TintaSiyasi.com -- Bulan Ramadhan sebentar lagi tiba. Berbagai persiapan dilakukan untuk menyambut bulan mulia ini. Pemerintah berusaha menciptakan situasi aman dan tertib agar umat Islam khusyuk dalam menjalankan ibadah di bulan suci ini. Salah satunya dengan melakukan razia minuman keras (miras). Di Malang, Polresta Malang Kota menindak para penjual miras yang menimbulkan ketidaknyamanan serta keresahan bagi masyarakat (rejogja.republika.co.id, 26/02/2023). Polres Situbondo pun melakukan hal serupa, dengan melakukan razia minuman keras menjelang Ramadhan (antaranews.com, 26/02/2023). Sementara Polresta Kendari menyita 95 lt minuman keras tradisional yang beredar (antaranews.com,19/02/2023).
Sayang, razia miras di negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini, hanya dilakukan jelang Ramadhan atau sesekali saja. Padahal, miras jelas-jelas diharamkan dalam Islam. Fakta pun menunjukkan, tak sedikit dampak buruk yang ditimbulkan akibat minuman terlarang ini. Setidaknya ada 20 efek miras yang berdampak negatif bagi fisik maupun kognitif seperti keracunan, penyakit jantung, kanker, demensia, depresi hingga gangguan sistem saraf pusat (www.sehatq.com, 24/01/2020). Tak sedikit juga tindak kriminal yang dipicu pasca mengkonsumsi miras. Lantas, apa penyebab tetap maraknya minuman membahayakan ini dan bagaimana solusinya?
Kapitalisme, Penyebab Maraknya Miras
Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini memberi kebebasan bagi semua pihak untuk bertindak dan berperilaku sesuai keinginan dan kepentingan masing-masing. Ciri utama kapitalisme adalah perekonomian dibiarkan berjalan bebas, tidak ada intervensi negara. Padahal, negara seharusnya berperan sebagai pengawas pasar antara penjual dan pembeli, produsen dan konsumen. Namun justru negara berperilaku layaknya pelaku ekonomi pada umumnya. Dalam kapitalisme, negara sebagai penguasa juga merangkap sebagai pengusaha. Tak jarang, aturan yang dibuat Pemerintah banyak menguntungkan elit pengusaha dan merugikan masyarakat luas. Pemerintah pernah mencoba mengeluarkan Perpres No. 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal untuk membuka keran investasi miras. Namun karena banyak diprotes para ulama, MUI, termasuk ormas-ormas Islam, Presiden Jokowi mencabut lampiran yang mengatur investasi miras tersebut.
Jadi, dengan dalih mendatangkan banyak pemasukan, miras pun masih banyak beredar di masyarakat. Sebuah keniscayaan, mengingat dalam kapitalisme yang menjadi tolok ukur kebahagiaan adalah materi dan kebebasan.
Islam, Solusi Tuntas Problema Miras
Dalam Islam, sanksi terhadap sebuah pelanggaran hukum sangat tegas. Hukuman berfungsi sebagai jawabir (penebus) dan jawazir (pencegah). Jadi, selain mampu menebus dosa di dunia dan tidak akan lagi dibalas di akhirat, hukum Islam mampu mencegah orang lain untuk tidak berbuat hal yang sama. Terkait miras, Islam begitu tegas membabat habis hingga ke akar-akarnya. Industri miras tidak akan diberi kesempatan untuk berdiri, dan mustahil terjadi peredaran bebas atasnya. Sebab Rasulullah SAW dengan keras melaknat dalam hal miras sepuluh pihak, pemerasnya, yang meminta diperaskan, peminumnya, pembawanya, yang minta dibawakan,penuangnya, penjualnya, pemakan harganya, pembelinya dan yang minta dibelikan (HR at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadis di atas sekaligus juga menunjukkan bahwa kesepuluh pihak tersebut telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai ketentuan syariah. Peminum khamr, sedikit atau banyak, jika terbukti di pengadilan, akan dihukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Anas ra menuturkan, “Nabi Muhammad SAW pernah mencambuk peminum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali” (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Lalu, masyarakat juga harus memahami dengan baik hadis Rasul SAW, “Khamr itu merupakan induk segala keburukan. Siapa saja yang meminum khamar, Allah tidak menerima shalatnya selama 40 hari. Jika peminum khamr mati dan khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dengan kematian jahiliah.” (HR ath-Thabrani, ad-Daraquthni dan al-Qudha’i).
Ketika Islam mengharamkan miras, pastilah itu yang terbaik buat manusia. Pelarangan miras pun hanya bisa diterapkan jika sistem negara ini menganut sistem Khilafah, yang menerapkan syariat Islam secara kaffah (menyeluruh), termasuk larangan miras.
Sistem ekonominya pun berasaskan Islam yang memperhatikan komoditas apa yang akan diperdagangkan, tidak hanya melihat keuntungan yang didapat. Jika komoditas itu haram, maka haram pula transaksi yang terjadi.
Sistem ekonomi Islam melarang bisnis miras dan bisnis-bisnis haram lainnya. Hal ini akan mewujudkan masyarakat yang antimaksiat. Ditambah pelarangan pasar saham dan bisnis riba lainnya, akan membuat kehidupan manusia makin produktif. Produktifitas yang tinggi dari masyarakat juga disertai penetapan peraturan yang sesuai syariat, seperti diharamkannya kepemilikan umum oleh swasta.
Hal ini akan membawa masyarakat Islam menuju kesejahteraannya. Oleh karena itu, kesejahteraan hakiki hanya bisa dicapai oleh masyarakat yang hidup dalam aturan Islam kaffah dalam bingkai khilafah. Wallahu a’lam bishshawab. []
Oleh: Noor Hidayah
Aktivis Muslimah
0 Comments