Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Doyan Impor, El Nino Jadi Kambing Hitam

TintaSiyasi.com -- Dalam rangka mengantisipasi krisis pangan akibat El Nino, pemerintah berencana melakukan impor beras lagi sebanyak 1 juta ton dari India dalam waktu dekat. Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Budi Santoso, proses pembelian beras dari India ini masih dalam tahap penyelesaian MoU dan akan selesai dalam beberapa hari ini. Meski begitu, tercatat pada 22 Juni 2023, ribuan ton beras impor asal Thailand telah tiba di Pelabuhan Malahayati, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Aceh. (detikfinance.com).

Sebelumnya, menurut keterangan yang dikutip dar CNBC pada 30 Mei 2023, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan kalau keputusan impor beras sebanyak 2 juta ton sampai akhir 2023 memang telah disetujui Presiden Joko Widodo saat rapat terbatas pada Jumat, 24 Maret 2023 lalu. (cnbcindonesia.com). Lantas, benarkah El Nino menyebabkan krisis pangan hingga memerlukan impor?

El Nino dan Stabilitas Pangan

El Nino adalah fenomena pemanasan Suhu Muka Laut diatas kondisi normalnya yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur. Fenomena El Nino ini meningkatkan potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di wilayah sekitarnya, tak terkecuali Indonesia. Sayangnya, tak seperti di kawasan Amerika Latin dan Peru dimana dampak El Nino akan meningkatkan curah hujan, dampak El Nino di Indonesia justru memicu kondisi kering dan berkurangnya curah hujan.

Karena alasan inilah kemudian pemerintah merasa perlu untuk mengambil langkah impor beras. Hadirnya El Nino dikhawatirkan akan mempengaruhi produksi beras dalam negeri. Namun kebijakan ini justru mendapat kritik dari beberapa kalangan. Guru Besar Agribisnis IPB, Rachmat Pambudy menilai rencana impor 2 juta ton ini tidaklah tepat karena Indonesia sedang panen raya. Hal serupa juga disampaikan oleh Anggota Komisi IV DPR RI, Daniel Johan. Dia menilai rencana impor beras Bulog saat panen menjadi gambaran bahwa pemerintah tidak pro-petani.

Sudah menjadi rahasia umum, adanya impor akan mempengaruhi harga gabah. Petani akan menghadapi kondisi berat karena selama dua tahun terakhir terjadi kenaikan harga produksi yang berasal dari pupuk. Jika stok terlalu melimpah karena adanya impor saat panen raya, maka jelas petani yang akan menerima getahnya. Ibarat jatuh tertimpa tangga, petani yang terlanjur menerima beban produksi, akan semakin merugi karena serapan panen yang tidak maksimal.

Kebijakan impor beras saat panen raya ini jelas membuktikan bahwa pemerintah tidak pro-petani. Kebijakan ini juga membuktikan pemerintah gagal menjamin kebutuhan pangan rakyat dan gagal memanfaatkan lahan pertanian yang ada untuk membangun ketahanan pangan. Indonesia yang merupakan negara agraris dan pernah mencapai swasembada beras, harusnya mampu mandiri mencukupi kebutuhan domestik beras setiap tahunnya, bahkan ketika terjadi El Nino. Karena El Nino adalah fenomena alam yang bisa diprediksi jauh-jauh hari.

Impor Beras Buah Perdagangan Bebas

Kebijakan impor beras yang dilakukan oleh negara agraris jelas diluar nalar. Kebijakan ini terjadi akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme di Indonesia dan bangsa-bangsa di dunia. Sistem ekonomi kapitalisme ini memaksa Indonesia tunduk pada ketentuan perdagangan bebas yang telah ditetapkan oleh WTO, tak peduli kebijakan ini akan merugikan petani lokal ataupun tidak. 

Kebijakan impor beras akan membuat petani enggan menanam padi, sehingga banyak petani akan melakukan alih fungsi lahan. Dalam jangka panjang, hal ini akan menyebabkan hilangnya lahan pertanian dan menurunnya ketersediaan beras dalam negeri. Tak hanya itu, minat generasi muda untuk menjadi petani pun akan semakin menghilang karena masa depan petani yang makin tak menjanjikan kesejahteraan. Meski berbahaya untuk ketahanan dan kemandirian pangan di Indonesia, nyatanya pemerintah masih saja mengambil kebijakan ini, tak peduli kerugian yang harus ditanggung rakyat dalam jangka panjang.

Kebijakan Pro-Rakyat Hanya Ada Pada Islam
Sebagai Ad-Diin yang kamil dan syamil, Islam tak hanya berbicara urusan ketuhanan. Dalam permasalahan ekonomi, Islam memiliki pandangan bahwa peran sentral pengaturan seluruh aspek kehidupan termasuk tata kelola pangan, berada di tangan negara, yakni Khilafah. Islam menetapkan negara adalah râ'in atau pengurus utama dalam urusan rakyat. Negara juga merupakan junnah atau perisai yang menjadi tameng agar kepentingan rakyat senantiasa terlindungi. Karenanya, kebijakan apapun yang dibuat, harus selalu memperhatikan kepentingan dan keselamatan rakyat. Adanya anomali alam ataupun fenomena tahunan harus menjadi perhatian serius agar kebijakan yang diambil nantinya dapat tetap memenuhi kebutuhan rakyat tanpa merugikan petani.

Dalam Islam, rantai pasokan pangan akan dikuasai negara seluruhnya. Meski begitu, swasta tetap diperbolehkan memiliki usaha di bidang pertanian, namun penguasaannya tetap berada dalam wewenang negara. Swasta tidak diperbolehkan mengalihkan pengelolaannya kepada korporasi. Kedaulatan pangan tidak boleh bergantung kepada impor. Karena ketergantungan impor adalah celah bagi negara lain untuk melemahkan kedaulatan sebuah negara.

Islam memiliki konsep untuk melepaskan ketergantungan dari impor meski terjadi perubahan iklim ataupun wabah, diantaranya: pertama, negara (Khilafah) akan menjaga kecukupan stok pangan dengan cara meningkatkan produksi pangan dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan pertanian. Pemanfaatan lahan pertanian ini dapat ditempuh dengan intensifikasi melalui pemanfaatan teknologi, maupun ekstensifikasi dengan menghidupkan lahan mati. Kedua, menjaga lancarnya distribusi pangan ke seluruh daerah. Ketiga, mengembalikan keterseimbangan hukum penawaran dan permintaan pada mekanisme pasar dengan kontrol negara. Dengan kebijakan ini, praktik penimbunan, monopoli, maupun riba akan dapat dicegah. Efeknya, harga pangan akan terjaga kestabilannya. Keempat, manajemen logistik yang baik. Saat panen raya, pasokan cadangan pangan harus disimpan untuk didistribusikan saat ketersediaan pangan menipis. Kelima, pengaturan kebijakan ekspor-impor. Ekspor baru boleh dilakukan jika ketersediaan pangan dalam negeri dipastikan mengalami surplus. Sedangkan kebijakan impor baru boleh dilakukan jika segala upaya dalam negeri untuk mencukupi kebutuhan rakyat sudah ditempuh, namun belum mampu mencukupi kebutuhan pangan dalam negeri. KeenamLast but not least, pengadaan teknologi mutakhir untuk memprediksi perubahan iklim dan cuaca yang dapat mempengaruhi produksi pangan.

Kebijakan semcam ini tentu membutuhkan keseriusan, kecakapan, dan sistem yang dapat mendukung keterlaksanaannya. Karenanya perubahan sistem dari Kapitalisme menjadi sistem Islam adalah sebuah kebutuhan. Jika tidak, maka kesejahteraan petani dan rakyat secara umum, selamanya akan menjadi sebuah mimpi tanpa realisasi. Wallahu a'lam.

Oleh: Ranita
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments