TintaSiyasi.com -- Kekerasan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari labirin kehidupan generasi muda. Bagaimana tidak, rentetan kasus di mana generasi muda menjadi pelaku sekaligus korban kian hari kian banyak. Dan yang lebih menyedihkan, kasusnya semakin beragam dan sadis.
Sadis dan Beragam
Seperti yang baru-baru ini terjadi di Sukabumi, tiga ABG DA (14), RA (14) dan AAB (14) membacok siswa SMP hingga tewas. Mirisnya, korban merupakan target kedua kali dan pembacokannya ditayangkan live via Instagram. Kronologi yang disampaikan Kapolres yakni korban melalui Instagram menuduh pelaku melakukan vandalisme di gedung sekolahnya. Karena tidak terima, ketiganya meminta ketemu untuk duel satu lawan satu (news.detik.com, 24/03 2023).
Kekerasan seperti tawuran masih marak terjadi. Perang Sarung, istilah yang digunakan warga untuk tawuran ini karena menggunakan sarung yang ujungnya diikat batu terjadi di beberapa titik yakni Jakarta Selatan, di Sukabumi (nyaris terjadi), dan di Purworejo. Belasan remaja di masing-masing tempat kemudian diamankan aparat kepolisian setempat. Yang membuat miris, ada barang bukti di TKP berupa celurit, pedang, stik golf dan besi-besi.
Akar Masalah
Kapolres Sukabumi Kota AKBP SY Zainal Abidin menyayangkan tindakan pembacokan yang dilakukan Sukabumi. “Kita ketahui bersama, pada Minggu kemarin kita baru melakukan deklarasi pelajar anti kekerasan, baik itu dari KCD Kota Sukabumi kemudian dari Disdik Kota Sukabumi dan perwakilan sekolah namun demikian ternyata pesan tersebut tidak tersampaian dengan baik seluruhnya,” kata Zainal.
Deklarasi damai anti kekerasan nyatanya tidak bisa menghentikan perilaku kekerasan generasi muda. Karena sejatinya, masih banyak faktor penting lainnya yang menumbuh-suburkan kekerasan tersebut. Seperti aksi tawuran, dimana “gagah-gagahan” merupakan faktor pendorong yang dominan. Oleh karena itu, penting sekali melihat biang keladinya baru kemudian menyelesaikan.
Jika ditelusuri satu per satu, kita akan menemukan penyebab dan akar penyebab kekerasan pada generasi muda. Pertama, manajemen emosi yang tidak terkendali. Generasi muda layaknya api yang disiram bensin, menyala-nyala. Hanya karena masalah sepele atau miskomunikasi, nyawa seseorang bisa saja melayang.
Hal ini bisa jadi karena kesalahan pengasuhan dari keluarga, pendidikan di sekolah atau terbawa arus di lingkungan masyarakat. Mereka tidak memikirkan secara matang apa yang diperbuat dan dampaknya. Tindakan mereka pun seolah hanya mengenyangkan ego.
Selanjutnya, ada media yang turut memberi sumbangsih besar. Sadar tidak sadar, tayangan media mempengaruhi pola pikir dan pola sikap generasi muda. Tontonan kekerasan yang dikemas menarik akan menyita perhatian, apalagi dibumbui hal-hal “baik” lainnya. Bukan tidak mungkin jika orangtua membiarkan anak mengonsumsi tayangan ini.
Bertambah parah, apabila anak memiliki smartphone sendiri. Jadi jelas, bahwa keluarga, lingkungan masyarakat, sekolah dan media memberi pengaruh besar pada maraknya kekerasan yang terjadi. Tetapi, sesungguhnya semua hanyalah dampak. Akar masalah sejatinya adalah penerapan sistem sekular kapitalisme.
Sistem sekuler kapitalisme menjadikan pemisahan agama dari kehidupan sebagai asas, yang berujung pada pengasuhan di rumah, lingkungan masyarakat, sekolah dan aspek lainnya jauh dari agama. Pengasuhan di rumah walau sudah dengan Islam, pasti dirongrong dengan pemikiran luar Islam tatkala anak keluar rumah. Sekolah alih-alih mencetak generasi berkepribadian Islam, baik dan beradab, justru melahirkan generasi yang kesehatan mentalnya terganggu.
Tiga Pilar
Berbeda dengan sistem sekuler, sistem Islam menjadikan akidah Islam sebagai asas bernegara. Wahyu Allah dijadikan pijakan, dimana darinya lahir segala aturan. Mulai dari pengasuhan anak oleh keluarganya, lingkungan masyarakat yang berperan sebagai pengontrol, juga negara yang memiliki andil besar. Sehingga, berbicara terkait pencegahan atau penanganan kekerasan pada generasi muda, artinya kita berbicara terkait peran ketiga pilar ini.
Pilar pertama, ketakwaan individu dan keluarga. Dengan takwa, seorang individu dan anggota keluarga tidak hanya taat pada perintah Allah tetapi juga menjauhi larangan-Nya. Mereka akan terikat dengan aturan Allah secara keseluruhan sedari dini. Inilah yang menjadi pijakan mereka, benteng untuk menjauhi segala yang tidak Allah ridai.
Pilar kedua, masyarakat. Masyarakat akan senantiasa melakukan amar makruf nahi mungkar. Inilah yang menjadi penguat individu dan anggota keluarga ketika keluar rumah.
Pilar ketiga yakni negara. Negara akan menerapkan aturan Islam secara keseluruhan di berbagai lini. Sehingga pendidikan pun berbasis Islam, begitu pula dengan media.
Negara juga akan memenuhi kebutuhan hidup warganya secara langsung maupun tidak langsung, sehingga tidak ditemukan kekerasan seperti jual ginjal untuk penuhi kekosongan perut atau karena gengsi.
Negara yang dengan kekuatannya juga berwenang memberi sanksi yang tegas pada pelaku kekerasan. Jika pelakunya anak-anak, pengaturannya ada juga dalam Islam. Begitulah, Islam dengan kekomprehensifannya mampu melindungi rakyatnya. Teringat sabda Rasulullah SAW:
“Sesungguhnya imam itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim).
Demikianlah, telah sangat jelas bahwa tindakan kekerasan dan kejahatan pada generasi muda (atau lainnya) akan terus dilakukan selama kita bernaung di bawah pengaturan sekuler kapitalisme. Sudahlah menjadi biang keladi, ia tak mampu menjadi solusi tuntas. Maka, mari kita campakkan sistem ini dan menggantinya dengan sistem Islam. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Oleh: Khaulah
(Aktivis Dakwah)
0 Comments