TintaSiyasi.com -- Mengawali tahun 2023 ini masih jelas dalam ingatan umat Muslim di seluruh pelosok negeri, viralnya sebuah video yang menampilkan aksi sawer yang dilakukan beberapa peserta kepada seorang qariah dalam acara pengajian acara Maulid Nabi di Banten pada 5 Januari silam.
Aksi ini dilakukan saat sang qariah sedang melantunkan ayat suci Al-Qur’an di depan seluruh hadirin dalam acara tersebut, tak ayal perlakuan yang jauh dari adab dan norma tersebut mengundang kekecewaan sang qariah maupun kecaman dari berbagai pihak seperti yang disampaikan Ketua MUI bidang dakwah dan ukhuwah KH Cholil Nafis yang menyampaikan bahwa saweran uang kepada qari atau qariah merupakan cara yang salah dan tak menghormati majelis (cnnindonesia.com).
Tradisi Menyalahi Syariat
Panitia penyelenggara acara Maulid Nabi yang diadakan di Kecamatan Cibaliung, Kabupaten Pandeglang, Banten akhirnya meminta maaf kepada Nadia Hawasyi selaku qariah yang diundang untuk mengisi pembacaan Al-Qur’an saat itu. Namun jika menilik pada keadaan dan situasi yang terjadi saat itu, terasa ada hal yang ganjil yang menarik perhatian, yakni tidak adanya masyarakat ataupun panitia yang saat itu protes dan menghentikan aksi tak beradab tersebut.
Ketika dilihat lebih mendalam, hal ini ternyata telah dianggap sebagai tradisi yang tersimpan dalam benak masyarakat. Menggunakan istilah tradisi yang diangkat oleh masyarakat, timbul banyak tanggapan masyarakat yang membela kondisi ini.
Meski demikian, banyak pihak yang menyayangkan sikap pelaku dan masyarakat saat kejadian sawer tersebut. Hal ini disebabkan masyarakat yang saat ini tidak lagi menjadikan syariat dan adab sebagai pedoman berperilaku.
Degradasi adab yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dengan dasar tradisi ini menunjukkan ilmu agama bukan lagi menjadi asas pemikiran seseorang dalam melakukan amal perbuatan, melainkan hanya mengikuti kemauan dan kebiasaan yang ada di tengah masyarakat.
Sebagai sesama Muslim yang dalam kehidupannya senantiasa terikat dengan hukum syarak, pemandangan ini tentu menjadi sebuah pengetuk hati untuk kembali mengembalikan nilai-nilai agama ke tengah masyarakat. Kita menyaksikan bahwa saat ini masyarakat memerlukan adab yang diperoleh dari ilmu, karena setiap adab berawal dari adanya pengetahuan awal yang hadir pada diri seorang insan.
Kembali pada ayat suci kita menemukan kebenaran bahwa dalam pembacaan kitab suci Al-Qur’an, kita diperintahkan untuk mendengarkan dan memperhatikan dengan saksama, firman Allah yang berbunyi.
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
"Dan apabila dibacakan Al-Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat." (QS. Al A'raf: 204).
Bukan hanya dalam Al-Qur’an, dalam beberapa hadis yang lain kita menemukan bahwa ketika menyimaknya dengan saksama, maka akan dicatatkan kebaikan yang berlipat ganda, yakni dalam hadis Dari Abu Sa’id maula Bani Hasyim, dari Abbad ibnu Maisarah, dari Al-Hasan, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda, “Barang siapa mendengarkan suatu ayat dari Kitabullah, maka dicatatkan baginya kebaikan yang berlipat ganda. Dan barang siapa yang membacanya, maka ia mendapat nur (cahaya) di hari kiamat.” Maka hendaklah tiap Muslim yang pada dirinya masih memiliki keimanan senantiasa untuk dengan khusyuk mendengarkan bacaan ayat suci dan menghayati setiap makna yang terkandung di dalamnya.
Islam Menjaga Marwah Al-Qur’an dan para Penjaganya
Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang Allah turunkan kepada manusia, sebagai penerang jalan kehidupan yang gelap, sebagai penenang jiwa dan obat bagi hati manusia. Maka seyogianya Al-Qur’an bukan saja dijaga dan dihormati, namun juga diaplikasikan di tengah kehidupan.
Dengan melihat aksi penyawer tersebut diketahui bahwa cara apresiasi yang salah ini menghantarkan pada penistaan Al-Qur’an itu sendiri, padahal dalam islam apresiasi terhadap qari dan qariah bisa dilakukan dengan mengucapkan kalimah thayyibah (kalimat yang baik), ataupun dengan mendengarkan dan menjaga kesakralan forum tersebut. Dalam suatu kisah disampaikan pula pemuliaan terhadap qari yang bersuara merdu yakni sahabat Abu Musa al-Asy’ari adalah pemberian julukan di antara suling Nabi Daud.
Pemberian apresiasi maupun penghargaan dalam bentuk lainnya pun diperkenankan dalam batasan tidak menyalahi syariat maupun adab. Pemberian yang dilakukan tanpa mengganggu aktivitas pembacaan Al-Qur’an, dengan cara yang baik tanpa adanya interaksi fisik non mahrom dan bukan bermaksud pamer kepada publik tentunya akan lebih baik dan memuliakan sang qari, dan tidak memberikan kesan mengganggu kesakralan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Oleh karena itu, perlu untuk mengembalikan syariat islam dan adab ke tengah masyarakat, agar hadir rasa tenteram dan nyaman dalam menjalankan kehidupan ini.
Perlu Adanya Pilar Penjagaan
Perlakuan yang diterima oleh sang qiraah yang tidak hanya terjadi sekali ini memberikan tanda bahwa umat Muslim saat ini tidak sedang dalam keadaan yang baik. Umat yang jauh dari ilmu agama dan tidak adanya penjagaan dari masyarakat dan aturan yang melingkupi untuk menjamin kehidupan manusia yang bermartabat.
Sejatinya pilar penjagaan terhadap berbagai fenomena yang terjadi ini bukan hanya ketakwaan individu, namun diperlukan keseriusan seluruh pihak mulai dari komunitas serta masyarakat yang turut andil untuk menyuarakan kebenaran, serta adanya perhatian pemerintah untuk membenahi dan mencegah segala kondisi tak beradab ini. Segala perlakuan dan hal yang merendahkan harkat dan martabat Al-Qur’an maupun pelantunnya perlu untuk dihapus dari benak seluruh umat agar tidak kembali terulang.
Maka perlu menjadikan Islam sebagai sudut pandang (point of view) dan penentu arah kebijakan yang ditetapkan, bukan lagi menjadikan kebebasan berekspresi setiap individu sebagai pedoman. Hanya dengan islam perwujudan lingkungan yang kondusif untuk menjaga kemuliaan manusia tampak dengan jelas.
Dalam hal ini tampak bahwa pada dasarnya setiap aturan yang tidak bersumber dari perintah yakni yang diberikan sang pencipta dan pengatur manusia hanya mengantarkan pada keburukan dan kebobrokan akhlak manusia. Sehingga tak bisa lagi kita sebagai Muslim untuk terus bertahan pada liberalisme dan sekularisme yang makin lama akan menjauhkan ilmu dan adab dari diri kita serta lingkungan kita. Oleh karena itu hanya kepada hukum Allah lah kita bisa mengembalikan khidmat dan kemuliaan islam dan kaum Muslim.
Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Meutia Rahmi Afifa
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments