TintaSiyasi.com -- Bareskrim Polri berhasil menangkap dua tersangka dugaan kasus tindak pidana perdagangan orang terhadap 20 WNI ke Myanmar, Selasa (16/5). Selain itu, juga mengungkapkan peran dari dua tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terhadap 20 warga negara Indonesia (WNI) ke Myanmar. Keduanya berperan sebagai perekrut para WNI untuk kemudian diperkerjakan di Myanmar. Dua tersangka yang diamankan polisi bernama Andri Satria Nugraha dan Anita Setia Dewi (detikNews, 16/05/2023).
Djuhandhani dalam konferensi pers di gedung Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, mengungkapkan lebih lanjut bahwa dia menduga korban kasus TPPO di Myanmar bukan hanya 20 WNI. Bahkan berdasarkan penyelidikan ditemukan ada 25 WNI yang menjadi korban TPPO di Myanmar. para pelaku melancarkan aksinya dengan menjanjikan pekerjaan dengan gaji tinggi. Selain itu, pelaku mengiming-imingi fasilitas yang menggiurkan kepada para korban. Polisi masih terus berupaya untuk mengusut pelaku TPPO lainnya (detikNews, 16/05/2023).
Dengan berbagai kasus perdagangan orang berhasil diungkap, nampak bahwa tindak kejahatan ini belum menunjukkan penurunan angka dari tahun ke tahun. Berbagai macam cara dan regulasi telah dilakukan, tetapi dirasa titik terang penyelesaian aksi kejahatan ini belum juga nampak hasilnya. Bahkan negara juga sudah sering menyampaikan komitmen untuk memberantas persoalan ini di antaranya dengan UU nomor 14 tahun 2009 tentang protokol untuk mencegah, menindak, dan menghukum perdagagan orang, terutama perempuan dan anak-anak, melengkapi konvensi PBB menentang Tindak Pidana Transnasional yang terorganisasi.
Disusul pada 10 februari lalu, Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, dalam memimpin pada pertemuan Bali Process di Adelaide, Australia, menegaskan bahwa perlunya upaya pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Beliau juga menekankan beberapa poin penting disana, diantaranya bahwa krisis ekonomi dan sosial telah berdampak pada peningkatan tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi pekerja (antaranews, 11/02/2023).
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa faktor utama pemicu masyarakat dengan mudahnya menjadi korban perdagangan orang adalah karena faktor ekonomi (kemiskinan) sebagaimana disampaikan oleh Menlu RI. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan pada September 2022 mencapai 9,57 persen atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Tingkat kemiskinan tersebut meningkat tipis dari posisi Maret 2022 sebesar 9,54 pesen (bisnis, 17/01/2023). Bahkan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan jumlah orang miskin di Tanah Air akan naik pada Maret 2023. Adanya kebijakan kenaikan harga BBM, harga beras, kelangkaan minyak kita dan sebagainya turut menekan masyarakat miskin.
Di satu sisi, pemerintah mengklaim telah berupaya mengentaskan kemiskinan ini dengan regulasi anggaran perlindungan social yang jumlahnya meningkat cukup tinggi dari tahun 2013 hingga 2022. Terutama pada 2020 naik hingga 61 persen karena ada pandemic Covid-19, sementara di 2022 naik 17,27 pesen (Republika, 02/01/2023).
Namun, kenapa angka kemikinan makin meroket dari tahun ke tahun seolah dana yang besar tersebut hanya deretan angka pada buku anggaran saja, sedangkan di lapangan rakyat tak semua bisa menikmatinya? Ataukah memang kemiskinan ini merupakan mata rantai keburukan negeri ini yang berkelindan dengan permasalahan lain yang lebih pokok yaitu masalah sistemis?
Perlu diketahui dan diingat bahwa problem kemiskinan negeri ini bukan karena kemiskinan personal rakyatnya, namun kemiskinan struktural. Kemiskinan yang tercipta karena ulah tangan penguasa yang membuat segenap tata peraturan yang berdampak pada kondisi ekonomi rakyat. Penerapan dari sistem ekonomi kapitalisme dalam negara ini menjadi pokok masalah kemiskinan yang tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dengan solusi anggaran ataupun sekadar komitmen semata.
Inti persoalan ekonomi rakyat adalah karena kekayaan/harta yang tidak terdistribusikan secara merasa dalam masyarakat, artinya harta kekayaan hanya berputar atau dimonopoli di antara para cukong-cukong, konglomerat, elite parpol/penguasa, tuan tanah, dan semisalnya. Di sisi lain, rakyat harus berjibaku berebut 1-5% harta kekayaan yang tersisa, hidup dalam kemiskinan yang diwariskan.
Kekayaan alam yang melimpah ruah yang seharusnya bisa menjadi penyokong APBN jika dikelola oleh negara, dikuasai oleh pihak swasta baik swasta asing atau lokal. Kekayaan segelintir orang hampir setara dengan besarnya APBN suatu negara, tak terbayangkan model sistem ekonomi yang culas seperti ini masih saja diterapkan. Pantas saja jika kejahatan perdagangan orang tidak akan pernah terselesaikan selama negara masih mengadopsi akar masalahnya, bagai pungguk merindukan bulan.
Selain itu, adanya ide sekularisme yang dijadikan pedoman hidup individu masyarakat negara ini juga turut andil menciptakan manusia-manusia yang tak takut akan ancaman dan siksaan Tuhan. Muncullah orang-orang mengaku beriman tapi tidak beramal saleh, mengaku Islam tapi suka mengadopsi dan menerapkan aturan dari selain Allah SWT. Terwujud para penguasa yang individualis punya hobi pelesiran ke luar negeri, jalan-jalan keliling dunia dengan menghabiskan uang rakyat, hanya untuk bisa mencontoh produk undang-undang negara lain, bahkan dari negara penjajah sekalipun.
Ada negara, namun mandul dalam mengurusi urusan rakyatnya dengan sistem yang benar dan justru menerapkan kapitalisme yang menguntungkan kelompok sendiri. Dari sisi masyarakatnya, tercipta karakter masyarakat yang abai dan tidak peduli dengan kondisi rusak negaranya. Gambaran individu-individu yang jauh dari tata aturan agamanya, telah mengisi masyakarat hingga membentuk masyarkat sekuler yang permisif (serba bebas).
Untuk itu, hanya ada satu cara mengentaskan negeri ini dari bahaya kejahatan perdagangan orang karena faktor kemiskinan, yaitu dengan mengganti pondasi negeri ini secara fundamental. Negara mengganti sistem ekonomi yang culas penyebab kemiskinan struktural dengan sistem ekonomi penuh keberkahan, sistem ekonomi berbasis syariat Islam. Dengan ekonomi berdasar Islam, negara akan mampu mensejahterakan dengan mengembalikan segala sesuatu kepada tempatnya seperti kekayaan alam dimiliki rakyat dengan dikelola penuh oleh negara untuk kemudian hasilnya dikembalikan lagi ke rakyat.
Negara mengganti seluruh aturan negara secara totalitas dengan syariat Islam. Negara juga melandaskan pendidikan masyarakat pada pendidikan Islam sehingga terwujud akidah Islam yang kuat pada setiap masyarakat Muslimnya. Akan muncul individu-invidu yang beriman dan beramal saleh serta saling mengingatkan dalam kebaikan, bukan individu jahat yang mengambil keuntungan dari orang lain dengan memperdagangkan tubuh orang lain. Bahkan akan tercipta karakter pejabat (abdi negara) yang takut pada Tuhannya, sehingga amanah dalam mengemban tanggung jawab pemerintahan.
Masyarakat menjadi masyarakat yang saleh dan beramar makruf nahi mungkar, masyarakat yang siap menjaga individu dari perdagangan orang dan menjaga negaranya dengan aktivitas kritik serta muhasabah. Dengan seperti itu maka terwujudlah negara yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur, yaitu negara Khilafah Islamiyah yang dirahmati.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al A’raf: 96). []
Oleh: Ninik Rahayuningsih
(Pegiat Literasi Malang)
0 Comments