Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Demokrasi Bukan Ajaran Islam

TintaSiyasi.com -- Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu 'demos' yang artinya rakyat dan 'cratos' yang artinya pemerintahan. Jadi demokrasi sebagaimana slogannya yang terkenal, maknanya adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Intinya 'kedaulatan (hukum tertinggi) ada ditangan rakyat'. Atau dikenal dengan istilah 'vox populi vox dei' yaitu suara rakyat adalah suara Tuhan.

Dari segi asal dan istilah saja, sudah bisa ditebak dan dipastikan kalau demokrasi bukanlah berasal dari Islam. Sebab, Islam memakai bahasa Arab dan tidak ada kata 'demos' dan 'cratos' dalam bahasa Arab. 

Dan adapun yang mengatakan demokrasi sesuai dengan Islam, karena dalam demokrasi terdapat musyawarah yang dalam Islam disebut dengan syura', juga tidaklah tepat. Sebab, inti dari demokrasi bukanlah musyawarah, tapi membuat hukum. Dan musyawarah dalam demokrasi tidaklah sama dengan musyawarah dalam Islam (syura'). 

Musyawarah Demokrasi vs Islam

Islam memang menganjurkan untuk bermusyawarah. Sehingga, dalam negara Islam atau khilafah terdapat salah satu struktur pemerintahan yang disebut sebagai majelis syura' atau majelis umat. Majelis umat ini terdiri dari sejumlah orang-orang yang terpilih dari masing-masing perwakilan wilayah, yang akan dimintai pendapatnya oleh khalifah terkait dengan situasi dan kondisi tertentu. 

Musyawarah yang dilakukan dalam majelis ini adalah sesuatu yang bersifat mubah atau yang boleh dimusyawarahkan. Dan yang dimusyawarahkan itu lebih ke perkara teknisnya, bukan perkara hukum boleh atau tidaknya suatu benda atau perbuatan. Karena, yang menentukan boleh atau tidak suatu benda dan perbuatan hanyalah Allah SWT. 

"Sesungguhnya yang berhak membuat hukum adalah Allah" (TQS. Yusuf ayat 40)

Jika perkara tersebut adalah sesuatu yang baru, yang belum ada hukumnya baik didalam al-Qur'an maupun as-Sunah. Maka, Allah SWT telah memberikan mandat kepada orang yang mumpuni dalam hal ini yaitu yang bernama mujtahid. Seorang mujtahid akan berijtihad berkenaan dengan perkara baru yang belum ada hukumnya tersebut. Serta menetapkan hukum berkenaan dengan perkara tersebut berdasarkan hasil ijtihadnya, bukan hasil musyawarah dan tidak dimusyawarahkan. 

Dan tidak semua orang boleh melakukan ijtihad. Seorang mujtahid yang akan melakukan ijtihad harus memenuhi kriteria tertentu, sehingga ia layak disebut sebagai mujtahid. Seperti: hafal Alquran beserta asbabun nuzul-nya, hafal hadits, sebagian ulama berpendapat minimal empat ribu hadits, ada juga yang mengatakan minimal enam ribu hadits beserta asbabul wurud-nya, menguasai bahasa Arab beserta balaghahnya, memiliki teknik penggalian hukum (ushul fikih yang digunakan). Serta mengetahui dan mendalami fakta perkara yang hendak dicari hukumnya. Sehingga, dalam perkara menetapkan (melegislasi) hukum dalam Islam tidak ada istilah hukum ditetapkan berdasarkan suara mayoritas. Tapi, siapa (mujtahid mana) yang pendapatnya yang lebih kuat (rajih) yang lebih mendekati kebenaran, walaupun pendapat tersebut adalah pendapat minoritas atau bahkan pendapat perorangan.

Dan yang dimusyawarahkan bukan sesuatu yang sudah jelas halal dan haramnya. Karena dalam Islam sesuatu yang sudah jelas halal dan haramnya tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Adapun hasil musyawarah dalam majelis umat ini tidak selalu mengikat bagi khalifah. Ada aturan tertentu bagi khalifah kapan dan bagaimana boleh atau bahkan wajib mengambil pendapat dari majelis tersebut. 

Beda halnya musyawarah dalam sistem demokrasi. Dalam demokrasi sesuatu yang sudah jelas keharamannya bisa dimusyawarahkan lagi, sehingga menjadi halal, begitu juga sebaliknya. Dan hasil musyawarah tersebut bersifat mengikat bagi konstitusi, kemudian dijadikan sebagai undang-undang yang akan diberlakukan ditengah-tengah masyarakat. Sebagai contoh: Islam telah jelas mengharamkan miras (khamar), tidak ada ulama yang berbeda pendapat terkait dengan haramnya miras.

Namun, karena telah terjadi musyawarah antara anggota DPR, karena menurut mereka negeri ini berhukum kepada hukum demokrasi bukan hukum Islam. Yang menganut sekulerisme yaitu pemisahan aturan agama dari negara, sehingga dalam pembuatan undang-undang tentang miras tidak boleh memakai aturan Islam. Apalagi dengan alasan negeri ini terdiri dari berbagai macam agama, yang agama selain Islam tersebut tidak mengharamkan miras, serta adanya unsur kepentingan tertentu mengharuskan miras untuk dilegalkan, sehingga miras dimusyawarahkan. Dan hasilnya miras boleh dikonsumsi dan diperjual-belikan walaupun dengan syarat tertentu. 

Sejarah Demokrasi

Awal mula terbentuknya sistem pemerintahan demokrasi didalam banyak buku sejarah mengungkapkan bahwa, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang lahir dari hasil kompromi atau musyawarah yang dilakukan oleh pihak Gereja, raja, filosof dan cendikiawan Barat (Eropa) pada  pertengahan abad ke-15 Masehi.

Pada saat itu telah terjadi konflik yang berkepanjangan antara Gereja dan raja dengan para cendikiawan dan filosof. Yang menyebabkan pertumpahan darah berabad-abad lamanya. 

Konflik ini berawal dari pihak Gereja yang menginginkan agama (Kristen) mengatur kehidupan masyarakat Eropa pada saat itu melalui kekuasaan raja. Dan raja pun merasa diuntungkan dengan kerja sama yang dilakukan dengan Gereja. Yang pastinya rakyat akan tunduk patuh pada perintah raja, karena yang dijalankan raja adalah 'hukum tuhan'. Sehingga ada slogan pada saat itu yaitu 'perintah raja adalah perintah Tuhan'.

Dengan slogan ini, raja memerintah membabi buta, menzalimi rakyatnya dengan mengambil upeti yang tinggi, tapi rakyat tidak diurus dengan baik. Dan juga dalam ajaran Kristen saat itu agar dosa-dosa diampuni, ada yang namanya 'surat pengampunan dosa'. Dan surat ini harus dibeli melalui raja, yang harganya sangat mahal. Serta banyak lagi pertentangan yang terjadi antara Gereja, raja dan cendikiawan serta filosof. Sehingga, membuat para cendikiawan dan filosof melakukan pemberontakan kepada pihak gereja dan raja.

Para cendikiawan dan filosof tidak lagi mau aturan agama (Kristen) mengatur kehidupan bernegara mereka. Bahkan, sebagian dari mereka tidak mau lagi beragama. Mereka menganggap bahwa agama (Kristen) adalah racun dalam kehidupan dan merupakan candu yang sangat berbahaya. Sehingga mereka dikenal dengan sebutan atheisme. Sementara pihak Gereja tetap menginginkan agar agama (Kristen) tetap dijalankan. 

Untuk mengakhiri konflik tersebut diadakanlah musyawarah dari kedua belah pihak. Sehingga, dari musyawarah ini didapat solusi 'jalan tengah'. Yaitu boleh tetap beragama, tapi agama tidak boleh ikut mengatur negara dan masyarakat. Dan dari sejarah ini juga lahir agama baru bagi Kristen yaitu Kristen Protestan yaitu orang-orang Kristen yang memprotes ajaran Kristen Katholik yang ortodoks (fanatik) yang dianut oleh Gereja pada saat itu.

Sebagaimana slogan dari sistem demokrasi yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, tentu tidak akan bisa meminta semua pendapat rakyat dalam menentukan kebijakan. Sehingga, untuk menjalankan pemerintahan demokrasi tersebut, dibentuklah sebuah parlemen yang akan diisi oleh orang-orang yang telah terpilih dari masing-masing perwakilan rakyat yang disebut sebagai wakil rakyat yang akan menjalankan aspirasi rakyat. 

Sistem pemerintahan parlementer inilah yang diikuti oleh seluruh negeri termasuk di negeri ini. Dan musyawarah yang dilakukan didalamnya, sebagaimana sejarah dari lahirnya demokrasi adalah musyawarah yang menghasilkan jalan tengah atau kompromi antara hak dan batil. Dari sejarah inilah lahir yang namanya sekulerisme, yaitu sebuah paham yang meyakini wajibnya pemisahan agama dari kehidupan.

Sudah jelas demokrasi bukan berasal dari Islam dan tidak ada kesamaannya sama sekali dengan Islam. Jadi untuk apa lagi mempertahankan demokrasi, apalagi memperjuangkan demokrasi? Jika belum paham juga demokrasi bukan dari Islam dan menganggap demokrasi sesuai dengan Islam, mengapa tidak terapkan Islam saja bukan demokrasi? Wallahu a'lam bishshowab

Oleh: Fadhilah Fitri, S.Pd.I.
Analis Mutiara Umat Institute
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments