TintaSiyasi.com -- Perubahan iklim telah menyebabkan sistem iklim bumi kehilangan keseimbangan energi. Bumi menyerap lebih banyak energi dari matahari daripada yang dipancarkan kembali ke ruang angkasa. Hal ini menyebabkan panas terakumulasi terus-menerus selama beberapa dekade terakhir sehingga menghangatkan lautan, daratan, kriosfer, dan atmosfer.
Goyahnya keseimbangan energi di Bumi ini dilaporkan dalam studi terbaru yang dilaporkan di Earth System Science Data, jurnal akses terbuka bagian dari Copernicus Publications pada Senin (17/4/2023). Studi dipimpin oleh Karina von Schuckmann dari Mercator Ocean International, Perancis, dan melibatkan 70 dari lusinan institut di 15 negara.
Studi ini berupaya mengukur ketidakseimbangan energi bumi (earth energy imbalance/ EEI), yaitu perbedaan antara jumlah energi dari matahari yang tiba di bumi dan jumlah yang kembali ke luar angkasa. Pengukuran ini berfungsi sebagai metrik mendasar untuk membangun Sistem Pengamatan Iklim Global (GCOS) (kompas.com, 20/04/2023).
Iklim berubah terus menerus karena interaksi antara komponen-komponennya dan faktor eksternal, seperti erupsi vulkanik, variasi sinar matahari, dan faktor-faktor yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Perubahan penggunaan lahan hingga penggunaan bahan bakar fosil menjadi beberapa penyebabnya. Perubahan iklim disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor manusia dan alam. Namun, aktivitas manusia punya dampak besar pada perubahan iklim.
Terjadinya pemanasan global dan terus berkurangnya ketersediaan air hingga menuju kekeringan ini dipicu industrialisasi yang digalakkan dalam sistem kapitalisme. Industrialisasi menjadi penyebab utama terjadinya deforestasi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan bahwa lahan berhutan di Indonesia terus mengalami deforestasi, pada 2018 sebanyak 493,3 ribu hektare dan 2019 sebanyak 465,5 ribu hektare. Oleh karena itu, Air yang seharusnya dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga di suatu daerah, disedot untuk kepentingan industri tertentu di sekitar daerah tersebut sehingga warga kesulitan air. Industri-industri tersebut mengambil air tanah sehingga mayoritas penduduk yang berada di sekitarnya mengalami kesulitan mendapatkan air (kompas.com, 02/05/2023).
Dengan demikian pengelolaan SDA yang bersifat kapitalistik terbukti menjadi penyebab perubahan iklim. Kerusakan lingkungan banyak terjadi akibat pengelolaan SDA yang serampangan oleh swasta. Berbeda dengan Islam yang menjadikan SDA yang menentukan hajat hidup orang banyak sebagai kepemilikan milik umum, milik bersama yang tidak boleh diprivatisasi. Misalnya hutan, sumber air yang langka, tambang minyak dan gas maupun tambang lain yang kandungannya cukup banyak, serta hal lain yang sifatnya tidak dapat dimiliki individu, seperti laut, sungai, dan jalan. SDA tersebut harus dikelola negara dan tidak boleh diserahkan kepada individu atau swasta.
Oleh karenanya, SDA yang ada akan dikelola sebaik-baiknya demi kepentingan rakyat. Hutan misalnya, akan dijaga karena fungsinya sebagai paru-paru bumi, sebagai daerah tangkapan dan cadangan air tanah, serta pencegah bencana banjir dan longsor. Jika ada hutan yang rusak, negara akan melakukan penghijauan dan akan menindak tegas jika ada yang melakukan deforestasi. Dengan menerapkan ini saja, perubahan iklim dan pemanasan global akan dapat dihindari. Sehingga dengan penerapan sistem Islam akan menjadi solusi dan mendatangkan keberkahan karena datang dari Sang Pencipta Alam Semesta. []
Oleh: Siti Munawarotil Milah
Aktivis Muslimah
0 Comments