Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Publik Marah karena UU Cipta Kerja Sah?

TintaSiyasi.com -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)  resmi mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Penetapan dilakukan dalam rapat paripurna ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2022-2023, Selasa, 23-3-2023.

Merespons keputusan tersebut, massa dari berbagai elemen buruh, mahasiswa, masyarakat sipil dan pengemudi ojek online melakukan aksi di depan Gedung DPR MPR RI, Jakarta, Selasa (28/2/2023).

Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengekspresikan kemarahannya dengan  mengunggah meme animasi berupa Ketua DPR RI Puan Maharani berbadan tikus mencuat dari Gedung DPR/MPR RI, sebagai bentuk kritik atas langkah Dewan menyetujui Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang. Ketua BEM UI Melki Sedek Huang menyebut bahwa tindakan ini berpotensi menimbulkan kriminalisasi.

"Kami menganggap gedung DPR itu sudah bukan lagi rumah rakyat, melainkan itu sudah menjadi rumahnya para tikus yang suka merampas hak-hak masyarakat. (kompas.com, 23/03/023)

Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia Nining Elitos menilai pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo semakin mengabaikan aspek partisipasi publik dan juga ketertundukan pemerintah terhadap hukum.

Kritik dan kemarahan publik terkait kebijakan pemerintah bukan kali ini saja terjadi. Kritik adalah hal lumrah dalam platform politik demokrasi yang mengeklaim mengakomodasi aspirasi. Bahkan terlihat aneh jika kritik malah dibungkam. Namun, di tengah kewajaran adanya kritik, seakan kritik dianggap hanya angin lalu. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Contohnya dalam isu UU Cipta Kerja yang baru saja disahkan di Senayan. Meski dihujani kritik pedas, pemerintah tetap gigih mengesahkannya. 

Jika kita cermati perjalanan UU Cipta Kerja ini, jelas bukan karena kegentingan yang memaksa, tetapi  ada ‘kepentingan yang memaksa’ penguasa untuk ugal-ugalan mengesahkan UU Cipta Kerja. Terlihat sekali rezim pro-oligarki makin beringas dan abai terhadap aspirasi rakyat. Rezim seolah tutup telinga. Suara-suara kritis itu tak akan dibiarkan nyaring. Diredam dan bahkan akan dibungkam melalui berbagai cara.

Waktunya Sadar Sistem

Sepanjang perjalanan demokrasi, roda pemerintahan makin berputar di luar harapan. Demokrasi yang konon berpegang pada nilai-nilai ideal, justru terperangkap dalam labirin kekuasaan oligarki tamak. Ditengarai dari korupsinya marak, perilaku dan kebijakan inkonstitusional banyak, obral aset negara jadi budaya, hobi mengerek pajak, dan berbagai kebijakan yang memusingkan rakyat.

Di sisi lain, ketika rakyat menyampaikan kritikan, seakan diabaikan. Dari sini semestinya kita sadar, sistem ini tidak bekerja untuk rakyat, tetapi untuk kaum korporat dan oligarki tamak yang bersimbiosis dengan rezim. Berbagai produk UU yang lahir dari mulut mereka membawa racun bagi rakyatnya sendiri. Realitas ini bukanlah dosa person semata, melainkan dosa sistem yang menaunginya. 

Rahim politik demokrasi melahirkan politisi yang berparadigma kapitalis sekuler liberal. Mereka hanya mampu mentranslet hubungan kekayaan SDA negara dalam bahasa cuan, yakni investasi. Tak heran, UU semacam Cipta Kerja akan dikejar tayang untuk memuluskan tindak eksploitasi SDM dan SDA negeri ini sambil melanggar konstitusi dasar, yakni UUD 1945.

Dalam kamus rezim, investasi adalah ‘jalan juang’ bagi peningkatan ekonomi negara, selain menggenjot pajak dari rakyat. Karenanya, hambatan terhadap hadirnya investasi asing, harus dicegah dengan regulasi semacam UU Cipta Kerja. Wajar pula, mereka yang terpilih dari suara rakyat, justru mengabaikan suara rakyat ketika sedang berkuasa. Hal ini bisa dimengerti karena jalan menuju kursi kuasa sangat mahal harganya, Dan ini  bisa dan hanya bisa dibeli melalui dana sponsor politik. Itulah yang kita namai kelompok/kaum pemodal alias kapitalis. Saham mereka dalam politik akan dipanen melalui aneka kebijakan yang menyegarkan bagi kepentingan mereka utamanya kepentingan uang.

Butuh Alternatif

Kritik dan kemarahan publik atas kebijakan penguasa seyogiyanya diarahkan pada solusi sistemik. Sebab, jika bicara solusi tetapi masih berkutat dalam kerangka sistem yang sama ibarat keluar mulut harimau masuk mulut buaya. Kritik memang tetap patut kita apresiasi, sebab ia sebagai tanda bahwa masyarakat tidak mati suri. Dalam islam, kritik bisa dikatakan sebagai upaya mencegah kemungkaran melalui lisan.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak bisa, ubahlah dengan lisannya. Jika tidak bisa, ingkarilah dengan hatinya, dan itu merupakan selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 49].

Hari ini kita membutuhkan cara pandang baru tentang politik dan pemerintahan selain demokrasi kapitalis namun juga bukan sosialis komunis. Sejarah dunia pernah menulis tentang sebuah sistem, yakni Kekhalifahan Islam. Khilafah hadir sebagai sistem pemerintahan yang paling meminimalisir praktik-praktik penyimpangan dan paling besar jasa serta prestasi yang diwariskannya kepada dunia.

Namun, untuk mengenal dan memahami apa dan bagaimana itu khilafah, dibutuhkan ruang diskusi yang luas dan massif serta sikap open mind dari semua kalangan, terutama kalangan politisi. Apalagi di dalam iklim kebebasan berpendapat seperti hari ini, gagasan tentang sistem alternatif seperti khilafah sangat layak untuk diperbincangkan, bukan malah dibungkam dan  dikriminalisasi.

Di tengah kebuntuan solusi atas berbagai persoalan negeri yang makin tak karuan, cobalah untuk open mind, duduk bersama mendiskusikan solusi bangsa dengan cara-cara ilmiah dan berkualitas. Saatnya mengubah cara pandang kita agar lebih cerdas memahami persoalan dan menghadirkan solusinya agar sejalan dengan aspirasi masyarakat. Mencerdaskan masyarakat salah satunya adalah dengan diskusi-diskusi ilmiah. Dari masyarakat yang cerdas inilah akan lahir pemimpin politik yang cerdas pula. Sahabat Nabi,  Abu Bakar ash-Shiddiq r.a pernah mengatakan, "Yakinilah bahwa kecerdasan yang paling cerdas adalah takwa dan kedunguan yang paling dungu adalah gemar maksiat” (Hilyatul Auliya' 13/211).

Isu UU Cipta Kerja memuat pelajaran penting betapa manusia itu lemah dalam perkara pembuatan aturan. Untuk itu, Allah SWT. menurunkan seperangkat syariat kepada manusia untuk dilaksanakan. Syariat Allah  dijamin bebas kepentingan manusia. Dan pelaksanaan hukum Allah mensyaratkan ketakwaan sebagai landasan agar hukum-hukum itu berjalan dalam koridor yang benar. Takwa sendiri adalah buah dari keimanan. Oleh karenanya, perubahan yang kita butuhkan hari ini harus berangkat dari landasan keimanan, bukan yang lain. Wallahua’lam.

Oleh: Pipit Agustin
Aktivis Muslimah

Baca Juga

Post a Comment

0 Comments