TintaSiyasi.com -- Ngomongin soal kemacetan, ini merupakan hal wajar di kota-kota besar. Apalagi bagi kita penduduk kota ini suatu penampakan yang sudah biasa walaupun sebenarnya kemacetan merupakan permasalahan kronis. Dampaknya, waktu bisa terbuang sia-sia dan bisa menguras tenaga kita.
Kalau kita sudah terkena macet pasti capek dan rasanya ingin marah. Ada beberapa faktor penyebab kemacetan, misalnya adanya kecelakaan, faktor cuaca, dan bisa juga karena ketidakpedulian pemerintah terhadap jalan sehingga banyak jalan yang rusak dan arus jalan menjadi kurang tertip.
Hal ini berdampak serius bagi pengguna jalan apalagi sampai ada yang meninggal akibat kemacetan. Seperti yang terjadi di Kota Jambi. Kementrian Perhubungan (Kemenhub) buka suara soal kemacetan panjang yang terjadi di Jalan Nasional Tembesi, Batanghari, Jambi. Kemacetan itu berlangsung 22 jam sejak Selasa, 28 Februari hingga Rabu pagi, 1 Maret 2023. Diduga, ribuan truk pengangkut batu bara yang memadati jalan jadi pemicu utama terjadinya kemacetan. Tragisnya, kemacetan sepanjang 15 km itu menyebabkan seorang pasien di dalam ambulans yang terjebak macet meninggal. (CNBC Indonesia, 02/03/2023)
Kemacetan yang terjadi di Jambi benar-benar parah. Pasalnya, jumlah truk yang terkena macet hingga mencapai belasan ribu unit. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan mengungkapkan, kerugian penguasa truk mencapai belasan miliar.
"Sehari nggak beroperasi itu, truk kalau nggak jalan 1 hari minimum hilang income Rp 1 juta. Ditambah karena harus bayar bensin, kedua biaya nunggu truk, ada asisten kasih makan itu cost juga. Ditambah biaya makan Rp 1,5 juta lah, kalau kerugian Rp 1,5 juta x 11.000 truk sekitar 17 miliar katanya." (CNBC Indonesia Jum’at, 03/03/2023)
Kemacetan di Jalan Nasional Jambi yang dipicu oleh ribuan truk pengangkut batu bara yang beroperasi kala itu membuat para pengguna jalan menderita. Aturan yang mereka gunakan sesuai hawa nafsunya. Dimana peran pemerintah, sampai terjadi kemacetan seperti itu. Apalagi sampai memakan korban jiwa?
Seharusnya untuk truk-truk besar pengangkut batu bara dibuatkan rute jalan khusus supaya tidak mengganggu kemacetan lalu lintas di jalan umum. Seharusnya pemerintah juga terus memperhatikan atau memantau keadaan jalan. Jika ada jalan yang rusak harus segera perbaiki. Dan jangan sampai truk besar lewat jalan umum yang nantinya akan menimbulkan kemacetan.
Begitulah jika negara menerapkan sistem sekuler kapitalis. Padahal jalan adalah fasilitas umum yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat dengan mudah dan nyaman. Tapi faktanya sekarang kemacetan terjadi dimana-mana.
Dalam sistem sekuler kapitalis, pemerintah minim perhatiannya terhadap rakyat begitu pun rasa tanggung jawabnya. Rakyat bukan lagi sebagai prioritas. Hanya sesuatu yang dapat menghasilkan materi sebanyak-banyaknya itulah prioritasnya. Karena dalam sistem ini pemuasan kebutuhan jasmani dan manfaat adalah hal yang paling diutamakan. Wajar jika kesengsaraan dan kerusakan sering terjadi saat ini seolah nyawa begitu murah dalam sistem ini.
Tidak Begitu halnya dalam sistem Islam. Islam, agama yang sangat menjaga nyawa manusia. Nilai nyawa dalam Islam begitu tinggi. Tak peduli nyawa muslim maupun non muslim. Nyawa binatang pun dalam Islam begitu dihargai. Jadi untuk urusan kemacetan jalan apalagi itu berkaitan dengan keselamatan banyak orang kalau dalam Islam pasti akan selalu diperhatikan.
Karena Islam memandang jalan adalah salah satu kepemilikan umum dan negara harus bertanggung jawab penuh terhadap kepemilikan umum. Sebab itu digunakan oleh setiap rakyat tanpa terkecuali. Negara akan terus memelihara dan memantau kondisi jalan.
Sebagaimana firman Allah SWT, yang artinya:
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah : 32)
Tidak akan ada jalan rusak atau jalan yang melampaui kapasitas jalan. Semuanya berjalan dengan lancar dan tertib. Negara akan mengaturnya dengan baik sehingga tidak mengganggu aktivitas masyarakat. Wallahu a’lam bishshawab.[]
Oleh: Kiki Ariyanti
(Aktivis Muslimah)
0 Comments