Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Proyek IKN, Bebani APBN dan Rakyat?


TintaSiyasi.com -- Pembengkakan anggaran terjadi untuk kesekian kalinya dalam proyek pembangunan IKN. Anggaran pembangunan IKN sampai sekarang belum final, yang memungkinkan akan menguras APBN dalam jumlah besar. Padahal kas APBN adalah uang rakyat namun hasil pembangunan IKN tentu saja tidak banyak berdampak pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

Sebagaimana yang dilansir cnbcindonesia.com (21/3)2923), Direktorat Jenderal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkapkan bahwa anggaran Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara diperkirakan akan membengkak hingga sekitar Rp 30 triliun, dari anggaran awal Rp 23 triliun pada tahun ini.

Hal ini disebabkan oleh permintaan tambahan anggaran sebesar Rp 7 - Rp 8 triliun yang diusulkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Kementerian Perhubungan. "Ada tambahan-tambahan baru nih, misalnya kan Pak Presiden minta tanah untuk disiapkan untuk para investor. Nah, itu nanti perlu land development. Nanti PUPR datang lagi ke kita minta tambahan," papar Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatawarta. Pembangunan IKN dengan skema investasi bukanlah jalan yang tepat. Dalam sistem kapitalisme, investasi bukan sekadar permasalahan bisnis, melainkan telah menjelma menjadi alat penjajahan gaya baru. 

Dari mekanisme kerja sama yang pemerintah bangun, khususnya dalam pendanaan pembangunan IKN, terlihat bahwa sejak awal proyek ini minim pertimbangan dana. Wajar jika banyak pihak yang menyinyalir bahwa proyek IKN tidak lain adalah proyek oligarki. Tidak mandirinya pemerintah dalam membiaya proyek ini menjadi bukti lemahnya negara dalam tata kelola pembangunan.

Berkedok investasi, mudah bagi para pemilik modal mendikte pemerintah untuk melayani kepentingan bisnis mereka. Argumen bahwa jangka waktu sewa lahan di IKN mencapai 180 tahun hanyalah “pemanis” tidak seharusnya terlontar dari pejabat negara.

Ibu kota adalah pusat kekuasaan yang menunjukkan kedaulatan suatu negeri. Ibarat seller dalam aktivitas marketing, penguasa menempuh berbagai cara untuk menarik investor. Menunjukkan ekspresi bahagia dengan banyaknya investor yang berbondong-bondong terlibat dalam proyek IKN bukanlah sikap seorang negarawan.

Bagaimana bisa merasa bahagia dengan bablas masuknya investor, sedangkan aset-aset strategis negeri ini sedikit demi sedikit akan tergadai? Ini bukanlah berita bahagia. Negeri ini harusnya bersedih atas ketakmandirian pemerintah mengelola negeri sendiri. Investor yang tamak menanamkan investasi tidak akan memiliki pertimbangan lain selain keuntungan bisnis. Jika kelak negara tidak lagi tunduk pada kepentingan mereka, negeri yang sedang dalam jerat pebisnis global besar peluangnya akan tergadai. Seharusnya negeri ini belajar dari kasus negara lain yang kedaulatannya tergadai akibat jerat utang dan investasi.

Meskipun pemerintah mengatakan tidak akan membebani APBN, nyatanya publik ragu karena dalam skema pendanaan, APBN tetap menjadi salah satu sumbernya. Apalagi beberapa waktu sebelumnya, pemerintah juga berjanji tidak akan menggunakan dana APBN dalam pendanaan proyek kereta api cepat, tetapi akhirnya mengambil dana dari APBN.


Dampak Penggunaan APBN untuk Proyek IKN

Ada beberapa dampak yang bisa kita rangkum, di antaranya:

Pertama, jika hanya mengandalkan APBN, beban utang akan makin meningkat.

Kedua, kapasitas APBN dan ruang fiskalnya akan makin sempit. Ini mengingat pembangunan IKN adalah proyek jangka panjang sehingga dana yang cukup besar akan dipotong sepanjang tahun dari APBN.

Ketiga, pada 2023 mendatang, pemerintah RI—mau tidak mau—harus menekan defisit anggaran di bawah 3%. Dalam kondisi tekanan eksternal cukup kuat, seperti fluktuasi nilai tukar rupiah dan naiknya suku bunga, serta inflasi dalam negeri, sedangkan masih harus membangun IKN, pemerintah disinyalir tidak punya cukup ruang fiskal untuk mengatasi tekanan tersebut.

Keempat, dengan kondisi saat ini, pemerintah akan kesulitan mencari porsi pendanaan sebesar 40% dari KPBU. Apalagi dalam kondisi global yang tidak menentu akibat tingginya gejolak politik Rusia-Ukraina.

Patut diketahui, pemindahan IKN ini dilakukan saat utang negara meningkat, bahkan hingga 525% sejak 10 tahun terakhir! Sedangkan untuk pembayaran bunga utang pada 2021 saja sebesar Rp366 T.

Dengan demikian, pemindahan IKN sangat jauh panggang dari api dari pencapaian keadilan ekonomi. Terlebih yang namanya keadilan ekonomi dan kesejahteraan itu berkaitan dengan tata kelola, sistem dan konsep ekonomi. 


Pemindahan Ibu Kota Menurut Islam

Terkait pemindahan ibu kota, Islam memang tidak melarang. Bahkan, dalam sejarahnya, khilafah pernah memindahkan ibu kota negara sebanyak empat kali dengan alasan politik. Hanya saja, tidak ada satu pun dari proses pemindahan itu yang melibatkan campur tangan asing, baik dari sisi perencanaan dan pendanaan. Selain membangun infrastruktur, pemindahan ibu kota khilafah juga membangun kualitas sumber daya manusia.

Oleh karenanya, pemindahan ibu kota tidak akan meraih manfaat jika sumber daya manusianya tidak turut “dipindahkan” dari jahiliah ke kualitas islami. 

Membahas ibu kota bukan hanya berbicara mengenai tata kota, pembangunan infrastruktur pendukung, ataupun pelayanan negara yang baik. Lebih jauh lagi, ibu kota adalah simbol kekuatan negara.

Dalam Islam, rekam jejak kekuasaan Islam tecermin dari pembangunan ibu kota yang tidak hanya unggul dari negara lain, tetapi juga membuat bangga generasi selanjutnya. Fakta empirisnya terlihat dari peninggalan peradaban Islam di beberapa negara, seperti Spanyol, Turki, Irak, dll.


Untuk itu, Islam memandang pentingnya pembahasan biaya dalam pembangunan infrastruktur. Al-‘Allamah Syekh ‘Abdul al-Qadim Zallum, dalam kitab Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah menjelaskan bahwa ada tiga strategi yang bisa negara lakukan untuk membiayai proyek infrastruktur, yakni meminjam kepada negara asing (termasuk lembaga keuangan global), memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum (seperti minyak, gas, dan tambang), serta mengambil pajak dari rakyat.

Mengenai pinjaman dari negara asing atau lembaga keuangan global, strategi ini jelas keliru dan tidak dibenarkan syariat. Terlebih, ini merupakan jalan masuk penjajah untuk menguatkan hegemoni mereka.

Memproteksi kepemilikan umum, khalifah bisa menetapkan kilang minyak, gas, dan sumber tambang tertentu, seperti fosfat, emas, tembaga, dan sejenisnya. Pengeluarannya khusus untuk membiayai pembangunan infrastruktur. Strategi ini boleh Khalifah tempuh dan juga merupakan kebijakan tepat untuk memenuhi kebutuhan dana untuk pembangunan infrastruktur.

Adapun strategi menarik pajak, yaitu mengambil pajak dari kaum Muslim untuk membiayai infrastruktur, hanya boleh dilakukan ketika Baitul Mal tidak memiliki kas. Itu pun hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana vital, serta hanya diambil dari kaum Muslim yang laki-laki dan mampu, selain itu tidak boleh.

Islam sangat memperhatikan aspek kemandirian dan tidak menggantungkan pembiayaan pembangunan dari hasil pinjaman. Khilafah adalah negara mandiri dan terdepan sebagai implementasi hadis Rasulullah yang menyatakan Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam. 

Benar bahwa membangun ibu kota bukan sesuatu yang mudah dan butuh waktu yang tidak sebentar. Akan tetapi, ketika berbicara tentang negara, haruslah berbekal visi politik. Jika tidak berbekal visi, alih-alih menunjukkan skala pengaruh di kancah global, gagasan ini justru berpeluang mangkrak dalam eksekusi. Jika pun berjalan, sekadar akan menjadi ladang pesta para pemodal

Pemindahan IKN saat ini tidak urgen dan tidak tepat, mengandung banyak bahaya yang meliputi aspek ekonomi, pemerintahan, sosial, lingkungan, hingga internasional. Jika dikatakan untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan, hal ini sungguh jauh panggang dari api karena kesejahteraan juga berkaitan dengan sistem ekonomi dan distribusi. Dengan demikian, yang perlu dilakukan adalah perubahan sistem demokrasi oligarki menuju sistem baru, yaitu sistem Islam. Wallahu a'lam. []


Oleh: Nani, S.Pd.I.
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments