Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

RUU Perampasan Aset Mampukah Mencegah Korupsi?


TintaSiyasi.com -- RUU Perampasan Aset kembali menjadi isu panas ketika Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Mahmodin (MD) meminta permohonan khusus kepada Komisi III DPR saat membahas transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) senilai Rp 349 triliun.
 
 Permohonan khusus itu adalah terkait persetujuan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Hal ini Mahfud sampaikan langsung kepada Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wiryanto atau Bambang Pacul.
 
 Mewakili pihaknya, Bambang Pacul mengatakan, pengesahan dua RUU tersebut sulit dilakukan. Sebab menurutnya, para anggota di Komisi III DPR akan siap jika sudah mendapat perintah dari ketua umum (ketum) partai politik (parpol) masing-masing. (kompas.com, 9/04/2023)
 
Secara terminologi perampasan aset itu dimaksudkan untuk aset-aset hasil kejahatan. Sebab, ada upaya-upaya paksa yaitu perampasan. Selama ini, aset yang disita dan dirampas oleh penegak hukum pada akhirnya harus melalui putusan pengadilan. Jadi, aset itu berpindah tangan kalau ada lembaga, peristiwa hukum atau putusan pengadilan, baru bisa disita atau bisa dilelang.
 
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana ditujukan supaya proses-proses pengembalian kerugian negara bisa di maksimalisasi lebih baik dan lebih cepat. RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak hanya terkait dengan tindak pidana korupsi saja, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk mengembalikan kerugian negara dalam tindak kriminal lainnya. Tindak kriminal yang dimaksud, yaitu tindak pidana narkotika, pajak, bea cukai, lingkungan hidup, illegal logging, hingga terorisme. 
 
RUU Perampasan Aset atau (asset recovery) merupakan salah satu aturan yang harus ada ketika suatu negara sudah menandatangani Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Melawan Korupsi. Dimana Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Namun, hingga kini, Indonesia belum juga memiliki aturan hukum soal perampasan aset.
 
Sekarang ini dapat kita lihat jika budaya korupsi makin menggila di lembaga pemerintahan. Sebagai contoh, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencekal 10 tersangka dalam penyidikan kasus dugaan korupsi tunjangan kinerja (tukin) pegawai di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada tahun anggaran 2020—2022 ke luar negeri. Tidak lama ini, KPK menetapkan Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah Ben Brahim S Bahat dan anggota DPR Fraksi NasDem Ary Egahni, yang tidak lain adalah pasangan suami istri, sebagai tersangka terkait dugaan korupsi berupa pemotongan anggaran seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara disertai dengan penerimaan suap di lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah dengan jumlah uang yang diterima tersangka sebesar Rp8,7 miliar.
 
Melihat korupsi telah mengakar dan kuatnya sekulerisme merasuki negara ini, muncul pertanyaan apakah penegsahan RUU perampasan aset mampu mencegah korupsi? Ada banyak celah bagi tikus berdasi meringankan hukumannya sebab sistem hukum saat ini tidak tegas dan pengawasan negara terhadap pejabat sangat lemah. 
 
Terhambatnya pembahasan RUU Perampasan Aset salah satunya disebabkan karena RUU tersebut bisa menjadi bomerang bagi kepentingan individu dan kelompok mereka sendiri, yaitu pemerintah dan DPR. Dapat dilihat bahwa pemimpin di sistem ini jauh dari sifat amanah, berkepribadian islam, dan teladan bagi umat. Sistem sekuler kapitalisme manjauhkan peran agama dari kehidupan, sehingga terciptalah pemimpin yang liberalias, hedonis, dan kapitalis.
 
Pemberentasan korupsi dalam sistem demokrasi-kapitalis adalah ide utopis. Demokrasi dan korupsi ibarat sebuah mata uang. Keduanya adalah dua sisi yang saling menopang. Demokrasi membutuhkan dana yang begitu besar. Demokrasi yang saat ini ditopang oleh oligarki tentu tidak dimonopoli oleh satu pemodal. Walhasil, korupsi makin marak di berbagai departemen dan lini.
 
Berebeda dengan islam. Islam memiliki berbagi mekanisme yang efektif untuk mencegah korupsi. Mulai dari penanaman akidah yang kuat dan sistem sanksi yang tegas. Dalam Islam, sebelum para pemangku kebijakan berkuasa, mereka telah diseleksi. Dari orang-orang yang terpilih, tidak hanya memiliki akidah yang kuat, melainkan juga pemahaman syariat yang mumpuni. Mereka juga profesional dan memiliki etos kerja yang baik. Walhasil, ketika menjalankan tugasnya, mereka akan berusaha melayani umat dengan sebaik-baiknya, bukan berpikir memanfaatkan jabatan untuk korupsi.
 
Mereka juga akan difasilitasi dengan gaji. Kebutuhan pokoknya akan dipenuhi. Selain itu, negara akan mengaudit harta kekayaan pejabat secara berkala. Hal ini dilakukan sebagai bentuk pengontrolan dan pengawasan negara agar mereka tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk meraup pundi-pundi uang ke kantong pribadinya. Khalifah Umar bin Khaththab ra. selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat.
 
Kalaupun kemudian terjadi korupsi, pelakunya akan mendapatkan sanksi yang tegas. Sistem sanksi yang tegas memiliki dua fungsi, yaitu sebagai jawabir (penebus dosa) dan zawajir (pencegah dan berefek jera). Sebagai jawabir (penebus) dikarenakan uqubat dapat menebus sanksi akhirat. Sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara ketika di dunia.
Sementara zawajir, yaitu mencegah manusia berbuat jahat karena hukumannya mengandung efek jera. Para pelaku dan masyarakat yang punya niatan untuk korupsi akan berpikir seribu kali untuk mengulangi perbuatan yang sama. Untuk kasus korupsi, dikenai sanksi takzir, yakni khalifah yang berwenang menetapkannya. Sanksi takzir bisa berupa penjara, pengasingan, hingga hukuman mati.
 
Satu-satunya cara memberantas korupsi dengan tuntas adalah dengan mengganti sistem demokrasi dengan sistem islam yang merupakan sistem yang sesuai fitrah manusia dan dapat menutup peluang korupsi. Sistem Islam akan mampu mencegah dari awal keinginan untuk korupsi dan mampu mengantisipasi terjadinya korupsi. Dengan penerapan hukum Islam, korupsi dapat dicegah dan ditindak secara efektif. Selain itu, dengan menjalankan Islam secara kaffah di berbagai aspek kehidupan, akan tercipta individu-individu bertakwa yang memiliki rasa takut untuk bermaksiat karena mereka selalu merasa diawasi oleh Allah SWT.  Wallahua’lam bishawab. []


Oleh: Enggar Rahmadani
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments