Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Yakin, Milenial Farmers Solusi Ketahanan Pangan?


TintaSiyasi.com -- Pasca pandemi Covid-19 melanda dunia pada tahun 2019, tatanan dunia telah berubah semakin memperlihatkan kerapuhan sistem pangan yang dibangun oleh kapitalisme, yaitu munculnya bencana kelaparan, kelangkaan pangan dan ketimpangan distribusi pangan. Setelah pandemi berlalu dunia saat ini belum mampu memberikan jalan keluar yang fundamental, hal bisa dilihat dari munculnya masalah resesi global. Tentu efek tersebut memberikan dampak global, mendorong setiap bangsa ingin menjadi lebih mandiri dalam mempersiapkan ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi. Untuk mampu menjawab tantangan tersebut wilayah Indonesia tepat di Jawa Barat telah memberikan fokus arah pembangunan ekonominya melalui ketahanan pangan, yaitu dengan memperluas lahan persawahan.

Seperti yang dikutip dari Unpad.ac.id (17/11/2023), pada kesempatan yang sama, hal tersebut ditegaskan oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang menjadi pembicara pada Seminar "INDEF: Outlook Ekonomi Indonesia 2023" yang digelar oleh Institus Pembangunan Jawa Barat (Injabar) Universitas Padjadjaran, Ridwan Kamil menegaskan dalam mendukung penguatan di sektor lain sekaligus mengakomodasi tren dunia yang terjadi saat ini, Pemprov Jabar menyiapkan tujuh arah ekonomi baru. Ridwan Kamil menjelaskan, arah pertama adalah Jabar harus pusat investasi terbaik se-ASEAN. Jabar menurutnya diminta proaktif mendorong negara mitra agar mau berinvestasi di Indonesia, khususnya di Jabar. Dan yang kedua adalah membangun ketahanan pangan. Dalam hal ini, Ridwan Kamil mendorong peran generasi muda untuk membangun ketahanan pangan melalui program Millenial Farmers.

Apa yang disampaikan oleh Ridwan Kamil patut dicermati, bahwa fakta saat ini, profesi petani makin ditinggalkan oleh generasi muda dikarenakan hasil yang didapatkan dari bertani dianggap tidak menjadikan, bertani dianggap bukan suatu pekerjaan yang mampu menaikan taraf ekonomi. Sebab, pada kenyataannya kebijakan pemerintah tidak pernah berpihak kepada petani seperti harga beras yang diperlakukan oleh pemerintah melalui program pangan murah dirasakan merugikan petani. Petani tidak diberikan akses yang lebih sebagaimana pengusaha sawit mengelola lahan hutan dan perkebunan sawit sudah saatnya petani diperhatikan dengan memperhatikan harga pangan yang bisa meningkatkan kesejahteraan petani. Berdasarkan riset Lembaga Nielsen Company to kata Dr Agus Nurdin, selaku managing director menuturkan pertumbuhan pertanian Indonesia terus mengalami penurunan dibanding pertumbuhan GDP (Produk Domestik Bruto). Penurunan pertumbuhan pertanian tersebut disebabkan pemerintah dari setiap periode tidak memiliki komitmen kuat pada sektor pertanian, " Nampaknya kita tidak punya komitmen, kepemilikan lahan untuk petani perlu dikelola dengan baik," katanya. Hal ini dikutip dari kesimpulan yang memgemuka dalam seminar yang bertajuk "Teknologi Pertanian Menyongsong Industri 4,0, yang diwartakan Ugm.ac.id (15/08/2018).

Agus kembali menegaskan bahwa penduduk Indonesia saat ini mencapai 250 juta sehingga kebutuhan pangan terus meningkat. Iya menyebut setiap tahun diperlakukan minimal 33 juta ton beras di 16 juta ton jagung da. 2,2 juta ton Kedelai dengan 75%, persennya masih impor di 2,8 juta ton daging sapi untuk memenuhi pangan tersebut. Soal pasokan pangan beras menurutnya ketergantungan dengan impor semakin besar karena produksi nasional tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumen. Sementara itu, profesi petani makin ditinggalkan karena dianggap tidak menguntungkan. Menurutnya apabila masyarakat masih mengharapkan harga pangan murah saja dengan mematikan profesi petani. "Jika kita mengharapkan pangan murah sama saja dengan mematikan satu hingga dua petani," kata alumnus FTP UGM ini. Ia mengusulkan agar setiap periode kepemerintahan tidak lagi mengintervensi pamain beras meski dengan alasa mengatur harga ekonomis terlalu mencekik petani. Berbeda dengan perusahaan sawit yang bebas menentukan harga tanpa ada intervensi pemerintah di " Apakah harga sawit diintervensi pemerintah? Kan tidak, jika tetap diintervensi maka tidak akan ada yang mau (jadi petani)," katanya.


Milenial Farmers Solusi?

Atas dasar pemaparan di atas, dapat dipastikan program Milenial Farmers bukanlah solusi yang mendasar dari permasalah ketahanan paham. Jauh api dari panggang, karena tidak menyentuh solusi yang fundamental. Lemahnya ketahanan pangan berakar dari tidak adanya keseriusan pemerintah dalam hal mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri, begitu pun para petani di negeri ini sungguh sangat miris keadaannya, wajar apabila bertani saat ini makin ditinggalkan, karena kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada petani.

Di sisi lain menurut ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Hendry Saragih mengatakan, kebijakan pemerintah terkait kedaulatan dan peningkatan kemandirian pangan saat ini justru banyak yang tidak berpihak kepada petani kecil (Kompas.com, 24/9/2016). Menurut Hendry di seluruh kebijakan yang dibuat tidak berakar pada masalah mendasar petani Indonesia yang sebagian besar tidak memiliki tanah produksi. Pemerintah kita lebih memberikan akses kepada pengusaha properti dan sawit. Mekanisme upah pada buruh petani tidak ada payung hukumnya di sehingga banyak petani yang tidak mempunyai lahan diupah minim.

Kebijakan impor beras dari negara lain tidak luput dari fakta, bahwa pemerintah makin memperlihatkan boroknya sistem pangan bangsa ini. Seharusnya negara stop impor beras, dengan memaksimalkan sumber daya alam. Apabila negara memiliki keseriusan menuntaskan masalah pangan seharusnya memberikan tanah produktif untuk diolah, memberikan riset inovatif, memudahkan swasembada pupuk serta menstabilkan harga, tentu Indonesia tidak membutuhkan impor beras. Mengingat negara kita subur dan kaya sumber daya alam. Harusnya kita menjadi bangsa yang mandiri dengan ketahanan pangan yang berlimpah. Namun faktanya ironi.


Pangan Aman dengan Syariat

Pangan adalah kebutuhan yang urgen, menyangkut hajat hidup orang banyak. Sudah selayaknya negara memberikan perhatian yang lebih. Namun apa daya sistem yang yang diemban bangsa ini merupakan warisan penjajah, sehingga mempengaruhi kebijakan yang lebih menguntung pemodal dari pada rakyat. Seperti negara lebih mementingkan pengelolaan lahan tanah diberikan kepada swasta. 

Dalam Islam kita mengenal sistem kepemilikan tanah, tanah merupakan aset negara yang tidak boleh diperjualbelikan apalagi diserahkan kepada swasta. Dalam pandangan Islam haram hukum menyerahkan aset sumber daya alam kepada swasta. Lantas, bagaimana negara mengatur kepemilikan tanah? 

Dalam Islam apabila tanah mengandung kepentingan umat maka pengelolaannya diserahkan kepada negara, untuk kesejahteraan umatnya, negara bisa mengambil kebijakan mengambil lahan kosong untuk dijadikan lahan produktif yang menunjang pangan dalam negara, atau memberikan tanah secara percuma kepada rakyatnya untuk memenuhi kebutuhannya. 

Industri pangan diarahkan semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya, bukan dijadikan lahan bisnis seperti pada kapitalisme. Negara pun akan menutup ketergantung impor pangan, karena faktanya negara Islam adalah negara mandiri berdaulat. Dalam hal distribusi pangan Islam tidak menitikberatkan pada ekonomi ala kapitalis, tapi pendistribusian barang dan dagang tepat sasaran dengan mengkontrol ketersediaan barang dan harga tetap stabil karena distandarkan pada emas, sehingga tidak memicu inflasi. 

Negara pun melindungi hak para petani dengan mendapatkan pupuk, benih, pelatihan dan pengembangan riset berbasis teknologi. Tak lupa sarana penunjang distribusi transportasi serta infrastruktur yang memanadai akan menjadi kesatuan yang saling diperhatikan oleh negara. Sehingga negara Islam adalah negara kuat dengan pangannya. Wallahu a'lam. []


Oleh: Anastasia, S.Pd.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments