TintaSiyasi.com -- "Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia." Penggalan pidato Ir. Soekarno di atas tiba-tiba terlintas sesaat setelah menyaksikan berita "tawuran pelajar" yang sering terjadi di negeri ini. Di kota maupun di desa sama saja. Seolah sudah menjadi tradisi yang membudaya. Terbesit tanya dalam hati, apakah pemuda seperti ini yang akan menggoncangkan dunia? Bukan digoncang dengan beribu prestasi gemilang, tetapi digoncangkan dengan keributan dan kenakalan. Teriakan dan pekikan histeris demi mempertahankan ego dan nafsu belaka tanpa memandang apakah berada di posisi yang benar atau salah. Bukan pula sedang berjuang membela Tanah air seperti yang dilakukan para pahlawan saat mengusir penjajah.
Sungguh miris, keberanian pemuda saat ini malah terlampiaskan dalam maraknya aksi tawuran. Yang lebih miris adalah mendapati kenyataan bahwa di Sumedang yang dahulu terkenal dengan masyarakatnya yang paling ramah dan santun di seantero nusantara dengan suku sundanya, kini berubah akibat seringnya terjadi tawuran pelajar. Saat tawuran, bukan hanya menghilangkan citra ramah dan santun, bahkan tak segan menghilangkan nyawa lawan. Ternyata ramah dan santun saja tidak menjamin keamanan suatu wilayah.
Dilansir dari inisumedang.com (10/03/2023), telah terjadi tawuran antar pelajar di Wilayah Kelurahan Situ Kecamatan Sumedang Utara, pada Jumat 10 Maret 2023 yang menimbulkan korban satu orang meninggal, meski kemudian diberitakan kembali bahwa korban tewas bukan karena ikut tawuran melainkan salah sasaran. Dan kejadiannya bukan tawuran antar pelajar, melainkan pengeroyokan pelajar oleh sekelompok pelajar dari sekolah lain. Apapun itu namanya, tetap saja telah terjadi kekerasan dan penganiayaan.
Memang motif tindakan kekerasan yang dilakukan pelajar sangat beragam, mulai dari balas dendam, ajang eksistensi diri dengan menunjukkan kekuatan, memenuhi syarat sebagai anggota geng tertentu, hingga sekadar bersenang-senang. Bahkan ditenggarai ada upaya pemeliharaan dendam turunan dari para alumnus yang menyebar di berbagai kota, sehingga tawuran dianggap sebagai salah satu upaya untuk mengeksiskan pengaruh almamater sekolah.
Hal ini merupakan tamparan keras bagi dunia pendidikan, sejauh mana dapat membentuk karakter dan kepribadian generasi muda calon pemimpin masa depan. Sistem pendidikan sekuler terbukti tidak mampu membekali siswanya dengan akhlak yang baik. Ini juga membuktikan kurang kuatnya pemahaman agama dari asuhan dan didikan keluarga.
Remaja seperti kehilangan arah dan jati dirinya sebagai hamba Allah SWT. Inilah yang dinamakan krisis identitas. Sistem sekuler telah mengikis identitas tersebut. Sistem inilah yang menjadi biang keladi tawuran remaja. Remaja menjelma menjadi pribadi yang sekadar mengikuti tren dan budaya yang berkebalikan dengan ajaran Islam. Eksistensi diri seperti ini jika tidak diarahkan pada pemikiran yang benar jelas akan menghilangkan hakikat identitas dirinya sebagai generasi Islam dan hamba yang wajib taat dan terikat dengan aturan Islam.
Lingkungan sosial tempat mereka tumbuh dan berkembang pun menjadi faktor penyebab terjadinya tawuran. Sehingga apabila hendak mengembalikan hakikat identitas diri remaja yang semula gemar tawuran, menjadi gemar mengkaji dan menerapkan Al-Qur'an di semua lini kehidupannya, maka haruslah mengembalikan lingkungan sosialnya terlebih dahulu kepada lingkungan sosial yang sesuai dengan aturan Allah SWT. yang terdapat dalam Al-Qur'an dan telah dicontohkan melalui banyak hadis Rasulullah SAW.
Lingkungan sosial terdekat adalah keluarga sebagai tempat pendidikan pertama bagi remaja sejak usia dini hingga dewasa. Baik buruknya pendidikan akan berpengaruh pada kepribadian anak. Hendaknya hubungan dalam keluarga tidak hanya sebatas status, orang tua dan anak. Orang tua sibuk mencari nafkah untuk bisa membiayai anak. Sementara itu, anak remaja sibuk sekolah dan meminta nafkah kepada orang tua. Interaksi yang terjadi hanya seperti itu.
Orang tua mestinya memberi bekal pemahaman Islam kepada anak agar ia terbiasa beramal dan berperilaku sesuai syariat Islam. Orang tua harus menanamkan akidah Islam sejak dini agar terbentuk dalam diri anak keimanan dan ketaatannya kepada Allah SWT. Hal ini akan membuat anak mengerti mana yang boleh dan yang tidak, mana yang halal dan yang haram. Juga akan mendorong anak untuk berbuat baik. Sebab ia tahu bahwa ia disaksikan langsung oleh Allah SWT. dan ia tahu urusannya bukan hanya di dunia, tetapi sampai ke akhirat.
Lingkungan sosial berikutnya adalah sekolah dan masyarakat. Kehidupan remaja tidak akan terpisah dari dua lingkungan sosial ini. Sekolah menjadi tempat mereka menuntut ilmu, masyarakat menjadi tempat mereka mengembangkan diri. Circle pertemanan biasanya muncul dari sekolah dan masyarakat. Teman inilah yang memberi dampak lebih besar terhadap perilaku remaja. Semua pihak yang berada di lngkungan sekolah dan masyarakat haruslah kondusif dan sejalan dengan apa yang dilakukan di lingkungan keluarga, yaitu sesuai dengan syariat Islam. Semua pihak juga wajib memilihkan circle pertemanan yang dapat mendorong anak remaja semangat dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Circle pertemanan yang dimaksud adalah circle remaja Islam ideologis.
Dan, ketiga lingkungan sosial tadi tidak akan terwujud jika negara tidak mengambil peran sentralnya, yaitu sebagai penjaga dan pelindung generasi dari pengaruh budaya dan pemikiran asing yang merusak moral generasi. Peran penting yang dimaksud ialah negara wajib menciptakan suasana takwa pada setiap individu rakyat. Negara menerapkan kurikulum dan sistem pendidikan Islam secara menyeluruh. Negara berkewajiban melindungi generasi dari paparan ideologi kapitalisme sekuler yang merusak kepribadian mereka. Negara juga wajib menyaring tontonan dan tayangan tidak mendidik yang mengajarkan budaya dan nilai liberal.
Negara juga wajib menegakkan hukum dengan tegas tanpa kecuali. Saat ini tidak ada tindakan yang keras atau hukuman yang bisa membuat seseorang berpikir sekian kali untuk melakukan kejahatan termasuk tawuran. Hukuman yang ada sekarang adalah hukuman yang tidak membuat efek jera dan tidak memberikan efek pencegahan terhadap kejahatan. Apalagi penegakan hukum Indonesia dihalangi oleh HAM dan KPAI dimana ada keringanan hukuman bagi pelaku di bawah umur/anak-anak. Yang dimaksud anak-anak di sana adalah rentang usia 0 hingga 18 tahun.
Maka untuk mewujudkan generasi takwa dan antitawuran, haruslah dilakukan secara komprehensif dengan menerapkan sistem kehidupan Islam secara kaffah. Penerapan sistem pendidikan Islam harus terlaksana secara tersadar, terstruktur, dan tersistem dengan memadukan tiga peran pokok pembentukan kepribadian generasi, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Sebab baik atau buruknya perilaku remaja tidak terlepas dari bagaimana lingkungan keluarga dan masyarakat serta sistem aturan yang diterapkan oleh negara. Mari maksimalkan usaha kita guna menjadikan anak-anak kita sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa sebagaimana do'a yang sering kita panjatkan, "Robbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa zurriyyaatinaa qurrota a'yuniw waj'alnaa lil-muttaqiina imaamaa".
Wallahu a'lam bishshawab. []
Oleh: Imas Royani, S.Pd.
Aktivis Muslimah
0 Comments