Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Hukum Kepemilikan Umum dan Pemanfaatannya

Tintasiyasi.com -- Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Syari (Allah dan Rasul-Nya) bagi kaum Muslim, dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, namun, mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. (Zallum,Abdul Qadim, Sistem keuangan Negara Khilafah, 2009, hal, 85)

Kepemilikan umum adalah izin Asy-Syari” kepada suatu komunitas masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan benda/barang, Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari' memang diperuntukkan bagi suatu komunitas masyarakat dan Asy-Syari' melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja. Adapun benda-bendanya yakni,
1. fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan/hajat manusia secara umum. 
2. Barang tambang yang tidak terbatas
3. Sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya individu. (An Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam, 2005, hal, 300)

Ketiga jenis pengelompokkan ini beserta cabang-cabangnya dan hasil pendapatannya merupakan milik bersama kaum Muslim, dan mereka berserikat dalam harta tersebut. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah sesuai dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syara  mendistribusikan harta tersebut kepada mereka dalam rangka mewujudkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Rasulullah bersabda, Kaum Muslim berserikat memiliki sama tiga hal, air, padang, dan api ( HR. Abu Daud) 

Anas Meriwayatkan hadis dari Ibnu Abbas dengan tambahan Rasulullah bersabda : wa tsamanuhu haram (dan harganya haram)

Pertama, harta milik umum adalah air
Adalah sarana umum untuk seluruh kaum Muslim yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, yang tidak ada menyebabkan perpecahan, seperti air. Ketiga jenis pengelompokkan ini beserta cabang-cabangnya dan hasil pendapatannya merupakan milik bersama kaum Muslim, dan mereka berserikat dalam harta tersebut. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim. Khalifah sesuai dengan ijtihadnya berdasarkan hukum syara  mendistribusikan harta tersebut kepada mereka dalam rangka mewujudkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. 

Rasulullah saw telah menjelaskan sifat-sifat sarana umum Ini menjelaskannya secara rinci dan sempurna. Hal ini seperti yang dalam hadits hadits dari beliau yang berkaitan dengan sarana umum, Dari Abu Khurasyi dari sebagian sahabat Nabi saw,  bahwa Rasulullah saw bersabda: 
المسلمون شركاء فى ثلاث، فى الماء والكلإ والنار
Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api. (HR. Abu Daud) 

Dalam riwayat lain Rasulullah saw bersabda:
Manusia berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api. 

Dari Abu Hurairah, yang menyatakan bahwa Nabi saw telah bersabda, 
Tidak terlarang penggunaan air, api dan padang rumput. (HR. Ibnu Majah) 

Hadits seperti ini juga telah diriwayatkan dari beliau saw dengan sabdanya, *Muslim itu bersaudara satu sama lainnya. Mereka bersama-sama memiliki air dan pepohonan*

Air, padang rumput, dan api merupakan sebagian harta yang pertama kali dibolehkan oleh Rasulullah saw untuk seluruh manusia Mereka berserikat di dalamnya dan melarang mereka untuk memiliki bagian apapun dari sarana umum tersebut, karena hal itu merupakan hak kaum Muslim. 

Berkaitan sarana umum seperti air yang sarana umum maka berlaku secara umum, tidak boleh dikuasai seseorang, tetapi jika suatu tempat sumber air umum di mana kepentingan memberi minum ternak-ternak mereka, tempat pengisian air minum, semua orang berserikat di dalamnya. Berkaitan sumur pribadi boleh dimiliki pribadi, karena Rasulullah telah membiarkan orang-orang khaibar dan Thaif memiliki sumur pribadi untuk memberi minum hewan ternak mereka, menyirami kebun mereka. Rasulullah tidak melarang mereka me memiliki kerena ukuran kecil tidak berhubungan dengan sarana umum.
(Zallum,Abdul Qadim, Sistem keuangan Negara Khilafah, 2009, hal, 87)

Kepemilikan umum seperti mata air, sungai, danau, serta alat untuk mengalirkan air, saluran-saluran menghubungkannya ke rumah - rumah jug termasuk milik umum. Apabila alat - alat pribadi digunakan untuk memanfaatkan sungai dan danau besar seperti sungai Eufrat, dan Nil maka kepemilikan alat tetap milik pribadi. Alat pembangkit listrik, stasiun-stasiunnya, tiang-tiang penyangganya dan jaringan kawatnya, termasuk juga selain air adalah kayu kayu bakar, padang gembalaan merupakan bagian dari kepemilikan umum, selama prasarana ini dibangun di jalan umum, baik digunakan untuk menyalakan api maupun untuk penerangan. Karena tidak boleh seseorang atau sekelompok orang mengkhususkan Ia” sesuatu dari bagian jalan umum ini bagi dirinya secara pribadi dan melarang manusia turut memilikinya. Ini disebabkan penguasaan dalam kepemilikan umum tidak boleh tidak kecuali (dikuasai) oleh negara. (Zallum,Abdul Qadim, Sistem keuangan Negara Khilafah, 2009, hal, 87)/(An Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam, 2005, hal, 302)

Kedua, harta milik umum adalah tambang

Mengenai barang tambang (sumber daya alam) dapat diklasifikasikan menjadi dua: (1) barang tambang yang jumlahnya terbatas, yang tidak banyak menurut ukuran individu, (2) barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya. Barang tambang yang terbatas jumlahnya termasuk milik pribadi atau boleh dimiliki secara pribadi. Terhadap barang tambang yang berjumlah kecil tersebut diberlakukan hukum rikaz: di dalamnya ada 1/5 bagian harta (yang harus dikeluarkan zakatnya). (An Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam, 2005, hal, 302)

Dalam hal ini, Amr bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya tentang luqathah. Beliau menjawab: "Barang yang ada di jalan (yang dilewati) atau kampung yang ramai itu tidak termasuk 'luqathah' hingga diumumkan selama satu tahun. Jika (selama satu tahun itu) pemiliknya datang untuk memintanya maka berikanlah barang tersebut kepadanya. Jika tidak ada maka barang itu adalah milikmu. Di dalam 'al-kharab', yakni di dalamnya, atau di dalam rikaz, terdapat "khumus' (seperlima dari harta temuan untuk dizakatkan).” (HR Abu Dawud). 

Adapun barang tambang yang tidak terbatas jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan, adalah termasuk milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari Abyadh bin Hammal: 

"Sesungguhnya ia pernah meminta kepada Rasulullah Saw untuk mengelola tambang garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang dari majelis tersebut bertanya, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah kemudian bersabda, “Kalau begitu, cabut kembali tambang tersebut darinya.” (HR at-Tirmidzi). 

A Maa'u al-'iddu adalah air yang tidak terbatas jumlahnya. Hadis tersebut menyerupakan garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya tidak terbatas. Hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam, Tatkala beliau mengetahui, bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang berjumlah banyak, yang tidak bisa habis, Maka beliau mencabut kembali. 

Hukum ini, yakni keberadaan tambang yang tidak terbatas jumlahnya sebagai milik umum, adalah meliputi semua tambang, baik tambang yang tampak, yang bisa diperoleh tanpa harus bersusah-payah, dan bisa mereka manfaatkan semisal garam, antimonium, batu mulia dan sebagainya: ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi, ' yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja keras dan susah payah semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah dan sejenisnya: bak berbentuk padat semisal kristal ataupun berbentuk cair semisal minyak tanah. Semua itu adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadis di atas.*(Ibid, hal, 305)*

Ketiga, harta milik umum berupa sarana umum

Harta milik umum adalah harta yang keadaan asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya, Pemilikan umum jenis Ini jika berupa sarana umum seperti halnya pemilikan jenis pertama, maka dalilnya adalah dalil yang mencakup sarana umum. Hanya saja jenis kedua Ini -menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya, Kondisinya berbeda dengan jenis pertama, yang asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, sehingga misalnya boleh memiliki secara pribadi umur kecil (mata air) yang tidak mengganggu hajat keperluan orang banyak.

Dalil yang berkaitan dengan harta milik umum jenis ini adalah dalil yang digunakan pula pada jenis pertama, yaitu sabda Rasul saw: 
"Mina milik orang-orang yang lebih dahulu sampai." (HR. Abu Daud dan Ahmad)

Termasuk dalam jenis harta milik umum adalah kereta api, trem, gang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air dan pipa-pipa penyalur ar yang terletak di jalan-jalan umum, semuanya merupakan milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum, sehingga tidak boleh menjadi milik pribadi, karena seseorang tidak boleh memiliki sesuatu secara khusus yang merupakan bagian dari pemilikan umum. Larangan ini bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/memagari sesuatu yang diperuntukkan bagi semua manusia, karena Rasul saw bersabda: 

"Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya." (HR, Abu Daud).

Dengan kata lain tidak ada penguasaan/pemagaran atas harta milik umum kecuali oleh negara. Makna hadits tersebut adalah tidak boleh seseorang menguasai sesuatu yang merupakan milik semua manusia untuk dirinya sendiri. (Zallum,Abdul Qadim, Sistem keuangan Negara Khilafah, 2009, hal, 91)

Termasuk kepemilikan umum berupa fasilitas umum esensi faktanya menunjukkan, bahwa benda-benda tersebut merupakan milik umum (collective property). Kepemilikan umum ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan kepemilikan umum adalah masjid, sekolah milik negara, rumah sakit negara, lapangan, tempat-tempat penampungan dan sebagainya. (An Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam, 2005, hal, 306)

Oleh: Fajri, M.Pd.I.
Aktivis Dakwah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments