Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Membuka Tirai di Balik Hiruk Pikuk KRL


TintaSiyasi.com -- Pro kontra rencana impor Kereta Rel Listrik (KRL) dari Jepang masih terus terjadi di kursi pemerintahan dan DPR. Faktanya polemik impor KRL bukan baru sudah tejadi selama kurang lebih 3 bulan ini. Pada kelas bangku pemerintahan yang berpolemik dapat dipilihakam antara pro dan kontra impor KRL bukan baru (Kompas.com, 11 April 2023).

Dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, KAI Commuter Indonesia perlu menambah adanya rangkaian KRL. Hal ini dilakukan karena pada tahun ini, ada 10 rangkaian KRL Jabodetabek yang harus dipensiunkan. Hingga 2024, setidaknya akan ada 16 total rangkaian KRL pensiun (Kompasiana.com, 4 April 2023).

Rencana impor KRL bekas Jepang tersebut dilakukan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), anak usaha PT Kereta Api Indonesia (Persero). Rencana yang sedari awal telah menuai pro kontra, kini tidak diizinkan pemerintah berdasarkan hasil review Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) (TribunPekanBaru.com, 6 April 2023).

Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan, impor KRL bukan baru (bekas) ditolak karena alasannya tidak memenuhi barang impor sesuai Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 29 Tahun 2021 (Kompas.com, 11 April 2023).

Tersedianya transportasi publik dan serangkaian infrastrukturnya yang memadai dan berkualitas masih menjadi momok yang terus berkelanjutan di negeri ini. Trasnportasi publik yang tersedia masih kurang memadai. Jika pun ada, selalu dibarengi dengan tarif yang cukup mahal namun kualitas pas-pasan. Kondisi tersebut menjadikan masyarakat beralih hati menggunakan kendaraan pribadi yang ujungnya justru memperparah kemacetan lalu lintas. 

Cacatnya pengadaan transportasi publik negeri ini, tak lepas dari keberadaan kapitalisme yang dijadikan sebagai konsep tata kelola negara. Efek sampingnya, negara menyerahkan urusan publik pada pihak swasta transportasi publik. Infrastruktur yang berstatus sebagai fasilitas umum berubah label menjadi jasa komersil. Rakyat harus membayar fasilitas transportasi publik dengan harga yang mahal. 

Kapitalisme menghantarkan pada posisi negara yang harus memastikan bahwa trasnportasi publik dibangun di atas utang dan investasi. Hal tersebut sejatinya hanya akan menjerat dan menggadaikan negeri. Hubungan yang berkolerasi negatif kepada rakyat. Menguntungkan para pemilik modal, namun merugikan rakyat. Posisi negara dalam kapitalisme sebagai regulator, inilah yang menjadikan sebagian besar kebijakan negara disetir oleh korporasi demi meraup keuntungan. Pengadaan transportasi publik baik secara impor atau produksi sendiri tidak lagi didasarkan pada kepentingan rakyat akan tetapi kepentingan oligarki. 

Kondisi tersebut tentu berbading terbalik dengan kondisi ketika diterapkan Islam kaffah. Khalifah berperan sebagai raain dan junnah bagi rakyat yaitu murni sebagai pengurus dan pelindung rakyat. Peran tersebut ditunjang penuh penerapan aturan Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Islam memandang transportasi sebagai urat nadi kehidupan dari kebutuhuan dasar manusia. Semua yang termasuk fasilitas publik dilarang untuk dikomersilkan. Meski pembangunan infrastruktur mahal dan rumit, negara tidak akan menyerahkan pengelolaan pada asing. 

Dalam sistem Islam, negara berwenang penuh dan bertanggung jawab langsung memenuhi hajat publik khususnya pemenuhan hajat transportasi publik yang aman, nyaman, murah dan tepat waktu serta memiliki fasilitas penunjang yang memadai. Pelayanan transportasi publik disediakan merata, baik di pusat maupun di daerah, bukan berdasarkan kepentingan yang lain. Negara akan dijauhkan dari intervensi kepentingan lain di luar kemaslahatan umat dan kedaulatan negara. Dengan aturan tentang kepemilikan dalam sistem ekonomi Islam, negara akan memiliki kecukupan modal untuk menyediakan segala kebutuhan vital rakyatnya. Termasuk urusan transportasi disediakan dengan pemenuhan yang maksimal.

Dalam membangun moda transportasi, biaya operasional yang digunakan merupakan anggaran yang bersifat mutlak. Yang mana artinya, ada atau tidak adanya kekayaan negara untuk pembiayaan penyelenggaraan transportasi murah atau gratis dan berkualiatas bagi semua orang, pembangunan ini harus tetap terlaksana. Dalam kondisi tidak ada dana, negara diperbolehkan memungut pajak dari rakyat yang kaya supaya pembangunan layanan transportasi dapat tetap berjalan. 

Sejarah sebagai saksi bisu bahwa khilafah telah membangun infrastruktur publik dengan standar teknologi mutakhir. Dimasa sekarang, pembangunan transportasi harusnya memperhatikan teknologi navigasi, telekomunikasi, fisik jalan hingga alat transportasinya sendiri. Oleh karena ituu, hanya dalam khilafah Islam masyarakat dapat menikmati transportasi publik dengan murah, nyaman dan aman. 

Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Nahida Ilma
(Mahasiswa)
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments