Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kapitalisme, Nirharapan Atasi Stunting


TintaSiyasi.com -- Stunting, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan stunting sebagai gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan oleh gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikologis yang tidak cukup. Stunting sering disebut pula sebagai kerdil atau kuntet. Seorang anak tergolong mengalami stunting bila tinggi badan untuk rasio usianya lebih dari dua standar deviasi di bawah median WHO Child Growth Standard.

Stunting adalah masalah gizi kronis yang terjadi akibat beragam faktor Di seluruh dunia, sebanyak 150 juta lebih anak mengalami stunting akibat malanutrisi alias kekurangan nutrisi. Indonesia sendiri termasuk salah satu negara dengan tingkat kasus stunting yang tinggi. Faktor yang berpengaruh antara lain kondisi sosial-ekonomi keluarga, asupan gizi ibu ketika hamil, kesakitan pada bayi, dan konsumsi gizi saat bayi. Anak yang mengalami stunting akan sulit mencapai tumbuh kembang yang optimal.

Problem yang melatarbelakangi stunting bermula dari masa kehamilan sampai usia anak dua tahun. Itulah masa krusial bagi tumbuh kembang anak sehingga orang tua wajib memperhatikan asupan gizi. Stunting tidak hanya berpengaruh pada anak dan keluarganya, tapi juga kualitas bangsa pada umumnya. Sebab, anak merupakan masa depan bangsa. Ketika mengalami stunting, bukan hanya fisiknya yang terganggu. Stunting juga menghambat pertumbuhan otak sehingga mempengaruhi kemampuan akademik, produktivitas, dan kreativitas anak hingga dewasa kelak.

Stunting sendiri masih menjadi PR besar bagi negeri ini ditengah masih tingginya kemiskinan ekstrim. Dan mirisnya, di tengah persoalan ini, Suharso Monoarfa , menteri PPN/Kepala Bappenas menyatakan mencium kebohongan pemerintah daerah (pemda) dalam menghitung data stunting. Ia menyebut prevalensi stunting saat ini masih tinggi, mencapai 21,6 persen. Pemerintah masih perlu kerja keras untuk menurunkannya sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, di mana prevalensi stunting turun 3,8 persen per tahun.

Demikian pula dengan anggaran penanganan stunting, juga bermasalah. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani sendiri menyampaikan bahwa total anggaran sub kegiatan penanganan stunting senilai Rp77 triliun, hanya Rp34 triliun yang langsung masuk ke mulut bayi. Sementara yang lainnya, hanya habis untuk kegiatan 'nyleneh', seperti rapat koordinasi dan pembangunan pagar puskesmas (CNN, 14/3/2023).


Kemiskinan Ekstrem Penyebab Stunting

Sebagian besar penyebab stunting dilatarbelakangi oleh kemiskinan ekstrem, minimnya kesejahteraan masyarakat , dilihat dari ketidakmampuan mereka mengakses kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), akses air bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, pendidikan, dan lainnya.

Tingginya kemiskinan di Indonesia sesungguhnya juga sangat mengherankan, mengingat Indonesia memiliki sumber kekayaan alam yang sangat melimpah. Yang membuat miris, di daerah yang kaya sumber daya alamnya seperti NTT, bahkan menjadi propinsi dengan angka stunting tertinggi di Indonesia.

Paradoks problem anak stunting dan kurang gizi terjadi di negeri berlimpah kekayaan sumber pangan dan energi. Negeri ini memang kaya SDA, tetapi miskin pemimpin amanah yang bertanggung jawab menyejahterakan rakyatnya. Bahkan anggaran mengatasi stunting pun tak luput dari pengadaan program "tidak nyambung" dengan pengentasan stunting. 


Kapitalisme, Nirharapan Atasi Stunting

Kemiskinan adalah persoalan yang tidak akan pernah dapat diselesaikan oleh sistem hari ini. Ini karena sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan hari ini lahir dari lemahnya akal manusia. Sistem yang tidak pernah sedikit pun melirik pada syariat Islam, seperangkat aturan yang datang dari Sang Pencipta, yang paling mengetahui yang terbaik bagi makhluknya.

Setidaknya ada dua kelemahan yang menjadi permasalahan fundamental penyebab sistem ekonomi kapitalisme tidak bisa menyelesaikan permasalahan kemiskinan dan stunting, yaitu:

Pertama, adanya kebebasan kepemilikan.
Sistem ini meliberalisasi seluruh sumber daya, termasuk sumber daya yang menjadi hajat hidup orang banyak. Seperti diketahui sudah menjadi watak negara dalam kapitalisme bahwa setiap urusan rakyat tidak lepas dari kerja sama dengan para kapitalis. Pemerintah menganggap tidak akan mampu bekerja sendiri tanpa dukungan kapitalis untuk menjalankan setiap kebijakan .Sedangkan jika sudah terkait swasta, maka orientasinya adalah pada keuntungan perusahaan, bukan lagi pada terpenuhinya kebutuhan rakyat.

Kapitalisme juga menjadikan kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elite saja. Kita bisa lihat bagaimana disparitas ekonomi begitu tinggi juga kesenjangan gaya hidup antara si kaya dan si miskin yang sangat mencolok. 

Kedua, negara korporatokrasi.
Jika kita mencermati, banyaknya program yang diperuntukkan untuk mengentaskan kemiskinan selalu saja menggandeng swasta. Pemerintah sendiri hanya bertugas sebagai regulator, alias yang menetapkan kebijakan agar swasta dan rakyat mendapatkan maslahat bersama.Sungguh, negara korporatokrasi hanya akan menghasilkan kebijakan yang mengarah pada kemaslahatan pengusaha.


Sistem Ekonomi Islam Solusi Nyata

Jika telah jelas ekonomi kapitalisme mustahil menyelesaikan permasalahan, tentu solusinya tidak bisa sekadar pada tataran teknis program pemerintah. Ini karena apa pun programnya, jika kerangkanya masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme, bukan rakyat yang menjadi orientasi kebijakan, melainkan profit pengusaha dan penguasa.

Maka, perlu adanya sistem ekonomi alternatif untuk menyelesaikan problem kemiskinan dan stunting. Dan tentunya, negara dengan sistem Islam yang akan mampu menyelesaikan persoalan tersebut. Sistem ekonomi Islam mampu menyelesaikan persoalan kemiskinan dan stunting tersebab dua poin penting.

Pertama, pembatasan aturan kepemilikan. Aturan ini mampu mencegah kemiskinan secara permanen sebab yang menjadi hak banyak orang terlarang dikuasai individu, sekalipun ia mampu membelinya.

Dalam Islam, kepemilikan terbagi menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. 
Untuk kepemilikan individu, setiap individu boleh memilikinya dengan cara sesuai syariat, seperti hasil kerja keras, warisan, pemberian harta, hadiah, dsb.

Adapun kepemilikan umum, terlarang bagi individu untuk memprivatisasi/memonopolinya sebab aset tersebut notabene milik masyarakat. Misalnya, rumput, air, pembangkit listrik, danau, laut, jalan raya, ataupun barang tambang melimpah (emas, batu bara, dan minyak bumi). 

Kepemilikan negara meliputi harta yang pengelolaannya diwakilkan pada Khalifah, seperti ganimah, jizyah, kharaj, harta orang murtad, dsb. 

Pengelolaan kepemilikan pun harus sesuai syariat. Haram bagi seseorang menginvestasikan hartanya dengan cara ribawi. Cara ini akan menjadikan harta berputar, perekonomian riil menjadi berkembang, kemiskinan pun otomatis berkurang.

Kedua, peran negara begitu sentral dalam distribusi kekayaan. Negara wajib menjamin seluruh kebutuhan dasar umatnya. Negara akan benar-benar mensensus warganya, memastikan para kepala keluarga bisa menafkahi tanggungannya, sekaligus menyediakan lapangan pekerjaannya.

Jika kepala keluarga dan kerabatnya tidak sanggup menafkahi, negara wajib membantu warganya untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhannya pun harus layak, perumahan, pakaian, termasuk pangannya, semua harus layak konsumsi dan bergizi. Dari sini, permasalahan stunting bisa terselesaikan.

Kebijakan kepala negara dalam sistem Islam (Khalifah) ialah politik pelayanan untuk rakyat, bukan kapitalisasi kepentingan atau keberpihakan pada korporasi. Khalifah memahami bahwa ia adalah pengurus dan bertanggung jawab atas rakyatnya sebagaimana sabda Rasulullah Saw,

الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ 

Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Ahmad dan Bukhari).

Kehadiran negara adalah sebagai pengurus pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu publik. Setiap kebutuhan individu masyarakat akan terpenuhi secara makruf. Demikian pula, negara dengan sistem Islam tidak akan melakukan kerja sama dengan asing untuk mengatasi stunting karena berpotensi masuk ke dalam perangkap kepentingan mereka.

 Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Atik Kurniawati
Aktivis Muslimah
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments