TintaSiyasi.com -- Kasak-kusuk kabar tentang kenaikan BBM bersubsidi terus bergulir, hingga saat ini berbagai elemen masyarakat terus meneriakkan aksinya untuk menolak kenaikan BBM bersubsidi. Tidak hanya Pertalite dan Solar, BBM jenis Pertamax sampai saat ini juga masih disubsidi oleh pemerintah. Alasan pemerintah menaikkan BBM bersubsidi karena mengeluhkan beratnya beban subsidi yang mencapai Rp 502, 4 triliun.
Saat ini kondisi kuota Pertalite dan Solar subsidi sekarat. Sampai Juli 2022 konsumsi Pertalite yang termasuk jenis BBM khusus penugasan (JBKP) sudah mencapai 16,8 juta kilo liter (KL). Dengan begitu,kuota hingga akhir tahun hanya tersisa 6,2 juta KL dari kuota yang ditetapkan sebesar 23 juta KL sampai akhir tahun. Sementara konsumsi solar subsidi sebagai jenis BBM tertentu (JBT) sudah mencapai 9,9 juta KL dari kuota 14,91 juta di tahun 2022 ini atau tersisa 5,01 juta KL.
Dampak dari kenaikan BBM tentunya akan sangat dirasakan oleh rakyat, terutama rakyat miskin. Dengan BBM naik, biaya produksi akan bertambah, sebagian para pengusaha akan gulung tikar karena tidak mampu untuk menekan biaya produksi yang melonjak.
Di samping itu secara alami kebutuhan pokok akan naik sehingga daya beli masyarakat akan menjadi turun. Nasib rakyat miskin semakin tercekik karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya bahkan angka kemiskinan akan bertambah.
Bila ditelisik lebih dalam kenaikan BBM ini tak lepas dari tata kelola sistem kapitalis yang bertumpu pada sektor pasar bebas. Adanya sumberdaya alam yang sangat melimpah dan beraneka ragam tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia. Rakyat masih menjerit ketika BBM naik. Akses lapangan kerja semakin sulit. Pendidikan semakin mahal. Ini terjadi karena yang diterapkan adalah neoliberalisme yang membebaskan pihak swasta asing maupun dalam negeri mengelola kekayaan alam yang ada di Indonesia.
Dengan dalih penanaman modal, pihak swasta bisa memiliki keluasan dalam mengelola kekayaan alam hingga pada kebijakan penentuan harga dan distribusi. Akhirnya, peran pemerintah tidak lebih hanya sebagai penjual dan rakyatnya sebagai pembeli.
Oleh karenanya kenaikan BBM akan terus berulang apabila sistem yang diterapkan masih bertumpu kepada azas komersial yaitu sistem kapitalis. Kesejahteraan rakyat tidak menjadi hal prioritas dalam sistem yang eksis sekarang ini. Melainkan para pemilik modal sebagai tuan besar yang patut diprioritaskan.
Sudah saatnya beralih kepada sistem yang benar-benar mampu menciptakan kesejahteraan rakyat, karena pada dasarnya pemimpin diangkat untuk meriayah rakyat bukan malah sebaliknya membebani rakyat dengan berbagai macam kenaikan harga komoditas barang. Dalam mengelola kepemilikan negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat—untuk konsumsi rumah tangga—dengan mendasarkan pada asas mencari keuntungan semata.
Barang-barang tambang seperti minyak bumi beserta turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik, hutan, minyak sawit, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut semuanya telah ditetapkan oleh syariah sebagai milik umum. Negara harus mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat. Cara itu diharapkan mampu memberikan keadilan ekonomi dan mengurangi beban hidup masyarakat.
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Wakini (Ummu Fahri)
Aktivis Muslimah
0 Comments