TintaSiyasi.com -- Konten merupakan hal yang tidak asing di telinga masyarakat saat ini. Di mana isi konten tersebut berisikan suatu informasi baik itu aktivitas pribadi maupun kelompok, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya. Konten sendiri sering kali diunggah oleh kreator di media sosial yang ia miliki dengan tujuan tertentu, baik itu dalam bentuk foto, tulisan, video dan lain sebagainya. Tujuan para kreator membuat konten pun bermacam-macam, ada yang ingin mengedukasi, menghibur, namun ada pula kreator yang membuat konten hanya sekadar untuk mencari sensasi. Isi konten mereka pun ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Ada yang memberi pengaruh yang baik dan ada pula yang buruk, baik bagi para penontonnya maupun bagi sang kreator itu sendiri. Bahkan tak sedikit kasus demi konten sampai rela mempertaruhkan nyawa sendiri.
Menjemput ajal lewat konten, hal inilah yang terjadi pada seorang perempuan berinisial W (21) di Leuwiliang, Kabupaten Bogor. Ia tewas saat sedang membuat konten candaan ingin gantung diri di hadapan teman-temannya melalui video call. Saat sedang video call W menyampaikan ke teman-temannya ingin live gantung diri sambil melilitkan kain di lehernya. Namun nahas, kursi yang dipijaknya terpeleset dan membuat dirinya benar-benar gantung diri. Teman-temannya yang melihat kejadian tersebut langsung pergi ke kediaman W, namun ketika mereka tiba W ditemukan telah meninggal (cnnindonesia.com, 3/3/2023).
Dilansir dari detiknews.com (16/1/2023), selain kasus yang dialami W, di Bogor sendiri sangat marak kasus demi konten sampai mempertaruhkan nyawa, yaitu konten mengadang truk secara tiba-tiba. Dari 2020 sampai awal 2023, telah ada tujuh orang meninggal dunia akibat konten mengadang truk.
Selain dua kejadian di atas, masih banyak konten-konten lainnya yang tidak bermanfaat berseliweran di media sosial. Seperti mukbang (makan berlebihan), challenge berbahaya, berkemah di tengah hutan sendirian, mandi lumpur berjam-jam lamanya, joget TikTok 24 jam, konten truk ugal-ugalan. Bahkan pada Mei 2022 sempat viral sampai ke mancanegara seorang kreator wanita asal Pakistan melakukan aksi bakar hutan di kawasan Taman Nasional Pakistan. Di mana di dalam hutan tersebut banyak flora dan fauna langka yang dilindungi negara. Demi konten, wanita itu justru tidak merasa bersalah sama sekali telah melakukan aksi yang sangat fatal. Aksi yang tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga merugikan dan membahayakan makhluk di sekitarnya, bahkan merugikan negara.
Masih banyak ide-ide para konten kreator yang tidak bermanfaat lainnya, demi sebuah konten mereka sampai mempertaruhkan nyawanya dan membahayakan orang yang ada di sekitarnya. Lantas, apakah yang mendasari mereka sampai nekat melakukan aksi berbahaya demi sebuah konten?
Mencari Perhatian Publik
Dilansir dari Tempo.co, ada dua hal yang mendasari mengapa beberapa kreator sampai melakukan aksi berbahaya demi sebuah konten. Pertama, Fear of Missing out (FoMo). Ini adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami kecemasan atau perasaan takut. Kecemasan terkait takut tertinggal suatu keseruan yang tengah marak atau viral di tengah masyarakat saat ini. Kedua, Social comparison. Ini merupakan suatu keadaan di mana seseorang gemar membandingkan kemampuannya dengan orang lain. Itulah sebabnya mengapa banyak kreator saling bersaing dan tidak mau sampai ketinggalan tren.
Berdasarkan dua hal di atas tentu sungguh miris jika hanya kerena ingin mendapatkan perhatian publik atau jagat maya sampai rela mempertaruhkan nyawa. Banyaknya subscribers atau followers dan menjadi viral dijadikan sebagai standar kepuasannya. Menjadi artis media sosial memang sangatlah menggiurkan, makin populer akun yang dimiliki maka semakin banyak pula pundi-pundi rupiah yang akan didapatkan. Tetapi, demi sebuah konten para kreator tidak lagi memperhatikan kesehatan dan keselamatan diri sendiri, merugikan dan membahayakan orang lain dan setiap makhluk di sekitarnya. Tidak peduli apakah isi kontennya sesuai dengan norma-norma dan hukum yang ada dan apakah tidak melanggar syariat agama. Ya, demi mencari perhatian publik mereka dengan mudahnya mengikuti tren yang tidak bermanfaat lalu melupakan jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna, yang dilengkapi dengan akal untuk berpikir.
Buah dari Sekuler Kapitalisme!
Di era modern saat ini makin banyak alat-alat digital yang begitu canggih. Jika seseorang tidak bijak dalam menggunakannya maka ia bisa saja melupakan jati dirinya, melupakan tujuan utama mereka hidup di dunia ini. Hal ini pun didukung dengan sistem yang ada, yaitu sekularisme kapitalis, sistem yang memisahkan agama dari segala aspek kehidupan dan menjadikan materi sebagai standar kepuasan hidup. Dan akibat sistem ini banyak masyarakat saat ini bersifat individualis, mereka tidak mau diatur oleh siapa pun bahkan oleh agama.
Maka dapat disimpulkan bahwa sistem ini terbukti gagal dalam menjaga generasinya, gagal meyakinkan masyarakat bahwa mereka adalah ciptaan Tuhan yang sempurna yang dilengkapi dengan akal untuk berpikir. Ya, mereka memang jenius dalam menciptakan alat-alat digitalisasi, tetapi mereka tidak mampu mengontrol penggunaannya di tengah-tengah masyarakat. Akibatnya, banyak masyarakat yang terjerumus pada hal kesia-siaan, bahkan sampai merenggut nyawa mereka.
Selain itu, akibat sistem yang ada saat ini banyak masyarakat lebih tertarik untuk berprestasi secara duniawi tanpa memikirkan surgawi. mereka lebih senang bersosial di dunia maya dibandingkan di dunia nyata. Gemar mencari ide-ide konten yang baru walaupun itu harus mencelakai dirinya sendiri.
Lain halnya dalam Islam. Islam begitu melarang melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Dari Abu Sa'id, Sa'ad bin Sinan Al-Khudri ra, Rasulullah SAW bersabda, "Tidak boleh melakukan perbuatan yang bisa membahayakan diri sendiri dan membahayakan bagi orang lain." (HR. Ibnu Majah, No. 2340-2341). Sayangnya di era modern saat ini segala sesuatu menjadi lumrah untuk dilakukan, bahkan ada umat muslim sampai melupakan jati dirinya bahwa mereka adalah umat pilihan Allah Swt. dan beribadah kepada-Nya adalah tugas utama yang harusnya lebih diutamakan. Bukan malah mengutamakan membuat konten yang tidak bermanfaat dan berbahaya. Pola pemikiran seperti ini hanya dilakukan kaum kapitalis yang menjadikan standar kebahagiaannya adalah materi.
Seharusnya sebagai umat pilihan yaitu umat Islam, jika ia paham akan jati dirinya maka ia tidak akan muda terbawa arus, tidak akan mudah mengikuti tren yang tidak bermanfaat. Tidak akan mencari standar kebahagiaannya di dunia maya atau di media sosial. Media sosial justru digunakannya sebagai alat atau media untuk berdakwah agar mendapatkan rida serta pahala dari Allah SWT. Jikalau pun hasil konten mereka menjadi viral, banyak mendapatkan followers dan lain-lain itu akan dianggapnya sebagai bonus dari Allah SWT. Standar kebahagiaan mereka hanyalah ingin mendapatkan ridha dari Allah SWT agar kelak mendapat surga. Lihatlah, ketika seseorang menjadikan materi atau popularitas sebagai standar kebahagiannya, tidak sedikit kasus orang kaya terpaksa mengonsumsi narkoba dan miras demi merasakan kenikmatan yang besifat semu. Dan tidak sedikit kasus, banyak dari mereka yang memiliki harta dan tahta memilih mengakhiri hidupnya karena tidak sanggup menghadapi persoalan hidupnya.
Negara Harus Selektif!
Peran negara sangat dibutuhkan untuk mengatasi persoalan ini. Negara harus berperan penting dalam menjaga dan melindungi masyarakat dari hal-hal yang dilarang agama, khususnya dalam penggunaan alat-alat digital. Negara harus selektif dan bersikap tegas terhadap apa yang ditayangkan oleh media publik. Begitupun dengan para konten kreator, negara harus bersikap tegas terhadap mereka, dengan tidak memposting konten-konten yang tidak bermanfaat dan bisa merusak akidah masyarakat. Media publik dan media sosial akan difokuskan sebagai media untuk berdakwah. Menampilkan tayangan-tayangan bermanfaat yang bisa membawa masyarakatnya ke dalam ketakwaan.
Dengan demikian tidak akan ada persaingan antar media maupun konten kreator dalam mencari perhatian publik. Karena tujuan dan standar kebahagiaan mereka bukanlah materi tetapi surgawi.
Namun, penerapan ini hanya dapat dilakukan oleh negara yang taat akan perintah Allah secara kaffah, yang menjadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai satu-satunya sumber hukumnya. Dan satu-satunya sistem pemerintahan yang mampu melaksanakannya adalah Daulah Khilafah Islamiyah
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Nur Hajrah M.S.
Aktivis Dakwah Nisa Morowali
0 Comments