Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kepastian Keputusan Politik Pemerintah di Tanah Papua

TintaSiyasi.com -- Penyanderaan Pilot Susi Air kembali terjadi pada bulan Februari tahun 2023. Saat ini sudah 3 bulan Philip Mark Methrtens, pilot berkebangsaan Selandia Baru, disandera oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Nduga, Papua. Selain itu, KKB juga melancarkan aksi terornya dengan melakukan intimidasi kepada perempuan yang berjualan di wilayah Kabupaten Intan Jaya serta mengusir penduduk Kampung Mambak Sugapa, Intan Jaya dengan alasan bahwa akan ada perang dengan aparat TNI-Polri menyusul upaya yang dilakukan aparat TNI untuk membebaskan sanderaan KKB (voaindonesia.com, 15 April 2023).

Dalam upaya pembebasan tersebut, jumlah prajurit yang gugur bertambah. Diketahui ada 36 prajurit Satgas Yonif Raider 321 yang terlibat baku tembak dengan Kelompok KKB Di Distrik Mugi hingga menewaskan 4 prajurit, 1 orang prajurit masih hilang dan lima prajurit luka namun berada dalam keadaan selamat (Nasional.kompas.com, 21 April 2023).

Melihat Kembali Sejarah dan Akar Permasalahannya

KKB di Papua adalah sebutan yang diberikan oleh TNI kepada kelompok separatis yang ingin memisahkan diri dari kedaulatan Indonesia. Sebelumnya KKB ini disebut OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang mana organisasi ini sudah ada sejak tahun 1961 ketika Belanda dan Indonesia tidak menemukan kesepakatan tentang wilayah kedaulatan Indonesia bagian timur atau Papua Barat. 

Catatan sejarah yang penting disini adalah berdasarkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) Tahun 1969 diputuskan bahwa Papua Barat adalah bagian NKRI. Namun,  dalam perjalanan bangsa Indonesia, selalu muncul permasalahan di Papua Barat:

Pertama, adanya diskriminasi dan anggapan bahwa sedikitnya kontribusi dan jasa Papua untuk Indonesia. Kedua, pembangunan infrastruktur yang tidak merata untuk Papua dalam bidang sosial terutama pendidikan, kesehatan serta minimnya melibatkan pelaku ekonomi asli Papua. Ketiga, proses integrasi politik, ekonomi dan sosial budaya di Papua yang belum tuntas. Keempat, adanya kekerasan politik dan pelangaran HAM yang belum terselesaikan (Theconversation.com, 22/10/2017).

Keadaan permasalahan di atas menjadi latar belakang keinginan kelompok separatis Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia. Terlebih, OPM mendapat dukungan dari negara kapitalis dunia seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Belanda. Selain itu beberapa negara di Pasifik seperti Vanuatu, Palau, Tuvalu dan negara lainnya juga menyatakan dukungan dengan kerap menyuarakan kemerdekaan Papua dalam Sidang Majelis Umum PBB.

Dalam sistem Kapitalisme yang berkuasa saat ini, semua tindakan selalu diikuti dengan asas keuntungan.  Oleh karena itu, dukungan terhadap kemerdekaan Papua disinyalir sebagai upaya pembebasan Papua dari Indonesia sehingga kekayaan alam di bumi Papua dapat menjadi jajahan baru bagi negara pemegang tampuk Kapitalime.

Sebagai contoh, hingga saat ini Amerika Serikat masih menjadi pemegang saham terbesar pada PT. Freeport, dimana Perusahaan yang menggali hasil bumi Papua dan mengambil keuntungan untuk negaranya.

Pemerintah “Labil” Menentukan Keputusan.

Pemerintah harus menentukan keputusan politik dalam menangani permasalahan terkait pembebasan Pilot Susi Air. Diketahui bahwa pemerintah berjanji akan membebaskan Philip Methertens dari sanderaan KKB. Saran damai telah disampaikan oleh berbagai pihak kepada pemerintah diantaranya dari Koalisi Masyarakat Sipil yang meminta pemerintah untuk membuka ruang dialog yang setara dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Namun, dalam menanggapi tewasnya prajurit TNI Pratu Miftakhul Arifin, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono meningkatkan status operasi TNI Di Nduga, Papua menjadi siap tempur. 

Keputusan ini seakan menunjukan penolakan Indonesia terhadap saran dari berbagai pihak termasuk rekomendasi dari PBB. Jalur militeristik yang diambil oleh pemerintah mendapat dukungan bantuan dari Selandia Baru, namun ditolak dengan klaim bahwa kemampuan TNI sangat memadai mengingat pengalaman TNI yang bagus dalam pembebasan sandera dalam berbagai medan. Namun disisi lain, Laksamana Yudo Margono menyatakan ada kesulitan dalam pembebasan Pilot Susi Air dikarenakan KKB berpindah dan membaur dengan masyarakat. 

Ini menunjukan ketidaktepatan keputusan pemerintah dalam menangani kasus penyaderaan Pilot Susi Air. 
Lebih jauh lagi, pemerintah memang dalam keadaan dilema dalam mengambil keputusan yang tepat. TNI menetapkan siaga tempur di Nduga namun statusnya bukan perang melainkan operasi penegakkan hukum. Kebingungan pemerintah dalam hal ini mengingat pandangan Internasional terhadap kasus pelanggaran HAM oleh TNI-Polri terhadap masyarakat sipil selama konflik di Papua.

Konflik Papua ini seperti dipelihara agar tetap ada, buktinya sudah beberapa tahun konflik terjadi tapi tetap saja tidak ada solusinya. Sesungguhnya, konflik ini menguntungkan pihak investor yang serakah terhadap kekayaan alam di bumi Papua seperti PT. Freeport yang sampai saat ini masih dikuasai asing. Posisi Indonesia saat ini memang menguntungkan kaum kapitalis, dimana Indonesia menjadi negara pembebek kapitalis yang tanpa kejelasan ideologi mengambil sistem pemerintahan Kapitalis.

Para negara kapitalis mengedepankan HAM dan pandangan mata dunia dalam setiap pengambilan keputusan. Maka tidak jarang membuat Indonesia terlihat tidak mempunyai prinsip dan kesulitan dalam mengambil keputusan termasuk mengatasi konflik di KKB.

Islam Punya Jawaban

Dalam sejarah Islam juga terdapat kelompok masyarakat yang separatis ketika negara Islam sudah ada. Oleh sebab itu, melalui sejarah dapat diambil pelajaran dari peristiwa yang terjadi. Pedoman yang menjadi dasar untuk mengambil keputusan dalam menangani konflik Papua ini tidak boleh serampangan.

Bagaimanapun juga konflik di tanah Papua bukanlah masalah yang ringan karena mengusik integrasi Indonesia. Mengingat ulah KKB yang menyerang hingga menyebabkan tewasnya aparat tentara, yang mana telah merusak wibawa negara.

Dalam hal ini Daulah Islam mengambil keputusan berdasarkan Undang-Undang Keamanan Dalam Negeri. Sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Keamanan dalam Negeri Islam, ancaman terhadap keamanan dalam negeri ditangani penyelesaiannya oleh Direktorat  Keamanan Dalam Negeri  seperti murtad, pemberontak bersenjata (hirabah).

Adapun Direktorat peperangan (Amirul Jihad) menangani seluruh urusan yang berkaitan dengan persenjataan. Sebagai contoh, sejarah mencatat terjadinya penghianatan oleh Musailamah Al-Kadzab yang melakukan pemurtadan pada kaum muslimin sehingga Musailamah mempunyai pengikut dan membangun markas di Yamamah. Musailamah merupakan seorang Nabi palsu pada masa pemerintahan Abu Bakar AS-Sidiq.

Menindak apa yang dilakukan Musailamah, Abu Bakar sebagai Khalifah dengan mantap mengirim pasukan ke Yamamah untuk memerangi Musailamah dan pengikutnya, sehingga Yamamah tetap berada dalam Daulah Islam. Demikianlah syariat Islam menjaga kedaulatan kehormatan negara dengan kewajiban jihad.[]

Oleh: Eka Nofrianti
(Aktivis Muslimah)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments