Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konyol, Meninggalkan Amanah untuk Menjemput Amanah


TintaSiyasi.com -- Demi menjadi calon anggota legislatif di Pemilu 2024, sejumlah kepala daerah dikabarkan beramai-ramai mengundurkan diri dari jabatannya. Dilansir dari Tirto.id (20/5/2023), di antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tercatat maju yakni: Bupati Lebak Iti Jayabaya dan Wali Kota Palembang Harnojoyo dari Partai Demokrat. Wali Kota Parepare Taufan Pawe dari Golkar, Wali Kota Lubuklinggau SN Prana Putra Sohe dan Wakil Wali Kota Ternate Jasri Usman dari PKB. Tak hanya itu, ada Wali Kota Jambi Syarif Fasha dari Partai Nasdem, Wakil Bupati Lingga Neko Wesha Pawelloy dari Partai Perindo, Bupati Tanah Laut Sukamta, Bupati Merangin Mashuri dan Wakil Bupati Merangin Nilwan Yahya, serta Wakil Wali Kota Serang Subadri dari PPP. 


Mendongkrak Popularitas Partai

Fenomena pengunduran diri kepala daerah ini bukan tanpa alasan. Hal inii terjadi karena arahan partai tempat mereka bernaung. Demi mengamankan suara partai dan meraup kemenangan saat pemilu legislatif, orang nomor satu atau dua di daerah-daerah akan ditarik ke pusat. Mereka dianggap telah berhasil dipilih mayoritas masyarakat saat dulu. Harapannya, mereka akan dipilih lagi di pusat oleh pendukungnya di daerah tersebut sehingga bisa meningkatkan suara partai secara umum.

Di tengah masyarakat yang masih terkungkung tradisi feodal, logika semacam ini sangat mungkin terjadi. Namun, di tengah masyarakat yang makin sadar politik, pengunduran diri semacam ini akan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan kepala daerah terhadap rakyat yang dipimpinnya. Masyarakat akan menganggap bahwa pemimpin mereka selama ini tak lebih dari sekedar petugas partai yang setiap saat akan meninggalkan mereka ketika ada peluang prestise yang lebih besar.


Niretika, tetapi Legal

Meski tak etis, pengunduran diri ini legal karena telah diatur di dalam Pasal 182 huruf K dan Pasal 240 ayat (1) huruf K UU nomor 7 tentang Pemilu. Jika idealnya kepala daerah harus menuntaskan amanahnya hingga masa jabatannya berakhir, namun berkat adanya UU ini, etika tersebut tak lagi berlaku. Kepala daerah sah mengundurkan diri jika dia berniat menjadi calon peserta pemilu.

Mundurnya para kepala daerah ini tentu merugikan masyarakat. Para kepala daerah yang mundur, akan digantikan oleh pejabat pelaksana tugas (Plt). Sayangnya, wewenang Plt tidaklah sama dengan wewenang kepala daerah. Alhasil, akan ada beberapa kebijakan, terutama yang berkaitan dengan anggaran, tidak bisa dilaksanakan meski masyarakat membutuhkannya.


Pemimpin dalam Islam

"Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengurus, dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus." Demikianlah bunyi sebuah hadis yang telah diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Dalam hadis ini, Rasulullah SAW menegaskan bahwa setiap pemimpin telah mengambil amanah mengurusi rakyat yang dipimpinnya, dan karenanya dia akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas rakyat yang dipimpinnya. Hadis ini terasa relevan jika dipakai sebagai muhasabah bagi para kepala daerah yang beramai-ramai melepaskan amanah di atas.

Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW juga menyinggung masalah penelantaran amanah dan kepemimpinan. Diriwayatkan, dari Abu Sa’id Al-Khudzri, Rasulullah SAW bersabda, “Setiap pengkhianat diberi panji pada hari kiamat yang diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya daripada pemimpin masyarakat (penguasa).” (HR. Muslim).

Dari dua hadis tersebut, jelaslah bahwa amanah kekuasaan adalah perkara besar. Kekuasaan tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadi maupun kelompok atau partainya. Munculnya pemimpin dan kader partai yang hanya menjadi petugas partai, terjadi karena kita sedang menerapkan sistem politik yang mengadopsi Machiavellianisme-Sekularisme sebagai dasarnya. Para politikus rela menghalalkan berbagai cara tak peduli halal-haram asal kepentingan partainya terwujud. 

Dalam sistem politik ini, tak akan mungkin kita menemukan sosok pemimpin semisal Khalifah Umar bin Khaththab ataupun Umar bin Abdul 'Aziz. Sosok pemimpin semisal duo Umar, hanya akan muncul dari sistem politik yang didasari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sistem politik yang tidak menghalalkan berbagai cara. Setiap pemimpin dan calon pemimpin terikat dengan halal-haram. Sistem semacam ini hanya akan terwujud jika Islam dijadikan mercusuar berpikir bagi dunia. 

Itulah sistem politik yang telah ditegakkan oleh Rasulullah SAW di Madinah, dan diteruskan oleh para khalifah sesudah beliau. []


Oleh: Ranita
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments