Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme Sulit Cetak Pejabat Bebas Korupsi

TintaSiyasi.com -- Akhir-akhir ini marak budaya Flexing atau pamer kekayaan di kalangan para pejabat. Hal ini memicu pihak berwenang melakukan penelusuran kekayaan harta para pejabat dan jika terbukti kekayaan yang dimiliki hasil dari korupsi atau pencucian uang maka akan di lakukan perampasan aset terkait hal tersebut.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Arsul Sani mengatakan, pihaknya menyetujui pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana. “Jadi kalau ditanya posisi saya atau (mewakili) Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maka kami setuju ada Undang-undang (UU) (Perampasan Aset Tindak Pidana) ini ke depannya,” ujarnya (Kompas.com, 1/4/2023).

Menurut Arsul, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana diperlukan agar proses-proses pengembalian kerugian negara bisa di maksimalisasi lebih baik dan lebih cepat. Pasalnya, kata dia, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana tidak hanya terkait dengan tindak pidana korupsi (tipikor) saja, tetapi bisa juga dimanfaatkan untuk mengembalikan kerugian negara dalam tindak kriminal lainnya. 

Kasus korupsi di kalangan para pejabat seperti tidak ada habisnya dan bernilai fantastis, bahkan pemerintah cenderung kewalahan mengatasinya. Sebab permainan yang dilakukan cenderung rapi dan terstruktur yang melibatkan banyak pihak terkait sehingga sulit terendus. 

Seakan menjadi budaya korupsi di sistem Demokrasi-Kapitalis. Sebab, dalam pemilu menelan banyak biaya sehingga jalan korupsi menjadi pilihan untuk mengembalikan modal yang telah di keluarkan untuk pesta Demokrasi. 

Dalam perbuatan apapun sejatinya dilakukan atas perintah akal atau pemahaman yang dimiliki. Begitupun dengan pelaku korupsi. Pelaku melakukan itu secara sadar dan hanya takut jika diketahui oleh manusia kemudian mendapat sanksi. Tidak ada kesadaran dan rasa takut akan dosa, tidak merasa bahwa Allah SWT maha melihat perbuatan kita. 

Sebab jika ada kesadaran antara perbuatan dan keberadaan Allah maka meskipun ada kesempatan bahkan tidak ada sanksi atas hal tersebut dia tidak akan melakukannya sebab itu adalah perbuatan melanggar syari'at. 

Kapitalisme yang berlandaskan materi atau manfaat sebagai tolak ukur dalam kehidupan berhasil mencetak pejabat yang hanya memikirkan kepentingan pribadi, kelompoknya, maupun anggota politik. Sangat sulit mencetak pemimpin yang amanah di tengah sistem yang buruk.

Jika ingin menuntaskan korupsi maka harus tercipta kondisi yang baik serta Sanksi yang tegas. Yakni dengan menerapkan Islam sebagai peraturan di tengah umat manusia. Sebab, sistem Islam tegak diatas akidah yang lurus dimana setiap perbuatan akan di pertanggung jawabkan di akhirat kelak begitupun dengan kepemimpinan. 

Dengan konsep tersebut seorang penguasa di dalam Islam akan senantiasa menjalankan amanah kepemimpinan berjalan diatas syariat Islam. Akan kecil kemungkinan mendzalimi rakyat sebab aturan Islam yang diterapkan berasal dari Allah SWT yang maha adil. Sanksi yang diterapkan selain sebagai penebus dosa juga sebagai pemberi efek jera bagi pelaku kezaliman. Bagi pelaku korupsi sanksi yang diberikan berupa ta'zir yang akan di terapkan berdasarkan tingkat kejahatannya dan yang paling berat adalah hukuman mati. 

Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Ma'idah ayat 50 :

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ ࣖ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?

Sudah saatnya kita kembali kepada hukum Allah SWT sebagai satu-satunya hukum yang terbaik bagi manusia yang bersumber dari Al-Quran dan As-sunnah untuk mengatur segala aspek kehidupan. Meninggalkan hukum buatan manusia yang bisa di buat dan diubah sesuai kepentingan tertentu yang banyak membawa kesengsaraan. Wallahu a’lam bishshawwab.

Oleh: Imroatus Sholeha
(Freelance Writer)




Baca Juga

Post a Comment

0 Comments