep moderasi beragama dan toleransi pada keragaman budaya juga kian menggerus akidah dalam diri kaum Muslim.
Ketiga, faktor sejarah yang membentuk tradisi yang melekat dalam masyarakat, sehingga sulit untuk dihilangkan meski telah terjadi pergantian zaman.
Keempat, gaya hidup hedonisme dan materialisme yang menghinggapi masyarakat, sehingga masyarakat lebih memilih cara instan demi meraup kesuksesan harta, jodoh, dan sebagainya.
Kelima, lemahnya sistem sanksi kepada pelaku praktik perdukunan di negara ini. Dalam KUHP pasal 545-547, ancaman hukuman bagi praktik perdukunan paling lama hanya tiga bulan. Sanksi tersebut tentu tak bisa membuat jera.
Islam Menuntaskan Masalah Perdukunan
Melihat berbagai sebab di atas, nampak permasalahan praktik perdukunan ini bermuara pada hilangnya peran negara sebagai pelayan umat. Negara seharusnya bisa berperan aktif sebagai penjaga akidah umat, penyedia fasilitas publik terutama fasilitas kesehatan, menyejahterakan ekonomi rakyat, dan sebagai filter umat dari masuknya paham yang merusak seperti hedonisme, materialisme, dan sebagainya. Nyatanya, negara saat ini justru menerapkan sistem sekuler-kapitalisme, dan membiarkan umat berjibaku sendiri untuk mempertahankan akidah dari serangan kesyirikan dan pemikiran asing.
Padahal Islam telah secara tegas melarang praktik perdukunan. Perdukunan (sihir) adalah haram dan termasuk dosa besar. Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal dan dia membenarkan ucapannya, maka dia berarti telah kufur pada Al-Quran yang telah diturunkan pada Muhammad" (HR. Ahmad).
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, Rasul SAW bersabda, "Barangsiapa mendatangi peramal lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari."
Seorang Muslim yang mendapatkan keimanan dari proses berpikir yang benar, tentu akan memperoleh akidah yang lurus, akan menjadikannya mengembalikan segala permasalahan hidup hanya kepada Allah. Hanya saja, kapasitas diri seorang Muslim sangatlah terbatas ketika dihadapkan dengan masifnya serangan pemikiran yang merusak akidah. Karena itulah, tak cukup hanya mengandalkan keimanan individu, tetapi juga harus ada peran negara.
Negaralah yang mampu mewujudkan kesehatan masyarakat dengan membangun segala infrastruktur kesehatan, serta memastikan setiap rakyat bisa mengaksesnya tanpa ada diskriminasi pelayanan. Negara pula yang berwenang menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku kesyirikan, demi memutus mata rantai perdukunan. Karena perdukunan termasuk syirik yang merupakan dosa besar, Islam memberikan sanksi yang sangat tegas, bahkan bisa sampai hukuman mati.
Ibnu Mundzir mengemukakan, "Jika ada seseorang yang mengaku bahwa dia telah melakukan sihir dengan ucapan yang mengakibatkan kekufuran, maka dia wajib dibunuh jika tidak bertaubat" (al.manhaj.or.id). Penguasa Islam yaitu khalifah akan melakukan ijtihad untuk menentukan hukuman yang tepat bagi pelaku praktik perdukunan. Dengan demikian, kesyirikan bisa diakhiri dan akidah umat bisa terselamatkan. Semua peran negara tersebut, hanya bisa diwujudkan ketika konsep pemerintahannya adalah khilafah, yaitu negara yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan negara sekuler kapitalis seperti sekarang ini. []
Oleh: Ninik Rahayu
Aktivis Muslimah Malang
0 Comments