Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Konser Coldplay dan Matinya Empati Generasi Secara Sistemis


TintaSiyasi.com -- Musik tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan dewasa ini. Musik bahkan digandrungi oleh semua umur, baik dari yang muda hingga lansia. Musik, seolah punya mantra. Sehingga para penikmat alunannya seakan memperoleh kembali energi setelah penat beraktivitas.

Setelah sebelumnya sukses dengan BlackPink, sepertinya menjadi kabar menggembirakan bagi pecinta musik di tanah air, khususnya para pecinta grup musik barat. Kini, grup band asal Inggris Coldplay akan menggelar konser besar di Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta pada November mendatang.

Meskipun sudah terbentuk 20 tahun yang lalu, namun konser yang akan digelar di tanah air ini merupakan konser perdana yang bertajuk Music of The Spheres World Tour 2023. Dan grup band ini dijuluki sebagai The Most Succesful Band of the 21st Century. Karena dinilai banyak merilis album yang berkualitas tinggi dan berhasil memikat para pecinta musik di penjuru dunia. (Tempo, 14/5/2023).

Dalam unggahan media sosial, promotor PK Entertainment resmi mengumumkan bahwa penjualan tiket akan dibagi dalam 11 kategori dan dijual mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 11 juta. (CNN Indonesia, 11/5/2023).

Meskipun terbilang mahal, namun hal tersebut tak menyurutkan antusiasme penggemar yang didominasi oleh generasi muda. Seperti pengakuan salah seorang pegawai BCA di Yogyakarta, Dia mengaku sudah tak terhitung berapa banyak nasabahnya yang bertanya mengenai penjualan tiket. Ada juga yang meminta bantuan war tiket jalan orang dalam. Padahal ujarnya, untuk pembelian tiket bisa langsung ke laman resminya hanya saja paymentnya lewat BCA.

Executive Vice President Secretarial and Corporate Comunication BCA Hera F. Haryn pun mengakui antusiasme nasabahnya menyambut event ini sangatlah tinggi. Bahkan, belumlah konser digelar, unggahan Instagram Coldplay yang mencantumkan tanggal tur di Indonesia mendapat banjiran komentar warga Indonesia dan disukai 1 juta kali.

Walaupun mendapatkan kecaman dan penolakan dari alumni 212 karena grup band ini dinilai salah satu kelompok yang mengusung liberalisme dan mendukung kampanye LG8T yang bertentangan dengan ajaran agama Islam dan nilai-nilai Pancasila. Namun hal ini rupanya tak juga menyurutkan antusiasme para pemuda. Tak tanggung-tanggung, seorang guru sekolah swasta di Jakarta rela merogoh tabungannya untuk membeli tiket konser. Karena ia menganggap grup band ini adalah grup band yang langka. Grup yang memilih negara bebas, tidak ada masalah politik, lingkungan, dan isu kekerasan, ras, dsb. (beritasatu, 13/5/2023).

Pemerintah percaya bahwa event ini adalah sebuah kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia setelah sebelumnya sukses menggelar konser BlackPink. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno bahkan yakin jika konser kali ini akan meningkatkan jumlah wisatawan dari penjuru Indonesia.


Matinya Empati Generasi

Sungguh luar biasa, antusias dan pengorbanan anak muda hari ini demi sesuatu yang mereka anggap mempunyai value untuk kesenangan mereka. Mereka rela berkorban harta, keselamatan, bahkan iffahnya sebagai seorang muslimah. Hal ini semakin menunjukkan kesenjangan di berbagai lini yang terbentuk secara sistemis.

Sistem hidup sekuler liberal kapitalis sukses membentuk generasi-generasi hedonis, individualis, konsumtif, dan liberal. Tatanan hidup telah membentuk pribadi berorientasi materi dan kesenangan duniawi semata. Kebahagiaan dapat diraih dengan melakukan apa saja walaupun melanggar agama. Diartikan apabila bisa melakukan apa saja yang diinginkan walaupun melanggar tuntunan agama.

Alih-alih menggerakkan ekonomi rakyat, nyatanya yang diuntungkan lagi-lagi para pengusaha. Salah satunya dengan naiknya tingkat okupansi hotel dan restoran. Lalu di mana letak keberpihakan pada rakyat kecil yang notabene kelompok ekonominya lemah? Walaupun ada, hal tersebut hanya remah-remahan yang tidak akan menjadikan mereka mandiri dalam ekonomi. Bukankah di satu sisi masih ada banyak pekerjaan rumah bangsa ini yang butuh penyelesaian extraordinary? Kemiskinan dan stunting contohnya.

Hal ini lagi-lagi makin menunjukkan matinya empati penyelenggara dan pihak pemberi ijin terhadap penderitaan sesama. Dan dengan melihat antusiasme masyarakat pada event ini juga membuktikan adanya kekacauan pemikiran generasi kita dan kesenjangan dalam hal kesejahteraan. Dan pastinya event konser ini dekat dengan perkara maksiat dan kesia-siaan di dalamnya.


Skala Prioritas dan Kebahagiaan dalam Islam

Islam tak hanya mengatur perkara ibadah. Sebuah aturan yang datang dari Sang Pencipta. Namun Islam pun mengatur bagaimana seorang Muslim menempatkan kebebasan, memandang kebahagiaan, dan bagaimana mengatur prioritas dalam kehidupan.

Memang menyenangkan apabila kita dapat bebas menikmati hidup dan melakukan apa saja yang kita inginkan. Namun sebagai seorang Muslim, kita wajib terikat dengan aturan syarak. Karena sejatinya manusia memiliki potensi di dalam dirinya untuk berbuat maksiat dan juga takwa. Maka dari itu, Islam memiliki aturan syarak agar manusia tetap terjaga sebagai makhluk mulia sesuai dengan penciptaannya, setelah Allah SWT menganugerahkan akal dan panca indera untuk mencari kebenaran. Allah SWT berfirman:

ونفس وما سوها(٧) فألهمها فجرها وتقواه(٨) قد أقلها من ذكرها(٩) وقد خاب من كسها(١٠)

"Dan jiwa serta penyempurnaan ya(ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." [TQS. Asy-Syams :7-10] .

Makna kebahagiaan dalam Islam adalah semata-mata menggapai ridha Allah SWT dalam setiap beraktivitas. Namun bukan berarti Islam melarang untuk menikmati hidup dan bersenang-senang. Allah SWT memperingatkan manusia agar senantiasa bersyukur. Siapa pun mereka, baik kaya ataupun miskin mempunyai porsi yang sama dalam beramal. Si kaya dengan kekayaannya digunakan untuk hal-hal yang disukai Allah. Serta menjauhi perkara yang tidak disukai Allah. Misalnya bersedekah, mengurus anak yatim, membantu keluarga dan tetangga yang membutuhkan, berkorban untuk dakwah dan lain sebagainya. Apapun kondisi seorang Mukmin, ia akan memandang perkara dunia ini dengan kacamata akhirat. Yaitu bagaimana aktivitas di dunia ini bisa menyelamatkan kehidupan di akhirat kelak.

Tidak dapat dimungkiri, bahwa peran negara amatlah penting dalam membentuk karakter rakyatnya. Dalam Islam, negara adalah instrumen utama dalam menyejahterakan rakyatnya. Negara akan menjamin terpenuhinya kebutuhan mendasar rakyatnya tanpa terkecuali. Karena penguasa dalam Islam adalah seorang penanggung jawab segala urusan umat, termasuk menjaga rakyatnya agar jangan sampai tersesat dalam kemaksiatan. Negara juga akan mengedukasi rakyat tentang prioritas kebutuhan yang harus didahulukan.

"Jika terdapat banyak kebutuhan yang harus dipenuhi maka mulailah dari yang terpenting dan mendesak." (Imam As-Syafi'i).

Menggenjot ekonomi dari sektor pariwisata, bukanlah pendapatan negara, melainkan wisata hanya dijadikan objek untuk meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Islam memiliki mekanisme ekonomi islam yang kuat dan tangguh dari ancaman krisis. Islam menganggap generasi muda adalah penerus peradaban. 

Rusaknya peradaban, maka rusaklah pula generasi mudanya. Maka Islam sangat menekankan dan mendorong para pemuda agar mencintai ilmu. Sudah terbukti selama belasan abad lamanya, bahwa generasi yang lahir dari peradaban Islam adalah generasi mulia dengan hasil karya yang bermanfaat bagi umat sepanjang zaman yang karyanya menjadi pijakan Barat untuk mengembangkan sains dan teknologi setelah masanya.

Sebut saja al-Battani, seorang astronom penemu bilangan hari dalam setahun, Ibnu Sinna, ahli di bidang kedokteran. Ibnu Al-Haitsam penemu optik, Al-Khawarizmi ahli matematika, astronomi dan geografi. Abbas Ibn Firnas tokoh penerbang pertama. Ada juga seorang muslimah Fatimah al-Fihri seorang pendiri universitas modern pertama di dunia. Banyak juga para tokoh penakluk di medan jihad, seperti Salahudin al-Ayubi, Muhammad al-Fatih yang diusia mudanya dihabiskan untuk agama dan tersebarnya Islam. Semua ini bisa kembali terwujud apabila Islam diterapkan secara kaffah dalam institusi khilafah.

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Anggia Widianingrum
(Pegiat Literasi)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments