TintaSiyasi.com -- Alhamdulillah, satu abad sudah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) sebagai gerakan Islam yang tersohor khususnya dinegeri ini. Dalam pidatonya KH. Yahya Cholil Staquf menyinggung soal Khilafah dalam acara Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang menjadi rangkaian acara Puncak Resepsi 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU). Ketum NU yang kerap disapa Gus Yahya ini mengatakan bahwa kekhalifahan yang representatif bagi umat Islam sudah tidak ada lagi. Sudah tidak ada otoritas politik yang mempersatukan kaum Muslim sejak runtuhnya kekhalifahan Umayyah yang dimulai 150 tahun setelah wafat Nabi (jatim.antaranews.com, 6/2/2023).
Perjalanan NU di usia yang satu abad justru mengeluarkan pernyataan yang kontroversial yaitu ingin menjadikan piagam PBB sebagai sumber hukum Islam. Sebagaimana yang dikatakan Gus Yahya diacara perayaan NU lalu. Jelas ini adalah pernyataan yang keliru yang menyandingkan piagam PBB dengan sumber hukum Islam yang sahih yakni Al-Qur'an dan Sunnah
Jika kita ingin menjadikan piagam PBB sebagai sumber hukumnya, maka kita harus meninjaunya kembali dari beberapa aspek, seperti bagaimana sejarah lahirnya PBB, peran PBB dalam menyelesaikan konflik yang ada di dunia, kemudian bagaimana keabsahan hukum yang dikeluarkan oleh PBB itu sendiri?
Paling penting dan patut kita yakini bahwa hukum Islam berkaitan dengan peraturan yang lahir dari akidah? Layakkah PBB disandarkan kepada keyakinan umat Islam itu sendiri?
PBB dan Konflik Negeri-negeri Muslim
Latar belakang terbentuknya PBB didorong oleh Perang Dunia II yang membawa banyak dampak buruk bagi masyarakat dunia. Dampak tersebut membuat banyak negara menginginkan perdamaian dan keamanan bersama. Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Soviet kemudian berdiskusi untuk membuat organisasi perdamaian.
Ketiga negara inilah yang menjadi pendiri dari PBB. Wakil dari tiga negara tersebut adalah Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, dan Perdana Menteri Uni Soviet Joseph Stalin. Mengadopsi tujuan dari LBB, PBB memiliki tujuan utama yaitu menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Kemudian struktur serta fungsi dari organisasi perdamaian dibentuk untuk menggantikan LBB. PBB berdiri pada 24 Oktober 1945 di San Francisco, California, Amerika Serikat. Meski Perang Dunia II sudah berakhir, sayangnya masih banyak negara-negara di Asia dan Afrika yang dijajah.
Sampai hari ini PBB masih eksis dengan pemegang hak veto yakni negara yang beranggotakan Anggota Tetap Dewan keamanan PBB yaitu Amerika Serikat, Rusia adidaya (dulu Uni Soviet), Republik Rakyat Tiongkok menggantikan Republik China (Taiwan) pada tahun 1979, Inggris dan Perancis.
Kehadiran PBB masih dipercaya sebagai “polisi” perdamaian dunia, meski yang terlihat tidak demikian. Eksistensi PBB pun tidak dirasakan oleh negeri-negeri Islam yang hari ini dalam kondisi yang chaos. Seperti halnya menyelesaikan masalah Palestina atas Israel, bagaimana berpuluh-puluh tahun konflik wilayah tidak tuntas ditangan PBB. Bahkan Israel dengan lancangnya mengklaim tanah Palestina sebagai milik mereka dan PBB tidak menindaki hal ini. PBB hanya sekedar melakukan perundingan dan negosiasi antara Israel dan Palestina. Terlebih gencatan senjata hanya berlangsung sesaat saja, sebab Israel tidak pernah menepati janjinya. Kondisi kaum Muslimin dibelahan bumi lainnya seperti di Rohingya, Uyghur, India, Afganistan dan lainnya PBB dalam hal ini hanya sebatas mengutuk aksi kekerasan HAM yang terjadi disana.
Dari sini layakkah kita jadikan Piagam PBB sebagai acuan sumber hukum baru rujukan bagi kaum Muslimin?
Piagam PBB Menyalahi Hukum Islam
Imam Syafi’i, radhiyāllahu ‘anhu, menjelaskan, dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, para ulama kemudian meng- istinbath (menggali) sumber-sumber hukum Islam lainnya, yaitu ijmak dan qiyas. “Tidaklah pantas sama sekali seseorang berkata mengenai sesuatu, bahwa sesuatu itu halal atau haram, kecuali berdasarkan ilmu. Dan dasar ilmu yang dimaksud, adalah berita(dalil) dari al-Kitab, atau dari As-Sunnah, atau dari Ijmak, atau dari Qiyas”.
Hukum yang bersumber dari manusia itu, yaitu hukum yang tidak bersumber dalam istilah Al-Qur`an disebut dengan istilah hukum taghut atau hukum jahiliah. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an QS. An-nisa: 60 “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelummu? Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada taghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari taghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya.”
Ketidakpahaman kaum Muslimin dengan aturan Islam secara kafah ditambah sistem kehidupan yang amat jauh dari aturan Islam (sekulerisme) menjadikan kaum Muslimin dengan sukarela menerima hadlarah Barat sebagai aturan yang mengatur disegala aspek kehidupan kita. Yang terlihat malah penolakan bagian dari ajaran Islam bukan hanya datang dari Barat tapi dari beberapa oknum umat Islam. Sedihnya, malah keberadaan Gerakan Islam yang ada hari ini tidak mengakomodir persatuan kaum Muslimin.
Umat Islam terpecah belah sejatinya, saat aturan Islam mulai ditinggalkan sejengkal demi sejengkal hingga sampai hari ini negeri-negeri Muslim terpecah dengan dasar nation state. Walhasil, konflik Palestina, Muslim Rohingya, India, Uyghur, Afganistan, dll hanya akan terkatung-katung tanpa adanya kejelasan penyelesaian konflik .
Kita sebagai hamilud dakwah tentu paham betul seberapa pentingnya syariat Islam terhadap kehidupan kita, tak lupa melakukan aktifitas penyadaran kepada umat baik melalui lisan maupun tulisan bahwa kondisi dunia hari ini kacau balau akibat mencampakkan hukum-hukum Allah aza wa jala. Ayat ini sekiranya menjadi pengingat bagi kita, “Siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta”. (TQS Taha [20]:124). Wallahu'alam bishowab[]
Oleh: Nurhayati, S.S.T.
Aktivis Muslimah
0 Comments