Terbaru

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Meneropong Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN, Masihkah Relevan di Tengah Krisis Dunia?


TintaSiyasi.com -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan sebagai pemimpin di ASEAN Indonesia akan mampu berkontribusi dan memberi solusi positif bagi dunia di tengah situasi global yang menantang, terutama di sektor ekonomi. Upaya tersebut akan dilakukan selama mengemban Keketuaan ASEAN 2023. Hal itu disampaikan Jokowi saat memberikan sambutan Kick-Off Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 yang diselenggarakan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta Pusat, Minggu (29/1).

“Tahun ini, Indonesia menjadi Ketua ASEAN di tengah-tengah situasi global yang sangat tidak mudah. Krisis ekonomi, krisis energi, krisis pangan, perang, semuanya sedang terjadi. Tetapi, saya yakini bahwa ASEAN masih penting dan relevan bagi rakyat, kawasan, dan bagi dunia. Bahwa ASEAN akan terus berkontribusi bagi perdamaian dan stabilitas di Indo Pasifik. Bahwa ASEAN akan terus dapat menjaga pertumbuhan ekonomi dan sesuai tema kita ASEAN Matters, Epicentrum of Growth,” kata Presiden Jokowi. (mediaindonesia.com) .

Kepala Negara mengungkapkan, masa Keketuaan ASEAN 2023 akan dijalankan sejak awal Januari 2023 dan berlangsung hingga akhir Desember 2023. Sesuai tema besar “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”, Indonesia selaku ketua dan tuan rumah diharapkan dapat memunculkan ide dan inisiatif baru dalam mengatasi tantangan serta isu krusial lainnya yang menjadi perhatian di kawasan ASEAN dan dunia.

Isu Prioritas Kick-Off Keketuaan ASEAN Indonesia 2023 kemudian dilanjutkan dengan talkshow yang menghadirkan Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kemlu, Sidharto R. Suryodipuro. “Ada beberapa tantangan penting yang kita hadapi, seperti isu ketahanan pangan, stabilitas keuangan, ketahanan energi, juga isu kesehatan. Setelah pandemi, kita harus memastikan untuk bisa kembali bangkit di berbagai kegiatan pertumbuhan ekonomi. Termasuk pengembangan ekonomi digital,” jelas Sidharto.

ASEAN merupakan organisasi regional yang menjembatani kerja sama antar anggotanya. Secara geografis, Asia Tenggara adalah kawasan strategis, yaitu terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan beberapa Samudera dan wilayah Asia. Kawasan ASEAN berada di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia, serta Asia Timur dengan Asia Selatan dan Asia Tengah. Secara ekonomi, negara-negara anggota ASEAN mayoritas memiliki sumber daya alam melimpah yang dianggap mampu menopang perekonomian negara, kawasan, dan dunia.

Ada Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia yang memiliki sumber daya tambang berupa minyak bumi dan gas alam. Terdapat pula negara pengekspor hasil pertanian semisal Thailand, Filipina, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Mayoritas negara-negara ASEAN mengandalkan perekonomiannya pada kekayaan alam yang mereka miliki, terutama di sektor pertanian, barang tambang, dan industri. Dari bidang pertanian, produk unggulannya berupa rempah-rempah, beras, teh, kopi, kelapa sawit, karet, tebu, dan masih banyak lagi.

Secara geopolitik, negara-negara ASEAN termasuk negara berkembang. Sebagai negara berkembang, setiap kebijakan politik negara-negara ini akan selalu mengikuti ritme kebijakan global yang ditetapkan negara adidaya. Dengan kata lain, dalam konsep ideologi kapitalisme, siapa yang menang dan kuat, ia adalah penguasa sebenarnya. Dalam hal ini, AS dan negara sekutunya masih menjadi adidaya yang berpengaruh di kancah global, baik secara politik maupun ekonomi.

Adapun kepemimpinan Indonesia atas ASEAN, hal itu tidak akan mengubah peta politik dunia. Indonesia dan negara ASEAN lainnya tetap menjadi target pasar negara kuat. Peringkat-peringkat dan berbagai narasi positif yang muncul untuk ASEAN sebenarnya dalam rangka membuat kawasan Asia Tenggara ini terdorong mengembangkan potensi negaranya sebagai penopang ekonomi kapitalisme global, bukan pelaku perubahan atau menjadi pemimpin dunia.

Negara ASEAN tidak lebih sekadar batu loncatan bagi negara kuat untuk memperdaya dan memperalat negara lemah (negara berkembang) dengan iming-iming kontribusi ekonomi dan lahan subur investasi. Selama ideologi kapitalisme mencengkeram negeri-negeri lemah, hal itu tidak akan memberi perubahan berarti atas hegemoni dan dominasi negara kapitalis, khususnya bagi negeri-negeri Muslim.

Hal ini mengingat misi pengemban ideologi kapitalisme ialah imperialisme. Jadi, agenda internasional seperti G20, ASEAN Summit, dan sejenisnya tidak akan terlepas dari yang namanya penjajahan ekonomi di segala bidang. Bagi negara maju, agenda internasional adalah cara terbaik untuk mengeksplorasi “isi” suatu negara sebagai sasaran bancakan ekonomi mereka. Dalam kapitalisme, dunia hanya terbagi dua: negara produsen dan konsumen.

Indonesia merupakan sasaran pasar bagi produsen untuk meningkatkan proses produksinya sebagai pemasok bahan baku industri dan energi. Sudah sepatutnya Indonesia waspada. Hegemoni kapitalisme ritmenya selalu sama, yakni menjajah dengan cara halus hingga negara yang terjajah pun tidak merasa sedang dalam sasaran jajahan. Untuk keluar dari dominasi kapitalisme dan neoimperialisme, tidak ada jalan lain selain menanggalkan sistem yang jelas memberi kerusakan dan kesengsaraan bagi negeri ini.

Dalam menghadapi negara adidaya kapitalis, kekuatan Indonesia haruslah sepadan. Kekuatan tersebut tidak akan pernah lahir selama Indonesia mengadopsi kapitalisme. Bukan sebatas “Recovery Together, Recovery Stronger”, tetapi Indonesia mesti merevolusi tata kelola negeri dengan ideologi Islam. Kekuatan yang sepadan dengan negara kapitalis hanyalah Khilafah Islamiah.

Tentu secara politik, ekonomi, geografi, demografi, dan SDA, pasti lebih unggul dan superpower. Khilafah mampu berdikari dan mandiri karena telah memenuhi segala potensi untuk menjadi negara adidaya. Tidak perlu lagi mengejar prestise atau mengemis status pada negara-negara kapitalis atau ikatan perjanjian internasional yang membelenggu negeri-negeri muslim. Indonesia dan negeri Muslim lainnya yang berada dalam naungan khilafah dapat memberikan kontribusi yang positif dari seluruh potensi negerinya tanpa menjadi bancakan negara lain.

Setiap negara membutuhkan politik luar negeri untuk membangun hubungan dengan negara lainnya. Politik luar negeri sendiri merupakan seperangkat kebijakan yang diterapkan oleh suatu negara dalam hubungan dengan negara lain dengan maksud mencapai tujuan negara maupun kepentingan negara yang bersangkutan. Syariat Islam mengharuskan negara secara politik maupun ekonomi menjadi kuat dan mandiri.

Oleh karenanya, khilafah akan mengakhiri politk luar negeri yang penuh nuansa kelemahan dan ketertundukan kepada ideologi kapitalisme global, menjadi negara dengan pola baru yang sesuai Islam. Berdasarkan syariat Islam, Khilafah boleh membangun hubungan dengan negara-negara lain baik di bidang ekonomi, politik, budaya atau pendidikan. Adapun hubungan Khilafah dengan negara-negara lain akan dibangun dengan prinsip sebagai berikut:

Pertama. Hubungan dengan penguasa negeri Muslim.
Dalam perspektif Islam, penyatuan negeri-negeri muslim dalam satu kepemimpinan tunggal adalah keharusan. Oleh karena itu, Khilafah akan berupaya menyatukan negeri-negeri muslim menjadi sebuah negara Islam yang satu di bawah bendera Khilafah Islamiah. 

Kedua. Hubungan dengan negara kafir .
Negara dengan status kafir harbi fi’lan, yaitu negara yang mendudukui wilayah Islam atau terlibat aktif memerangi umat Islam, seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan India, tidak boleh ada hubungan diplomatik dan ekonomi antara Khilafah dengan negara-negara ini. Penduduk mereka dilarang memasuki wilayah Khilafah. Meski terjadi gencatan senjata yang bersifat temporer, statusnya sebagai negara harbi fi’lan tidak berubah. Hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara tersebut tetap tidak dilakukan. 
Negara kafir yang tidak menduduki wilayah Islam atau tidak sedang memerangi umat Islam, tetapi berniat menduduki wilayah Islam, maka Khilafah tidak menjalin hubungan politik dan ekonomi dengan negara kafir semacam ini. Akan tetapi, penduduk negara-negara tersebut dibolehkan memasuki wilayah Khilafah dengan visa sekali jalan (single entry).
Negara kafir selain dua kategori tersebut, boleh bagi khilafah membuat perjanjian dengan negara-negara ini. Dengan terus melakukan pengamatan terhadap skenario politik global, khilafah dibolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam. Di samping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara kafir jenis ini harus dilakukan sesuai dengan syariat Islam. 

Ketiga. Khilafah tidak akan meminta bantuan asing (AS, Inggris, atau negara kolonialis lainnya) untuk menyelesaikan permsalahan umat Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian mencari penerangan dengan api kaum Musyrik. (HR An-Nasa’i) .

Keempat. Khilafah juga tidak akan berpartisipasi dalam lembaga-lembaga yang menjadi alat penjajahan seperti PBB, Bank Dunia, dan IMF. Lembaga-lembaga ini selalu menjadi jembatan Barat untuk menjerat negeri-negeri muslim dengan jebakan utang luar negeri dan mengokohkan hegemoni politik ekonominya di atas tanah kaum muslim. Allah Taala melarang kaum muslim tunduk atas penjajahan sepert ini,
Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (TQS. An-Nisa : 141) .

Visi politik luar negeri khilafah adalah membebaskan negeri-negeri Muslim dari segala bentuk penjajahan baik secara politik maupun ekonomi serta menyebarluaskan Islam ke seluruh penjuru negeri di dunia dengan dakwah dan jihad. Visi ini tidak akan terwujud selama Indonesia dan negeri-negeri Muslim lainnya mengadopsi ideologi kapitalisme. Mari bersama berjuang mewujudkan kepemimpinan Islam di dunia dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. []


Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.Pd.I
Penulis
Baca Juga

Post a Comment

0 Comments