TintaSiyasi.com -- Indonesia memasarkan moderasi beragama sebagai solusi atas problem masyarakat saat ini dan peran pentingnya untuk kemajuan dunia.
Praktik-praktik baik dalam moderasi beragama di Indonesia menjadi contoh dan bahasan di Forum Lintas Agama G20 tahun 2023.
Melalui memperkenalkan praktik-praktik baik itu sekaligus mendesak pesan moral supaya kemajuan ekonomi tak melupakan nilai kemanusiaan dan pelestarian lingkungan.
Di Forum Lintas Agama G20 Tahun 2023 di New Delhi, India, Ahli Utama Kantor Staf Presiden Prof Siti Ruhaini Dzuhayatin menyampaikan bahwa ketangguhan sosial di Indonesia terbentuk dari moderasi beragama. ”Moderasi beragama di Indonesia dinilai (sebagai) modalitas yang sangat besar pengaruhnya.
Jadi, Indonesia dinilai bisa mendesakkan pesan-pesan moral ke G20 agar kemajuan ekonomi tidak mendegradasi kemanusiaan seperti (kasus-kasus) human traficking (perdagangan orang) dan (kerusakan) lingkungan,” ujar Ruhaini dari New Delhi kepada Kompas, Kamis (11/5/2023)(https://www.kompas.id/baca/polhuk/2023/05/11).
Dalam forum tersebut hadir pula tokoh dan pegiat kerjasama antar agama lainnya dari Indonesia. Mereka adalah anggota Dewan Pertimbangan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof Amin Abdullah, pimpinan Pesantren Tebuireng Jombang KH Halim Mahfudz, Dekan Fakultas Ushuddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta Prof Inayah Rohmaniyah, Direktur Eksekutif Leimena Institut Matius Ho, dan Wakil Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pengurus Pusat Muhammadiyah Alpha Amirrachman.
Para tokoh tersebut menyampaikan best practises dan modalitas Indonesia dalam menjalin jejaring kolaborasi konstruktif pemerintah dengan kelompok agama di Indonesia dalam menguatkan resiliensi sosial menuju bangsa yang tangguh, bermantabat dan mandiri layaknya tercermin dalam penanggulangan pandemi covid 19 yang mendapat apresiasi WHO, termasuk kesuksesan keketuaan G20 Indonesia tahun 2022 serta keketuaan Indonesia di ASEAN tahun 2023 (https://www.antaranews.com/11 Mei 2023).
Presiden Jokowi juga telah mencanangkan program prioritas moderasi beragama yang menghargai dan menghormati perbedaan serta berkolaborasi dalam kesamaan dengan mengarusutamakan melalui suatu pendekatan literasi keagamaan lintas budaya dalam bingkai rule of law di Indonesia yang pilot project-nya sedang dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM bersama Leimena Institute dengan berbagai simpul strategis, seperti ormas keagamaan, lembaga pendidikan, dan lainnya.
Namun, sebagai seorang muslim hendaklah kita berpikir kritis, karena sejatinya moderasi beragama justru menjauhkan umat dari agamanya, yang pada akhirnya akan menimbulkan persoalan baru yang membahayakan umat.
Mengapa demikian?
Kita dapat melihat dari realitas yang ada yaitu Indonesia selaku negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini telah di takut-takuti dengan ajaran agamanya sendiri dengan label radikalisme dan intoleransi. Bahkan mengkriminalisasi para ulama yang mendakwahkan ajaran Islam kaffah dan khilafah. Inilah wajah lain dari sekularisme yang sebenarnya.
Sabda Rasulullah SAW:
“Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR Ad-Daruquthni).
Demikian halnya dengan firman Allah Taala dalam QS Ali Imran [3] ayat 110:
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Maka, hanya dengan penerapan Islam kaffah kaum muslim bisa tinggi, terhormat, bermartabat, bahkan menjadi umat terbaik di hadapan umat-umat lain di seluruh dunia. Sejarah telah membuktikan itu.
Hadirnya Moderasi agama hanya akan menjauhkan identitas utama kaum muslim sebagai khayru ummah pelanjut peradaban mulia. Sebab, mereka yang ingin konsisten menerapkan agamanya dengan benar akan dituduh radikal, ekstrem dan intoleran.
Sementara itu, dalam bidang pendidikan, Islam Moderat hanya akan melahirkan generasi yang rapuh dalam agamanya, menilai semua agama benar dan menjunjung tinggi toleransi yang kebablasan. Islam hanya akan menjadi agama ruhiah saja dan menghilangkan aspek ideologi.
Walhasil, agama tidak lagi berperan dalam pengaturan sendi-sendi kehidupan bernegara karena peraturan yang ada dibuat oleh para wakil rakyat yang sarat dengan kepentingan individu atau kelompok tertentu. Bagaimana mungkin akan tercapai bangsa yang tangguh, bermantabat dan mandiri, jika segala pengelolaan umber daya alamnya saja dikuasai asing.
Padahal, Islam yang merupakan agama sekaligus ideologi telah terbukti mampu menjawab bebagai persoalan umat secara sempurna dalam segala aspek kehidupan. Akidah Islam sebagai asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga Negara dalam Islam memiliki kewajiban untuk menerapkan Islam secara kaffah dan mendakwahkannya ke seluruh penjuru dunia agar terwujud Islam yang rahmatan lil’alamin. Wallahu'alam bishshawab.[]
Oleh: Dewi Ratih
(Aktivis Muslimah)
0 Comments