TintaSiyasi.com -- Kembali terjadi ‘pengakuan’ terkait Nabi. Hal ini menandakan tidak ada efek jera atas kasus serupa yang sering terjadi. Juga tanda dangkalnya pemahaman umat terhadap agamanya sendiri.Geger! Pelaku Penembakan Kantor MUI Ternyata Pernah Deklarasi Jadi Wakil Nabi (warta ekonomi.co.id, 07/05/2023)
Pelaku Penembakan di Kantor MUI Klaim Sebagai Wakil Nabi Muhammad Rasulullah SAW
Polda Lampung kroscek identitas pelaku penembakan di Kantor MUI.( REPUBLIKA.CO.ID… 02/05/2023)
Ternyata Mengaku Nabi, Pelaku Tembaki MUI Pusat setelah 3 Kali Datang Minta Bertemu Ketua Umum. (tribunwow.com, 02/05/2023)
Fenomena ini wajar muncul dalam sistem sekuler, yang menganggap agama sekedar urusan privat. Hal ini juga mencerminkan adanya penistaan agama, termasuk meremehkan agama (desakralisasi).
Desakralisasi ini membahayakan upaya perubahan untuk menerapkan Islam kaffah. Islam menjadikan agama sebagai sesuatu yang wajib dibela, bahkan negara punya mekanisme akan hal ini. Tegaknya agama sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan umat dari krisis multi dimensi ini.
Hukum orang yang mengaku sebagai nabi atau rasul adalah kafir. Ia telah dinyatakan keluar dari Islam atau, dengan kata lain, murtad apabila sebelumnya dia adalah seorang muslim. Dia harus dibunuh oleh penguasa jika tidak bertobat, sebagaimana dibunuhnya Musailamah al-Kadzdzab dan al-Aswad al-Ansi.
Islam memiliki metode menjaga akidah umat dan menjaga agar islam tetap mulia,
Allah memperingatkan hamba-Nya di dalam Al-Qur'an Surah al-Maidah, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman. Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal.” [al-Maidah/5 : 57-58].
Maka, dalam Islam, orang yang berani menghina agama atau mengaku nabi/rasul sudah bisa dikatakan keluar dari Islam atau murtad. Karena jelas menghina agama dalam Islam hukumnya haram. Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa hukuman bagi penghina Islam, Allah SWT dan Rasul-Nya adalah hukuman mati jika tidak mau bertobat. Hal ini diucapkan secara langsung oleh Rasulullah SAW, bukan pendapat (ijtihad) para fukaha. Maka, hukumnya adalah pasti (qath’i) dan tidak berubah.
Serahkan orang yg melakukan pelecehan atau penghinaan agama kepada pemimpin yang amanah yang sanggup menerapkan hukum-hukum Allah. Pelaku yang bertobat, gugurlah hukuman mati atas dirinya, hanya saja negara tetap memberikan ‘pelajaran’ kepada pelaku sesuai dengan ketetapan khalifah, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya.
Ash- Shaidalâni (w. 427H), ‘ulama dari kalangan Syafiyah, menyatakan bahwa pencaci Allah dan Rasul-Nya, jika bertobat, tobatnya diterima dan tidak dihukum mati, namun tetap diberi ‘pelajaran’ dengan dicambuk 80 kali (Mughni al-Muhtâj, 5/438).
Dengan hukuman yang tegas, orang yang berpenyakit dengki dalam hatinya tidak akan sempat menularkan penyakitnya kepada orang lain. Karenanya, umat Islam bukan hanya sekadar mendesak agar penghina agama segera dihukum. Sudah saatnya umat turut memberi peringatan tegas kepada pemerintah agar berhukum dengan hukum Allah SWT.
Bahkan lebih daripada itu, hendaknya umat menerjemahkan kecintaan tersebut ke arah usaha yang sungguh-sungguh untuk menegakkan kembali Khilafah Islamiyah yang akan bertindak tegas demi memelihara kemuliaan Islam dan umatnya.
Wallahua'lam Bisshawab
Oleh: Hayunila Nuris
Aktivis Muslimah
0 Comments