TintaSiyasi.com -- Gejolak ekonomi di negeri Paman Sam membuat banyak negara mulai mempertimbangkan untuk tidak terlalu banyak menggantungkan likuiditasnya pada dolar AS. Diperkirakan Amerika Serikat pada 1 Juni 2023 mendatang akan dilanda krisis perbankan akibat adanya potensi gagal bayar.
Menanggapi hal ini, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional atau IMF, Kritalina Georgieva memprediksi kemungkinan pengganti dolar AS sebagai mata uang cadangan, antara lain Euro, poundsterling Inggris, yen Jepang, dan Yuan Cina.
Indonesia sendiri telah mengurangi ketergantungan akan dolar sejak tahun 2018 melalui LCS (Local Currency Settlement). Bank Indonesia menggencarkan penggunaan mata uang lokal melalui LCS untuk menyelesaikan transaksi perdagangan bilateral antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara. (CNBC Indonesia, 6/5/2023)
Carsten Menke, Head of Next Generation Research di Julis Baer menyatakan bahwa pada tahun lalu, bank sentral di berbagai negara telah banyak memborong emas agar cadangan devisa mereka lebih terdiversifikasi dan tidak lagi bergantung dengan dolar AS. (CNBC Indonesia, 10/5/2023)
Lantas, apakah dedolarisasi dapat menyelesaikan persoalan ekonomi dunia dan memberi maslahat pada umat manusia? Apakah tren dedolarisasi ini dapat menyingkirkan status dolar AS sebagai mata uang cadangan devisa global?
Bahaya Dolar dan Hegemoni AS
Saat sistem Bretton Woods (1944) masih berlaku, nilai dolar masih dikaitkan dengan emas, misalnya uang $35 dolar AS dapat ditukar dengan 31 gram (1 ons emas). Kemudian sejak 18 Agustus 1971, AS di bawah Presiden Richard Nixon mulai mencetak dolar tanpa menggunakan jaminan emas lagi karena faktor ekonomi, politik, dan militer. Alhasil, dolar Amerika Serikat beralih ke sistem nilai tukar yang mengambang bebas, dan nilai mata uangnya ditentukan oleh pasar internasional.
Akibatnya, Amerika sebagai negara pencetak dolar bisa dengan mudahnya membeli barang bahkan SDA dari negara-negara berkembang menggunakan mata uang dolar yang mereka miliki. Rakadz, Ekonom Amerika sekaligus intelijen ekonomi Amerika menyatakan dalam artikelnya, “Pada saat terjadi depresi ekonomi, Bank Federal selalu mencetak uang dengan sembarangan, bahkan triliunan dolar AS”.
Sejak saat itu, dolar AS digunakan secara luas dalam perdagangan internasional dan menjadi salah satu mata uang yang mendominasi dunia. Saat ini, dolar AS masih menjadi mata uang cadangan utama bagi beberapa negara karena masih digunakan dalam berbagai transaksi internasional. Selain itu, masih banyak lembaga international dan negara-negara lain yang menyimpan cadangan mata uangnya dalam bentuk dolar AS.
Mereka juga menggunakan dolar sebagai mata uang yang diterima dalam transaksi ekspor-impor, serta digunakan dalam komoditas perdagangan, seperti minyak mentah. Hal inilah yang menjadikan Amerika Serikat memiliki pengaruh besar terhadap politik dan ekonomi dunia karena permintaan terjadi terus-menerus terhadap dolar.
Alhasil, dolar menjadi alat mainan AS dengan memanfaatkan dominasinya sebagai alat kekuasaan politik dan ekonomi. AS bahkan memberlakukan sanksi ekonomi terhadap negara atau individu tertentu dengan membatasi akses mereka ke sistem keuangan internasional yang didominasi oleh dolar.
Melalui itu, AS mampu memiliki kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan dengan mempermainkan ekonomi dan moneter suatu negara. Bahkan, pengaruh dolar menjadi alat isap darah ekonomi bagi negara-negara lemah oleh kekuatan negara adidaya AS dan sekutunya.
Dedolarisasi, Solusi Tuntas Ekonomi Dunia?
Sebenarnya, dedolarisasi telah ada sejak tahun 2009. Modern Monetary Theory (MMT) telah lama berupaya untuk melepas ketergantungan terhadap dolar karena dunia benar-benar menjadi tidak baik sejak bergantung pada dolar.
Selama 10 tahun terakhir, perkembangan tren dedolarisasi sebagai alat transaksi perdagangan internasional dan cadangan devisa negara makin meningkat. Muncul pula kesepakatan dedolarisasi di antara banyak negara, seperti Brazil, India, Cina, Rusia, dan Afrika Selatan.
Cina sendiri telah menjalin kesepakatan yang sama dengan 41 negara. Jika banyak negara-negara lain yang tidak menggunakannya dalam perdagangan internasioanal, maka dolar diperkirakan akan mengalami penurunan hingga 75% sebagai cadangan devisa.
Fenomena dedolarisasi juga didorong oleh perubahan dinamika ekonomi global saat AS memutuskan untuk membekukan transaksi SWIFT Rusia. Hal ini membuat negara-negara lain merasa khawatir dengan cadangan devisa negara mereka. Sehingga diperkirakan akan semakin banyak negara yang meninggalkan dolar dan mencari alternatif pengganti mata uang yang lebih fluktuatif nilai kursnya dan berkeadilan.
Salah satu kandidatnya adalah yuan, karena hampir 50% lebih produk di dunia diproduksi di Cina. Selain itu, Cina juga memiliki kekuatan militer yang didukung oleh Rusia sebagai negara adidaya yang sepadan dengan AS.
Walaupun dominasi dolar masih kuat untuk evaluasi total cadangan devisa dan dominasi transaksi perdagangan internasional, namun apabila tren dedolarisasi ini terus berlanjut maka ekonomi AS akan mengalami penurunan dan hegemoni politiknya mulai melemah secara global.
Sebenarnya melemahnya atau pergiliran dominasi mata uang negara-negara adidaya sudah biasa terjadi. Misalnya, ketika Belanda lemah secara politik dan ekonomi, sehingga dominasi mata uang gulden diganti dengan poundsterling Inggris. Kemudian mata uang Inggris diganti dengan dolar AS, saat kekuatan politiknya sudah mulai surut secara global. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan jika dolar akan digantikan dengan mata uang negara lain yang lebih kuat secara politik dan ekonomi.
Keunggulan Mata Uang Islam
Saat emas dan perak digunakan sebagai standar mata uang, maka tidak akan terjadi masalah-masalah moneter, inflasi, seperti fluktuasi nilai tukar, bahkan anjloknya daya beli. Hal ini diungkapkan oleh Profesor Roy Jastram dari Barkeley University AS, dalam bukunya “The Golden Constant”, bahwa harga emas terhadap beberapa komoditas dalam jangka waktu 400 tahun hingga 1976 adalah konstan dan stabil. Artinya, emas memiliki sifat tahan inflasi (Nurul Huda dkk., 2008: 104)
Masalah moneter muncul setelah dunia berpindah ke sistem uang kertas (fiat money) dan melepaskan diri dari standar emas dan perak. Pun inflasi bahkan resesi muncul setelah mata uang yang berlaku berdasarkan dekret pemerintah semata yang tidak ditopang oleh logam mulia.
Sebaliknya, emas dan perak memiliki banyak keunggulan karena memiliki nilai lindung yang lebih baik, dan tidak memerlukan otorisasi dari otoritas mana pun, serta memiliki kestabilan nilai kurs yang menjadikan perdagangan internasional lebih berkeadilan.
Misalnya, dinar dan dirham yang menjadi mata uang negara adidaya Khilafah. Dahulu, mata uang tersebut tidak hanya dijadikan sebagai alat transaksi perdagangan internasional, namun juga dikaitkan dengan amaliah hukum-hukum syariat, seperti sistem keuangan dan sistem ekonomi dalam Daulah Islam.
Dalam kitab al-Amwal, Syekh Abdul Qodim Zallum menjelaskan bahwa emas dan perak mempunyai manfaat berkenaan dengan aturan syariat Islam, semisal ketetapan hukum syarak tentang zakat, diyat, pertukaran barang-barang ribawi, dan lainnya. Untuk itu, mata uang Daulah Islam tidak akan menjadi alat isap negara-negara yang lemah seperti halnya kapitalisme, karena banyaknya ketentuan syariat yang mengatur penggunaan emas dan perak.
Solusi Hakiki Permasalahan Umat
Saat ekonomi dunia sedang menuju ambang kehancuran yang disebabkan oleh sistem kapitalisme, seharusnya penguasa negeri-negeri muslim kembali melirik menggunakan dinar dan dirham sebagai alat pembayaran pengganti dolar.
Namun dengan menjadikan dinar dan dirham sebagai mata uang saja masih belum dapat mewujudkan perubahan pada kondisi umat secara menyeluruh. Mengambil Islam sebagai solusi permasalahan umat namun hanya secara parsial pada satu aspek tetap tidak mampu menciptakan ekonomi yang kuat bagi negeri-negeri muslim.
Oleh karena itu, yang perlu dipahami adalah apa yang menjadi akar masalahnya, yakni peradaban kapitalisme itu sendiri. Artinya, ketika alat pembayaran telah tergantikan oleh dinar dan dirham yang ditopang oleh emas, sebenarnya hanya memberikan nilai inflasi zero. Namun, jika roda perekonomian masih berputar menggunakan sistem kapitalisme maka mustahil dapat memberikan hasil yang sempurna.
Penerapan ekonomi Islam yang sesuai syariat membutuhkan penerapan sistem Islam secara total, termasuk pada aspek-aspek lainnya. Karena setiap aspek satu dengan aspek lainnya saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Misalnya, dengan menerapkan dinar sebagai alat pembayaran maka harus ditopang dengan sistem ekonomi Islam, termasuk sistem hukum, sosial, politik, pendidikan, dan seluruh aspek lainnya yang juga sesuai syariat.
Contoh lainnya adalah dengan menyingkirkan segala bentuk ribawi, baik dalam bentuk bunga bank maupun transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur ribawi. Sehingga segala bentuk perdagangan dan sektor-sektor ekonomi harus bersifat riil dengan menghapus seluruh sektor non riil. Sebab dalam kapitalisme, 95% uang yang beredar justru didominasi oleh sektor nonriil.
Di sisi lain negara wajib mandiri secara ekonomi dan politik agar memiliki cadangan devisa yang cukup untuk dikonversi menjadi dinar dan dirham, dengan memperbanyak ekspor dibandingkan impor.
Untuk itu, solusi Islam harus diambil total, mulai dari akar hingga daun dengan merombak tatanan kehidupan secara revolusioner. Hal ini hanya bisa terwujud jika syariat Islam diterapkan secara kaffah, yaitu dengan menegakkan Daulah Khilafah.
Seharusnya sebagai muslim, kita meyakini bahwa menegakkan syariat Allah Swt. dalam setiap lini kehidupan dapat mendatangkan berkah dari langit dan bumi. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-A’raf ayat 96:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat) Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.“
Bukti keberhasilan penerapan sistem Islam (Khilafah Islamiyah) telah terbukti dan tercatat dengan tinta emas, baik secara empiris maupun historis. Khilafah dengan sistem politiknya mampu mengatasi beragam krisis yang terjadi selama 1.400 tahun, yang selama ini tidak mampu diatasi oleh penerapan sistem sekuler. Wallahu a’alam bishawwab.[]
Oleh: Wa Ode Mila Amartiar
(Aktivis Muslimah)
0 Comments