TintaSiyasi.com -- Pemerintah Indonesia pada bulan Juli tahun 2015 mengumumkan rencana untuk membangun kereta cepat Jakarta Bandung (KCJB), proyek ini terus digadang-gadang sebagai kereta cepat pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung awalnya merupakan tawaran dari Jepang kepada Indonesia, pada tahun 2008, selanjutnya pada tahun 2014 melalui Japan Internasional Cooperational Agency (JICA), Jepang menggelontorkan modal sebesar US$ 3,5 juta, untuk melakukan studi kelayakan.
Menurut perhitungan Jepang, nilai investasi kereta cepat sebesar US$ 6,5 miliar, di mana 75 persen dibiayai Jepang berupa pinjaman dengan tenor 40 tahun, bunga 0,1 persen per tahun.
Tiba-tiba, setelah menteri Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) saat itu, Rini Soemarmo menandatangani nota kesepahaman kerjasama dengan Menteri Komisi Pembangunan dan Reformasi China, Xu Shaoshi, pada bulan Maret 2015, China memberikan penawaran kereta cepat, bersaing dengan Jepang pada bulan April 2015.
Persaingan ini, menurut The Jakarta Post, menjadi bagian dari permainan politik dan ekonomi antara kedua negara tersebut untuk merebut pengaruh strategis di kawasan Asia-Pasifik (The Jakarta Post. 1/10/15).
Pada akhir September 2015, Indonesia memberikan proyek kereta api cepat ini kepada China, dengan tawaran investasi sebesar US$ 5,5 miliar, dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China, dan 60 persen kepemilikan lokal.
Selanjutnya pada bulan Oktober, terbentuklah perusahaan yang diberi nama PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC), perusahaan patungan dari konsorsium China Beijing Yawan HSR Co Ltd dengan konsorsium Indonesia dari empat BUMN (PT Kereta Api Indonesia, PT Wijaya Karya, PT PTPN VIII, dan PT Jasa Marga)
PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia ( PSBI ).
Dari estimasi investasi yang ditawarkan China, sekitar 25 persen akan didanai menggunakan modal bersama, dan sisanya berasal dari pinjaman dengan tenor 40 tahun, bunga 2 persen per tahun. Dalam proposalnya China tidak meminta adanya jaminan pemerintah maupun pembiayaan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), sehingga pembangunan kereta cepat ini tidak akan menguras Anggaran Belanja Negara ( APBN ) Indonesia. China juga menjanjikan subsidi tarif dan _cost overrun_ yang nanti menjadi tanggung jawab _joint venture company._ Demikianlah akhirnya China mengalahkan Jepang, dengan alasan tawaran harga China lebih rendah dari tawaran Jepang.
Bahaya Utang ( Luar Negeri )
Proyek kereta api cepat Jakarta Bandung telah dimulai pembangunannya pada awal tahun 2016, dan ditargetkan selesai pada tahun 2019. Namun sampai sekarang pembangunan belum selesai, bahkan belakangan masih memunculkan drama pembengkakan biaya (cost overrun).
Cost Overrun terjadi karena adanya perbedaan biaya pembangunan kereta cepat di China dan di Indonesia. Perbedaan biaya tersebut diantaranya meliputi pembebasan lahan, dan biaya persinyalan. Misalnya, terkait pembebasan lahan, dikatakan di China lahan ada dalam kekuasaan pemerintah, sehingga tidak akan ada perubahan nilai, karena ada perbedaan waktu. Sementara di Indonesia perbedaan waktu membuat nilai lahan jadi berbeda.
Pengaturan frekuensi untuk persinyalan kereta cepat, di China hal tersebut gratis sedangkan di Indonesia berbayar.
Pembengkakan biaya, menjadikan proyek yang awalnya senilai US$ 5,5 miliar atau sekitar Rp 83,6 triliun, per November 2022 Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mengestimasikan terdapat pembengkakan biaya menjadi US$ 7,5 miliar atau Rp 114,1 triliun.
Dengan adanya pembengkakan biaya, proyek KCJB yang awalnya pembiayaannya tidak melibatkan APBN karena dianggap merupakan proyek bisnis, namun melalui peraturan pemerintah no 93 tahun 2021 pemerintah Indonesia akhirnya mengucurkan dana APBN melalui Penyertaan Modal Negara atau PMN.
Demi ambisi untuk membangun KCJB, dan kucuran dana APBN masih belum mencukupi, pemerintah mengajukan pinjaman kepada China Development Bank (CDB). Besaran utang yang diajukan tidak main-main, yaitu sebesar Rp 8,3 trilyun. Memilih China sebagai pemenang tender KCJB dengan alasan tawaran harga yang lebih murah, ujungnya proyek bernilai jauh lebih tinggi, sementara 75 persen pembiayaan proyek adalah dari utang.
Walhasil, Indonesia harus mengajukan utang untuk menambal kekurangan biaya. Bahkan pembengkakan biaya ini juga membuat PT KCIC merayu Kementrian Perhubungan untuk menambah konsesi, yang awalnya 50 tahun menjadi 80 tahun. Penambahan konsesi ini jelas akan menguntungkan pihak lain, karena selama konsesi berlangsung artinya Indonesia harus membagi keuntungan yang diperoleh dari KCJB.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Muhammad Faisal mengungkap pembengkakan biaya dalam proyek ini merupakan akibat dari perencanaan yang buruk sehingga tidak ada mitigasi risiko dari awal. Alhasil, katanya, pemerintah dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Jadi, akhirnya larinya ke utang. Utang dalam jangka pendek mungkin bisa mengatasi permasalahan APBN, tetapi dalam jangka panjang bisa membebani ekonomi, membebani APBN itu sendiri dan juga rakyat.
"Padahal, pasca COVID 19 utang kita juga sudah membengkak. Artinya, hal ini akan semakin membebani, baik ke pemerintah maupun ke BUMN atau swasta,” kata Faisal (VOA 17/02/23 ).
Terkait rencana pengajuan utang tersebut, Presiden Joko Widodo akhirnya mengeluarkan pendapat. Pemerintah, katanya, mendukung langkah yang akan diambil PT Kereta Cepat Indonesia China (PT KCIC) untuk dapat meneruskan proyek tersebut. Karena itu semua pihak harus mendukung transportasi massal.
“Namanya Mass Rapid Transit (MRT), light Rail Transit (LRT), Kereta Api, Kereta Api Cepat itu menjadi sebuah keharusan bagi kota-kota besar agar moda transportasi terintegrasi di dalam kota maupun dari kota ke kota, sehingga orang tidak cenderung kepada mobil pribadi,” ungkap Jokowi. ( VOA,17/02/23)
Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, utang menjadi komponen penyeimbang neraca keuangan, dengan rumus harta sama dengan utang ditambah modal. Dengan demikian wajar jika utang seolah menjadi hal yang perlu untuk dilakukan.
Dalam konteks negara, memenuhi defisit keuangan dengan melakukan pinjaman (utang) luar negeri, merupakan hal yang berbahaya, baik utang tersebut didapatkan dari negara-negara asing maupun lembaga-lembaga keuangan internasional.
Pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, tidak selayaknya pemerintah melakukan pinjaman yang berbasis riba, karena riba diharamkan oleh hukum syara', baik berasal dari individu maupun dari suatu negara. Sedangkan persayaratan (yang menyertai pinjaman), menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor berkuasa atas negara kreditur. Akibatnya keinginan dan segala keperluan negara kreditur tergadai pada keinginan negara-negara dan lembaga-lembaga donor.
Bagi negeri Muslim pinjaman luar negeri menjadi bencana yang sangat berbahaya, dan menjadikan negeri tersebut dalam kekuasaan negara donor, dan ini akan mengakibatkan keterpurukan, selama (beban) pinjaman ini ada. Dengan demikian, tidak selayaknya sebuah negara melakukan pinjaman luar negeri dalam menutupi defisit anggaran belanjanya.
Infrastruktur Dalam Islam
Pembangunan infrastruktur era presiden Jokowi di bidang transportasi terbilang berlangsung masif, mencakup pembangunan dan pengembangan beberapa pelabuhan, jalan tol, sampai rel kereta api di berbagai wilayah. Jadi teringat salah satu lagunya Iwan Fals yang liriknya sebagai berikut:
"Asal jangan pembangunan dijadikan korban, asal jangan pembangunan hanya untuk Si Tuan Polan."
Idealnya, penilaian sebuah kinerja atas pencapaian proyek infrastruktur harus melihat dampaknya ke masyarakat. Apakah masyarakat secara keseluruhan benar-benar merasakan dampak positif dari pembangunan tersebut atau sebaliknya, tidak berdampak apa-apa bagi kehidupan mereka?
Apa jadinya bila ambisi pembangunan infrastruktur justru membuat negeri ini babak belur dengan utang? Sebab, setiap proyek infrastruktur pasti berasal dari dua sumber pendanaan investasi, yaitu dengan modal dan utang.
Dalam Islam, pembangunan infrastruktur haruslah memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan masyarakat. Sebab, infrastruktur adalah salah satu kewajiban negara dalam menyediakan fasilitas publik yang bisa terakses semua warga negara.
Islam sudah membangun infrastruktur mutakhir pada masanya, bahkan jauh sebelum peradaban Barat mendominasi dunia.
Sebagai contoh, di masa Khalifah Umar bin Khaththab, pernah mendanai pembangunan infrastruktur dengan anggaran khusus dari Baitulmal. Contoh lain, jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak (pada abad ke-8) sudah dibangun dengan menggunakan aspal. Pembangunan jalan beraspal itu terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur pada tahun 762 M. Di masa Abbasiyah, Profesor Jere L Bacharach (Departemen Sejarah, Universitas Washington) mencatat, jalur yang menuju dua kota suci Makkah dan Madinah, diperbaiki dan diperluas, bermula dari Baghdad (Darb Zubayda), Damaskus (Darb al-Hajj al-Shami), serta Kairo (Darb al-Hajj al-Misri), sementara Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18.
Negara Islam tidak akan mengalokasikan pembiayaan infrastruktur dengan mengambil pinjaman dari negara asing atau lembaga-lembaga keuangan internasional. Negara akan memberikan pembiayaan pembangunan infrastruktur secara penuh, dari kas Baitulmal yang bersumber dari harta fa'i, ghanimah, anfal, usyur, khumus, rikaz, jizyah, kharaj, serta pengelolaan harta kepemilikan umum yang memang semua harta tersebut diperuntukkan untuk kemaslahatan masyarakat.[]
Oleh: Athiqah Muthi'ah
Sahabat TintaSiyasi
0 Comments