Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Sanksi dalam Islam Tegas dan Masalah Tuntas

TintaSiyasi.com -- Sudah menjadi tradisi, setiap Hari Raya Idul Fitri, para napi biasa mendapatkan remisi. Remisi diperoleh ketika selama dipenjara menunjukkan kelakuan baik. Direktorat Jenderal Hukum dan Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemkumham menyampaikan, 146.260 dari 196.371 narapidana beragama Islam di Indonesia menerima remisi khusus (RK) Idul Fitri 2023. Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengklaim, pemberian remisi Idul Fitri tahun 2023, bisa menghemat anggaran negara cukup signifikan. Pemberian remisi kepada 146 ribu napi negara bisa menghemat  72 miliar (Kompas.com, 23/4/2023).

Remisi diberikan kepada para napi, baik tindak pidana umum, kasus narkotika, hingga kasus korupsi. Besaran remisi yang diberikan berkisar 15 hari hingga dua bulan. Salah satu penerima revisi momen hari raya tahun ini adalah napi kasus e-KTP, Setya Novanto (tempo.co, 23/4/2023).

Sanksi tidak Membuat Efek Jera

Akhir dari perbuatan tindak pidana adalah penjara. Namun sanksi dipenjara atau rumah tahanan seringkali tidak memberi efek jera bagi para pelaku. Bahkan yang terjadi sebaliknya, keluar dari penjara, residivis kadang melakukan perbuatan kriminal yang lebih berat dan sadis.

Tidak munculnya efek jera dari pemenjaraan para napi karena beberapa faktor. Diantaranya, napi yang berharta, bisa menyulap kondisi penjara di hampir sebagian lembaga pemasyarakatan menjadi istana atau hotel. Terlebih napi korupsi, dengan harta hasil korupsinya  bisa membeli petugas lapas sehingga mendapatkan fasilitas yang fantastis.

Faktor lain adalah vonis tingkat hukuman yang tidak mencerminkan rasa keadilan publik. Napi yang berduit bisa membeli elit hakim sehingga hukuman yang diberikan lebih ringan dari tuntutan jaksa yang terkadang sudah ringan. Sebagai contoh, ada semacam kebiasaan bahwa putusan bersalah hakim terhadap koruptor berkisar 50 persen lebih kecil daripada tuntutan jaksa penuntut.

Dalam kasus korupsi, seringkali putusan ganti rugi tetap membuat para koruptor bisa menikmati dan mengembangbiakkan hasil korupsinya.  Tindakan korupsi yang acapkali dilakukan terus-menerus, aparat penegak hukum biasanya hanya bisa membongkar satu atau dua perbuatan. Akumulasi kekayaan yang dihasilkan dari korupsi yang berulang-ulang  akan membuat pelakunya hidup bergelimang kemewahan.

 Vonis hukuman yang sudah ringan akan kian ringan jika napi mendapatkan kebijakan remisi dari pemerintah pada hari-hari besar. Sudah diketahui, hari-hari besar di Indonesia tidak hanya satu kali dalam setahun. Pertimbangan kelakuan baik selama di penjara menjadi ukuran untuk memberikan diskon hukuman. Terlebih elit napi yang memiliki akses ke penguasa hanya  menghuni sel penjara setengah dari vonis penjara yang telah dijatuhkan hakim. 

Terakhir, mental aparat lapas yang mudah dibeli dan disogok para napi untuk mendapatkan fasilitas yang seharusnya terlarang bagi napi. 

Selain tidak menimbulkan efek jera,  penjara juga membebani anggaran negara. Direktur Pelayanan dan Pengelolaan Basan dan Baran Direktorat Jenderal Permasyarakatan Heni Yuwono mengatakan, negara mengeluarkan uang Rp 2 triliun dalam setahun hanya untuk memberi makan narapidana (Kompas com, 21/9/2022).

 Sanksi Islam, Mencegah dan Menghapus Dosa

Islam datang bukan sekedar mengatur urusan ruhiyah, tapi sebagai solusi semua problematika kehidupan manusia. Islam mempunyai seperangkat aturan yang lengkap dan menyeluruh untuk menjaga agar manusia tetap dalam fitrah, dan tidak jatuh menyerupai martabat hewan.

Islam menjaga manusia senantiasa dalam ketaatan. Perbuataannya senantiasa disesuaikan dengan kacamata akidah Islam, bahwa hidup tidak hanya now, but now and after (dunia dan akhirat).  Tidak hanya individu, masyarakat juga mempunyai kepedulian tinggi untuk melakukan amar makruf nahi munkar. Menjaga individu- individu didalamnya agar senantiasa  dalam ketaatan. Dan tak kalah penting adalah keberadaan negara sebagai penjaga dan penerap hukum syarak. Dengan penjagaan yang sempurna ini, ketika masih ada individu yang menyimpang dan melanggar hukum syarak, Islam punya sanksi yang tegas dan berkeadilan.

Islam mampu mewujudkan hukum yang berkeadilan, tidak pandang bulu, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW. Ada wanita dari kalangan terhormat, Bani Makhzum yang mencuri. Ketika hendak dijatuhi hukuman, keluarganya merasa keberatan. Keluarganya menemui Usamah bin Zain, sahabat yang dekat dan dicintai Rasulullah SAW. Mereka meminta tolong Usamah untuk menyampaikan keinginannya.

Usamah beranjak pergi menemui Rasulullah dan menyampaikan keinginan keluarga wanita yang melakukan pencurian itu. Setelah mendengarkan permintaan itu, Rasulullah pun terlihat marah, lalu berkata, “ Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang ditetapkan Allah?”

Kemudian, beliau berdiri dan berkhutbah di hadapan kaum muslimin hingga sampai pada sabdanya:

 “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, bahkan seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya!”

Seorang muslim  senantiasa terikat dengan aturan Islam, tidak ada kebebasan mutlak baginya. Perbuatan yang melanggar syarak dianggap sebagi jarimah, yakni perbuatan kriminal yang pelakunya berhak diberikan sanksi tanpa ada perasaan belas kasihan. Bahkan hukuman itu diumumkan kepada khalayak, sebagaimana firman Allah SWT,

 "(Dan)  hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang beriman" (TQS. An-Nur: 2)

Sistem sanksi yang tegas dalam Islam akan membuat jera bagi pelaku. Pelaksanaan hukuman yang disaksikan masyarakat, mampu dan efektif untuk mencegah orang lain ikut berbuat kriminal (zawajir). Sejarah mencatat, selama Rasulullah SAW memerintah daulah Islam di Madinah, tercatat ada dua hingga tiga kasus perzinaan.

Selain mencegah, sanksi dalam Islam juga sebagai penebus dosa (jawabir). Seorang muslim yang melakukan jarimah atau perbuatan kriminal, ketika mendapatkan sanksi sesuai syarak, maka akan menghapus dosa perbuatan kriminalnya tersebut.

Sebagaimana kisah dua sahabat Ma'iz Al Islami dan shahabiyah Al Ghamidiyah, radliyallahu 'anhuma. Al Ghomidiyah, suatu ketika datang kepada Baginda Rasulullah SAW,  dan mengaku telah berbuat zina. Dia meminta kepada Rasulullah untuk ditegakkan hudud atasnya. Nabi SAW menangguhkan hukumannya hingga melahirkan dan menyusui. Demikian juga Ma'iz, telah melakukan zina. Rasulullah memintanya mengajukan saksi-saksi. Meskipun tiada saksi, Ma'iz tetap meminta Rasulullah mensucikan dirinya dengan menegakkan hukum Allah atasnya.

Setelah ditegakkan hudud atas mereka. Rasulullah memberi komentar terhadap Al Ghamidiyah,

 "Dia (wanita itu) telah bertaubat dengan sesungguhnya, yang bila ditimbang (taubatnya itu) dengan seluruh penduduk bumi, pasti dikalahkannya" (HR Abu Dawud, No 4446; Tirmidzi, No 1459)

Terhadap Al Ma'iz, Baginda Nabi SAW berkomentar, "Dia sekarang telah berenang di sungai surga" (HR Ibnu Hibban, No 4384, 4385)

Hadis tersebut menjelaskan bahwa hukuman yang diberikan kepada perilaku jarimah, akan menghapus dosa dan hisab di hari akhir.

 Khatimah

Hukuman  penjara  dalam sistem kapitalisme, selain membebani anggaran negara, juga tidak berefek jera bagi pelakunya. Meski pelaku kejahatan sudah dijatuhi hukuman penjara, toh tindak kriminalitas bukan berkurang, justru makin berkembang, baik kualitas maupun kuantitas. Mirisnya,  hukuman produk manusia tersebut tidak menghapus dosa pelakunya. Didunia sudah kehilangan waktu berharga di penjara, diakhirat masih menerima siksa.

Selayaknya umat Islam kembali kepada ajaran Islam yang lengkap dan tuntas menyelesaikan masalah termasuk kriminalitas. Hal tersebut akan terwujud ketika sistem Islam diterapkan secara kafah.

 Wallahu a'lam bishshawab

Oleh: Ida Nurchayati
Sahabat TintaSiyasi

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments