TintaSiyasi.com -- Kekerasan atau kejahatan apapun terhadap anak adalah mimpi terburuk bagi para orang tua. Pada jaman seperti sekarang, melepas anak ke dalam kehidupan sosial ibarat melepas mereka masuk ke hutan rimba. Sama sekali tidak ada jaminan aman bagi anak-anak di negeri ini, bahkan di seluruh dunia.
Baru-baru ini, untuk kesekian kalinya, terjadi lagi kasus perundungan (bullying) terhadap anak hingga merenggut nyawa. Mirisnya, pelaku bullying juga masih anak-anak yang tidak lain adalah kakak kelas korban. MHD (9), anak kelas 2 sekolah dasar (SD) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia setelah diduga dikeroyok oleh para kakak kelasnya. MHD, anak kelas 2 sekolah dasar (SD) di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, meninggal dunia setelah diduga dikeroyok oleh para kakak kelasnya. Korban diduga dikeroyok di sekolah sebanyak dua kali yaitu pada Senin (15/5/2023) dan keesokan harinya, Selasa (16/5/2023). Kejadian naas ini diduga terjadi saat jam pelajaran berlangsung. (kompas.tv, 21/05/2023).
Sungguh tidak terbayangkan, seorang bocah 9 tahun harus menerima pukulan bertubi-tubi dari teman-temannya yang menyebabkan dia meregang nyawa. Melihat fakta ini, pastilah muncul kemarahan dan berbagai pertanyaan di benak masyarakat. Tentang di mana peran guru dan sekolah, mengingat pengeroyokan terjadi saat jam pembelajaran. Bagaimana cara orang tua mendidik anaknya hingga mampu melakukan kekerasan sedemikian rupa? Apakah tontonan atau media sosial yang menyebabkan hal ini? Hingga apakah kurikulum pendidikan sudah disusun dengan benar? Mengapa mental dan moral peserta didik makin merosot dan hancur?
Jelas telah terjadi kelalaian yang sangat besar dari pihak guru dan sekolah. Pengeroyokan pasti menimbulkan keributan yang menarik perhatian, namun hingga hari ini, belum ada konfirmasi dari pihak sekolah ke mana guru yang seharusnya mengisi pelajaran pada hari itu. Selain itu, pengeroyokan tidak hanya terjadi sekali, tapi dua kali. Hal ini menunjukkan kurangnya perhatian. Sekolah abai terhadap perilaku muridnya. Begitulah wajah pendidikan di Indonesia, mayoritas para pendidiknya hanya sekadar melaksanakan tugas transfer ilmu. Tanpa keinginan kuat untuk membentuk karakter siswa.
Menilik kurikulum pendidikan yang berlaku pun tak jauh berbeda. Berkali-kali diganti nama kurikulumnya, namun isi dan praktiknya sama saja. Hanya sekadar petunjuk pelaksanaan yang tidak membekas. Faktanya, potret pendidikan makin suram. Terbukti dengan makin banyaknya kasus kriminal di lingkungan sekolah.
Tidak bisa dipungkiri, pendidikan di sekolah bukan satu-satunya pembentuk karakter seorang anak. Generasi sadis yang akrab dengan kekerasan dibentuk oleh gabungan seluruh kenyataan yang dihadapi oleh anak. Baik di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan masyarakat. Bisa jadi, kondisi rumah si anak mendukung dalam membentuk karakter "sadis" tersebut. Misalnya, sering melihat kekerasan, menjadi korban kekerasan dari orang tua, kurang mendapat perhatian dan lain sebagainya. Atau bisa jadi, kondisi rumah baik-baik saja, namun ketika masuk ke dalam dunia pergaulan di sanalah anak terpapar informasi tentang kekerasan.
Memantau kegiatan anak selama 24 jam penuh, memang mustahil bagi orang tua. Maka pastilah di benak setiap orang tua menaruh harapan besar pada lingkungan sosial masyarakat agar tidak memberikan pengaruh negatif kepada anak-anak. Namun harapan itu bisa menjadi sebuah harapan yang terlalu besar untuk terwujud di era sekularisme seperti sekarang. Era di mana nilai-nilai agama telah ditinggalkan. Dijauhkan bahkan dipisahkan dari kehidupan.
Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim, di mana Islam adalah sebuah agama ideologi yang memancarkan berbagai aturan lengkap dan sempurna. Memaksa seorang Muslim untuk memisahkan kehidupannya dari aturan Islam, tidak jauh berbeda dengan menyuruh mereka meninggalkan agamanya. Dan cukup aneh jika di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini ternyata tidak diterapkan aturan Islam.
Sesungguhnya, pangkal permasalahan umat saat ini tidak lain adalah diterapkannya sekularisme. Solusi dan hukum yang dipakai adalah solusi dan aturan buatan manusia. Padahal dalam Islam tersaji lengkap hukum buatan Allah sebagai Sang Pencipta, yang tertuang dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Termasuk persoalan pendidikan anak.
Islam jelas memiliki aturan yang lengkap tentang cara mendidik anak agar memiliki karakter yang kuat dan islami. Islam menganjurkan agar orang tua memperlakukan anak seperti raja sejak bayi hingga berusia 7 tahun. Kemudian memperlakukan mereka bak seorang tawanan ketika berusia 7 hingga sekitar 13 tahun. Artinya, anak diajarkan tentang kewajiban dan tanggung jawab diusia ini. Kemudian diusia remaja beranjak dewasa, 13 tahun ke atas, orang tua hendaknya sebisa mungkin bertindak sebagai sahabat. Sehingga anak tidak segan menceritakan keluh kesahnya serta mendiskusikan persoalan yang dia hadapi dengan orang tua.
Selain patokan ini, negara juga harus menjadi pilar penting dalam pembentukan karakter generasi bangsa. Kurikulum pendidikan harus menunjang terbentuknya akidah Islam yang kuat. Dengan demikian sejak dini generasi Muslim telah memiliki keimanan kuat dan rasa takut kepada Allah. Mereka akan menjadi pribadi-pribadi islami yang tidak mudah merundung. Justru menjadi pribadi yang selalu memikirkan kemajuan Islam dan negaranya.
Namun demikian, sistem Islam adalah sebuah sistem komprehensif yang saling berkaitan antar semua lini kehidupan. Baik segi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, maupun lini lain dalam kehidupan masyarakat Islam. Semuanya menyatu dan saling terkait. Mustahil hanya menerapkan pendidikan Islam saja namun ekonominya masih ekonomi kapitalis. Menerapkan sistem Islam secara total dan menyeluruh adalah satu-satunya cara yang harus segera ditempuh untuk menyelamatkan generasi, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia. Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Dinda Kusuma W.T.
Aktivis Muslimah
0 Comments